5 Peraih Nobel Ini Ternyata Pernah Drop Out dari Sekolah

Sejarah membuktikan bahwa pendidikan formal bukan segalanya. Sejumlah penerima Nobel ternyata pernah putus sekolah.

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 31 Jul 2017, 18:20 WIB
Apa saja perjuangan yang dilakukan para peraih nobel perdamaian? (Liputan6.com/Deisy)

Liputan6.com, Jakarta - Salah satu penghargaan paling bergengsi di dunia adalah Nobel. Anugerah itu diberikan kepada mereka yang berjasa bagi kemanusiaan, yang dibedakan dalam lima kategori, yakni fisika, kimia, sastra, perdamaian, dan fisiologi atau kedokteran.

Banyak orang mengira, para penerimanya adalah orang-orang yang paling sukses dalam bidangnya, yang kenyang pendidikan dengan sederet gelar akademis. 

Padahal, sejarah membuktikan kepada kita bahwa cukup banyak peraih Penghargaan Nobel yang pernah putus sekolah di sepanjang riwayat pendidikannya.

Salah satunya Joseph Brodsky. Pria yang lahir pada 24 Mei 1940 itu putus sekolah pada usia 15 tahun dan bekerja serabutan tapi kemudian meraih Nobel Kesusastraan pada 1987.

Demikian juga dengan Harry Martinson yang meraih Nobel Kesusastraan pada 1974 bersama-sama dengan Eyvind Johnson.

George Bernard Shaw, kelahiran 26 Juli 1856 di Dublin, juga meraih Nobel Kesusastraan pada 1925.

Albert Camus meraih Nobel Kesusastraan pada 1957 saat berusia 44 tahun dan William Faulkner meraih penghargaan dalam bidang yang sama pada 1949. Mereka juga sempat putus sekolah kala muda.

Masih segar dalam ingatan kita kepada Malala Yousafzai, seorang siswi di Afghanistan peraih Nobel Perdamaian 2014. Ia pun sempat dipaksa tidak bersekolah oleh kelompok Taliban -- dengan peluru yang bersarang di kepalanya -- hanya karena ia seorang perempuan.

Disarikan dari listverse.com pada Senin (31/7/2017), berikut ini adalah sejumlah peraih Nobel berbagai bidang yang pernah putus sekolah sewaktu masih belia, tapi tetap gigih dan tidak menyerah hingga kemudian dianugerahi penghargaan prestisius itu:

 

Saksikan juga video menarik berikut ini: 


1. Arthur Henderson

Arthur Henderson. (Sumber Wikimedia Commons)

Arthur Henderson lahir pada 13 September 1863 di Glasgow, Skolandia. Ketika ayahnya meninggal, keluarganya terperosok ke dalam kemiskinan sehingga ia harus berhenti sekolah.

Setelah ibunya menikah lagi, Henderson kembali bersekolah selama 3 tahun sebelum akhirnya keluar lagi, tapi ia menimba ilmu dari tempat pengecoran logam tempat bekerja dan dari membaca koran.

Ia kemudian bergabung dengan Serikat Pekerja Logam pada usia 18 dan terpilih menjadi ketua untuk wilayah Newcastle tak lama kemudian. Karier politiknya di Inggris bermula pada 1892 dan, pada 1906, ia menjadi salah satu pendiri Partai Buruh.

Henderson menjadi ketua selama 23 tahun, ia kemudian menjadi Menteri Luar Negeri pada 1929 dan meraih Nobel Perdamaian pada 1934.


2. Léon Jouhaux

Léon Jouhaux. (Sumber Wikimedia Commons)

Léon Jouhaux lahir di Paris pada 1 Juli 1879. Ayahnya bekerja di pabrik korek api, tapi penghasilannya terhenti karena adanya pemogokan. Efeknya, Leon harus berhenti sekolah.

Ia pindah ke lembaga pendidikan lain, tapi kemudian keluar lagi setahun kemudian untuk membantu nafkah keluarga. Jouhaux bekerja di perusahaan korek api dan kemudian bergabung dengan angkatan bersenjata. Tapi ia dipanggil kembali bekerja di pabrik karena ayahnya buta oleh paparan zat fosfor.

Jouhaux ikut serta dalam pemogokan pertama dan dipecat walaupun belakangan dipekerjakan lagi. Ia kemudian menjadi sekretaris jenderal serikat buruh setempat – CGT – dan berpidato di beberapa negara. Pidato-pidatonya mengajak serikat-serikat buruh untuk bersatu demi perdamaian.

Ia kemudian menjadi wakil presiden International Confederation of Free Trade Unions. Pada 1949, ia menjadi presiden European Movement. Walaupun ia ditangkap pada 1941 ketika Prancis jatuh ke dalam pendudukan Nazi Jerman, Jouhaux dibebaskan 25 bulan kemudian. Pada 1951 ia dianugerahi Nobel Perdamaian.


3. Herbert C. Brown

Herbert Brown. (Sumber Nobel Prize)

Herbert Brown dilahirkan pada 22 Mei 1912 di London, Inggris. Dua tahun kemudian keluarganya pindah ke Amerika Serikat. Ia menjadi murid yang cemerlang di sekolah, tapi terpaksa berhenti setelah kematian ayahnya.

Setelah menyadari bahwa bisnis bukan menjadi bidangnya, ia kembali ke sekolah dan lanjut hingga berkuliah di jurusan kimia. Sayangnya, tempat kuliahnya kemudian tutup. Ia pindah ke universitas lain sebelum akhirnya diterima di University of Chicago.

Ia meraih gelar doktor pada 1938 dan lanjut menjadi asisten peneliti di almamaternya hingga kemudian, bersama-sama dengan seorang rekan sesama dosen, ia berhasil melakukan sintesa uranium (IV) borohidrid yang ringkih dan beberapa temuan lain.

Brown lanjut mengajar di beberapa universitas lain dan menjadi anggota kehormatan International Academy of Science. Ia meraih Nobel Kimia pada 1979 bersama-sama dengan George Wittig. Pada 2004, Brown mendapat serangan jantung dan meninggal dunia.


4. Jose Saramago

Jose Saramago. (Sumber Wikimedia Commons)

Jose Saramago lahir pada 1922 di kota kecil di Portugal. Walaupun tergolong siswa berprestasi, ia terpaksa keluar dari sekolah karena alasan keuangan.

Saramago kemudian menjadi penerjemah dan jurnalis untuk harian Diario de Noticias. Pada usia 50-an, ia akhirnya mendapat pengakuan di bidang kesusastraan terkait penerbitan novel Baltasar dan Blimunda.

Pada 1969, Saramago bergabung dengan Partai Komunis dan secara terbuka mengaku sebagai ateis. Ia tidak mengandalkan kata benda yang sepantasnya, jadi karya-karyanya menjadi khas karena kebanyakan karakternya tidak memiliki nama.

Ia meraih Nobel Kesusastraan pada 1988.


5. Albert Einstein

Albert Einstein

Albert Einstein lahir pada 14 Maret 1879 di Jerman. Ia adalah seorang siswa yang biasa-biasa saja, tapi sangat tertarik kepada ilmu pengetahuan dan matematika.

Ketika berusia 15 tahun, ia keluar dari sekolah. Untuk mengejar pendidikan, ia bersekolah di Swiss agar meraih tingkatan A dan melanjutkan ke Zurich.

Setelah pindah ke Bern, Einstein mendapatkan pekerjaan di Kantor Paten sambil mengerjakan fisika teoritis di waktu senggang. Seiring berjalannya waktu, ia menerbitkan beberapa makalah ilmiah penting, termasuk yang membahas tentang teori relativitas khusus dan teori relativitas umum.

Ia dianugerahi Novel bidang Fisika pada 1921. Einstein pindah ke Amerika Serikat karena isu-isu politik Nazi Jerman dan menghabiskan tahun-tahun terakhir hidupnya secara tenang di Princeton hingga meninggal pada 1955.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya