Liputan6.com, Manila - Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengecam Oxford University sebagai "sekolah bagi orang-orang bodoh".
Pernyataannya itu muncul setelah perguruan tinggi itu menerbitkan sebuah studi yang mengklaim bahwa Duterte membayar sejumlah tentara siber untuk meningkatkan popularitasnya di media sosial.
Advertisement
Seperti dikutip dari Telegraph pada Kamis (27/7/2017), studi tersebut bertajuk "Troops, Trolls and Troublemakers: A Global Inventory of Organised Social Media Manipulation".
Studi itu memuat strategi yang digunakan oleh partai politik dan kandidat di 28 negara yang berbeda untuk menyebarkan pesan partai mereka dan meningkatkan jumlah popularitas di media sosial.
Studi tersebut menyebutkan, tim Duterte merogoh kocek sebesar US$ 200.000 pada tahun 2016, tahun di mana ia terpilih, untuk membayar orang demi mempromosikan dan membelanya di media sosial.
Duterte sendiri telah mengakui bahwa dia membayar tentara siber untuk membelanya, tapi dia jelaskan itu hanya terjadi selama musim kampanye. Pria berusia 72 tahun itu membantah bahwa hal itu berlanjut hingga ia terpilih.
"Sekarang, saya tidak membutuhkannya. Saya tidak perlu membela diri dari serangan. Saya sudah mengungkapkan itu saat pelantikan dan kampanye. Oxford University? Itu sekolah bagi orang-orang bodoh," ungkap Duterte kepada media lokal, Rappler.
Duterte merupakan mantan Wali Kota Davao yang terpilih dalam Pilpres Filipina 2016. Pesan populisnya menargetkan perdagangan narkoba.
Dunia mengenal Duterte sebagai sosok yang kontroversial. Salah satunya lewat perang narkobanya melalui pembunuhan ekstra-yudisial. Ia dikritik keras oleh kelompok pegiat hak asasi manusia.
Studi tersebut juga memuat bagaimana pasukan siber terbiasa membungkam perbedaan politik secara online dan bagaimana itu bisa berdampak di kehidupan nyata.
Simak video berikut: