Pamong Praja Bikin 90 Ibu Muda Purbalingga Menjanda dalam Sebulan

Pamong Praja adalah sebutan bagi fenomena lelaki sibuk mengurus rumah tangga dan istri sibuk mencari nafkah.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 30 Jul 2017, 03:01 WIB
Pamong Praja adalah sebutan bagi fenomena lelaki sibuk mengurus rumah tangga dan istri sibuk mencari nafkah. (Liputan6c.om/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Purbalingga – Selain fenomena Bang Toyib, ternyata ada fenomena Pamong Praja yang turut menyebabkan perceraian terjadi di kalangan pasangan muda Purbalingga.

Jika fenomena Bang Toyib disebabkan pasangan ditinggalkan bekerja ke luar daerah, Pamong Praja merupakan fenomena suami mengurus pekerjaan rumah tangga, sementara sang istri bekerja di luar rumah.

Pamong Praja merupakan singkatan dari Papa Momong, Perempuan Bekerja. Istilah itu merujuk pada realitas banyaknya perempuan muda yang bekerja sebagai buruh pabrik kerajinan bulu mata, rambut palsu, dan garmen di Purbalingga. Akibatnya, suami justru lebih banyak mengurus rumah tangga.

Rupanya, hal itu bisa juga menjadi pemicu pecahnya biduk rumah tangga. Pada Juli 2017 saja, ada 90 perceraian dari ratusan kasus gugat cerai akibat ditinggal suami atau istri bekerja.

Panitera pengganti Kantor Pengadilan Agama Purbalingga, Nur Aflah, mengatakan 90 persen penyebab perceraian di Purbalingga disebabkan karena faktor ekonomi. Selain istilah "Bang Toyib", ada pula fenomena "pamong praja" yang merujuk para perempuan yang bekerja.

Dia menyebut perceraian akibat fenomena Bang Toyib dan Pamong Praja ini meningkat dibanding Juni lalu yang hanya 13 kasus. "Setelah Lebaran, kasus perceraian Bang Toyib dari 13 kasus naik menjadi kurang lebih 90 kasus," katanya, Jumat, 28 Juli 2017.

Perselisihan di rumah tangga yang berujung pada perceraian, ujar dia, lantaran para suami malah asyik menjadi penerbang burung saat istri-istri mereka sibuk bekerja.

"Di Purbalingga banyak buruh perempuan, sedangkan laki-lakinya menjadi penerbang. Penerbangan di sini bukan penerbangan pesawat udara, tapi menjadi penerbang burung merpati. Sehingga istri kemudian menjadi jengah yang berakibat pada gugatan perceraian," katanya.

Gugatan perceraian di Purbalingga, kata dia, lebih banyak diajukan oleh pihak perempuan daripada gugatan cerai oleh pihak laki-laki. Perbandingannya adalah 10:1. Menurut dia, hal itu harusnya menjadi perhatian serius bagi pemerintah daerah, masyarakat, perusahaan dan para ulama.

"Upaya pencegahan maraknya perceraian harus dilakukan oleh semua pihak. Pemda bisa melakukan instruksi kepada perusahaan-perusahaan yang ada dengan melakukan sosialisasi tentang memelihara perkawinan agar langgeng," imbaunya.

Nur Aflah juga menyoroti maraknya kasus pernikahan dini di Purbalingga. Sampai Juli ini, ada 60 kasus dispensasi nikah. Dispensasi ini dilakukan dikarenakan salah satunya umur mempelai belum memenuhi syarat.

Sesuai UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang pernikahan, disebut batas usia minimal untuk perempuan 16 tahun dan usia bagi laki-laki 19 tahun. "Kebanyakan karena hamil duluan," ujarnya.

Saksikan video menarik di bawah ini:

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya