Biaya Produksi Tinggi, BI Dorong Penggunaan Uang Elektronik

Bank Indonesia menilai transaksi nontunai dengan pemakaian uang elektronik dapat menciptakan efisiensi di sektor pariwisata.

oleh Dewi Divianta diperbarui 28 Jul 2017, 21:45 WIB
Bank Indonesia menilai transaksi nontunai dengan pemakaian uang elektronik dapat menciptakan efisiensi di sektor pariwisata.

Liputan6.com, Denpasar - Deputi Direktur Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Bali, Azka Subhan memaparkan jika tiap tahun pemerintah harus mengeluarkan dana yang cukup besar untuk pengadaan uang. Dibutuhkan sekitar Rp 3 triliun per tahun untuk pengadaan uang baik kertas maupun koin.

"Dana itu untuk perencanaan, pencetakan, pengeluaran, pengedaran, pencabutan dan penarikan serta pemusnahan uang," kata Azka di sela acara 'Transaksi Nontunai Meningkatkan Efisiensi Pariwisata Bali' di Denpasar, Jumat (28/7/2017).

Untuk menekan biaya produksi yang cukup tinggi, Azka mengajak masyarakat beralih ke uang elektronik. Sebabnya, transaksi menggunakan uang tunai membuat semua pihak kerepotan dalam hal transaksi. "Kita ambil contoh Jasa Marga, penyediaan uang untuk kembalian mencapai Rp 2 miliar per hari. Selain itu jika menggunakan uang tunai antre di tol itu lama," kata dia.

Selain itu, transaksi uang tunai juga tak tercatat dengan baik dan mudah digunakan untuk kejahatan semisal terorisme, pencucian uang dan lain sebagainya. Untuk itu, ia mengajak semua pihak beralih menggunakan uang elektronik. Ada beberapa keuntungan transaksi menggunakan uang elektronik.

"Kegiatan nontunai kita percaya menjadikan efisiensi di sektor pariwisata. Benefit non tunai di antaranya akses lebih luas, tidak perlu bawa uang banyak, higienis, praktis, transparansi transaksi, efisiensi rupiah dan efisiensi transaksi," ujar Azka.

Saat ini, ia memaparkan, sebanyak 35 persen masyarakat Indonesia telah memiliki rekening bank. Sisanya atau sebanyak 64 persen tidak memiliki rekening bank. Meski begitu, Azka menyebut transaksi penggunaan uang elektronik naik signifikan. Ia mencontohkan pada tahun lalu transaksi uang elektronik mencapai Rp 7,06 triliun dengan rata-rata 49,5 persen. Jumlah ini meningkat tajam dibanding tahun 2015 dengan penggunaan uang elektronik sebesar Rp 500,28 miliar.

Meski meningkat, namun Azka menilai terjadi anomali. Umumnya ketika penggunaan uang elektronik meningkat, maka transaksi secara tunai akan menurun. "Tapi ini dua-duanya meningkat. Transaksi tunai dan non tunainya sama-sama mengalami peningkatan," ucap dia.

Kendati begitu, Azka tak menampik masih ada kendala mengenai penggunaan uang elektronik. Di antaranya adalah regulasi untuk top up, jumlah merchant dan mesin top up yang terbatas, pengetahuan dan insentif kurang memadai dan penggunaan di sektor pariwisata masih terbatas.

"Tahun ini penggunaan uang elektronik semakin meningkat dibanding tahun lalu yang sebesar 9,86 persen. Hingga Maret 2017, transaksi uang elektronik sudah mencapai angka prosentase 10,92 persen," ucap dia.

Di sisi lain, Transaction and Consumer Banking Bank Mandiri Head Regional XI Bali dan Nusra, Hendra Wahyudi optimistis penggunaan uang elektronik semakin meningkat ke depannya. Saat ini, kata dia, Bank Mandiri dipercaya oleh masyarakat Bali yang membuka rekening sebanyak 380 ribu rekening. "Customernya terbagi dua yakni perorangan dan perusahaan. Kami memiliki 400-an mesin top up uang elektronik yang tersebar di seluruh Bali," kata dia.

Ke depan, Bank Mandiri siap menyambut penggunaan uang elektronik dan menyiapkan fasilitas yang semakin baik. Di tempat sama, Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel (Aprindo) Provinsi Bali, Gusti Ketut Sumardayasa berharap semua elemen dapat mendukung penggunaan uang elektronik, khususnya dimukai dari obyek wisata yang banyak tersebar di Bali. (Dewi Divianta)

 

Saksikan Video Menarik di Bawah Ini:

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya