Ekonom Sebut Daya Beli Masyarakat Turun, Ini Sebabnya

Penurunan daya beli tersebut khususnya terjadi pada masyarakat berpenghasilan rendah

oleh Septian Deny diperbarui 30 Jul 2017, 18:36 WIB
Seorang ibu memilih sayuran di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Kamis (27/8/2015). Naiknya harga kebutuhan pokok membuat pembeli mengurangi pembelian bahan makanan hingga menyebabkan daya beli masyarakat turun. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta Penurunan daya beli masyarakat yang kerap disebut-sebut selama ini memang benar terjadi. Penurunan daya beli tersebut khususnya terjadi pada masyarakat berpenghasilan rendah.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengungkapkan,‎ data yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, selama lebih dari satu tahun terakhir terjadi penurunan pendapatan riil, khususnya masyarakat berpendapatan rendah, terutama di perkotaan.

"Buruh bangunan, misalnya, meski secara nominal rata-rata upah mereka mengalami kenaikan, tapi inflasi yang selama semester I 2017 mencapai 2,4 persen membuat pendapatan riil mereka tergerus 1,4 persen," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (30/7/2017).

‎Faisal menyatakan, ‎hal ini sekaligus mematahkan argumen pemerintah jika inflasi tahun ini terkendali. Menurut dia, memang benar jika inflasi bahan pangan (volatile food) tahun ini sangat rendah. Namun, kenaikan tarif listrik, elpiji dan lain-lain justru membuat inflasi meningkat dua kali lipat.

"Tapi kenaikan harga-harga kebutuhan hidup yang diatur oleh pemerintah (administered prices) seperti tarif dasar listrik, gas elpiji, dan lain-lain,‎ justru mendorong inflasi selama 6 bulan pertama tahun ini lebih tinggi dua kali lipat dibanding inflasi di periode yang sama tahun lalu," tandas dia.

Sebelumnya, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menyatakan, dalam beberapa tahun terakhir Indonesia tengah mengalami penurunan daya beli masyarakat, meskipun Bank Indonesia (BI) mengklaim inflasi nasional berada dalam tingkat yang stabil rendah.

Enny mengatakan, penurunan daya beli masyarakat ini terlihat dari anjloknya pertumbuhan sektor bisnis seperti properti, ritel serta industri makanan dan minuman.‎ "Yang terjadi sekarang itu sebenarnya penurunan daya beli, makanya di properti tidak tumbuh, di sektor ritel pertumbuhannya minus, dan juga industri-industri basic seperti pangan juga mengalami perlambatan," ujar dia di Kantor Indef, Jakarta.

Dia mengungkapkan, salah satu faktor penurunan daya beli masyarakat ini lantaran keterbatasan lapangan kerja. Meski tingkat pengangguran terbuka tidak naik, masyarakat banyak yang beralih ke sektor informal.

‎"Kenapa terjadi penurunan daya beli? Karena keterbatasan lapangan kerja, sehingga sekalipun orang tidak masuk ke pengangguran terbuka, tetapi mereka terlempar ke sektor nonformal. Sektor ini tentu tidak menghasilkan penghasilan yang memadai. Sehingga kalau penghasilannya tidak memadai, barang-barang yang mampu dibeli sangat terbatas. Itu yang disebut penurunan daya beli," jelas dia.

Menurut Enny, penurunan daya beli masyarakat ini juga menyebabkan harga-harga relatif tidak banyak bergejolak. Oleh sebab itu, dalam beberapa tahun terakhir inflasi nasional relatif rendah.

‎"Penurunan daya beli ini menciptakan kurva demand yang menurun, itu menyebabkan harga-harga relatif tidak mengalami gejolak. Sehingga dalam tiga tahun terakhir, inflasi kita relatif rendah. Tetapi pemerintah menilai dengan inflasi rendah, berarti ada ruang untuk menaikkan harga-harga yang bisa ditentukan pemerintah, seperti listrik, tarif air minum, termasuk biaya pengurusan STNK dan BPKB, yang sebenarnya tidak signifikan, tapi berdampak pada daya beli masyarakat," ungkap dia.

Saksikan video menarik berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya