Liputan6.com, Jakarta - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) melakukan pemantauan pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Tahun Ajaran 2017-2018. Terutama di jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan sekolah sejenis yang sederajat secara nasional.
Anggota ORI Achmad Suadi mengatakan, pemantauan dilakukan dalam rangka menjalankan tugas pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik. Itu sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Advertisement
"Pemantauan ini dirasa perlu, mengingat PPDB merupakan pintu awal dimulainya proses pendidikan sebagai salah satu bentuk pelayanan dasar yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Pemantauan PPDB tahun 2017 dilaksanakan secara nasional dengan melibatkan kantor Perwakilan Ombudsman RI di seluruh provinsi di Indonesia," ujar Suadi di Gedung ORI Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (31/7/2017).
Dia menjelaskan, demi menciptakan penyelenggaraan PPDB yang objektif, akuntabel, transparan, dan tanpa diskriminasi, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 17 Tahun 2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-Kanak, SD, SMP, SMA, SMK, atau lainnya yang Sederajat. Ini menjadi pedoman bagi Pementintah Daerah (Pemda) dalam menyusun petunjuk teknis atau juknis pelaksanaan PPDB Tahun Ajaran 2017-2018.
Dalam pelaksanaannya, Ombudsman RI masih menemukan berbagai potensi maladministrasi yang terjadi di hampir semua daerah. Suadi menyebut, setidaknya ada 14 potensi maladministrasi yang ditemukan ORI.
14 Dugaan Maladministrasi PPDB 2017
Pertama, terkait Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 yang diterbitkan pada Mei 2017. Rentang waktu yang penerbitan, dinilai terlalu dekat dengan Pelaksanaan PPDB sehingga menyebabkan daerah mengalami kesulitan.
Terutama, untuk menyesuaikan PPDB dengan aturan pada permendikbud tersebut. Apalagi, sebagian daerah sudah menerbitkan peraturan daerah atau juknis terlebih dahulu yang mengakibatkan banyak satuan pendidikan mengalami kesulitan penyesuaian. Kondisi ini menyebabkan terjadi maladministrasi.
Kedua, terbitnya permendikbud yang terlalu dekat dengan pelaksanaan PPDB juga menyebabkan miniminya sosialisasi terkait perubahan juknis PPDB. Alhasil masyarakat tidak mendapatkan kepastian.
Ketiga, di beberapa daerah ditemukan sistem online PPDB tidak beroperasi dengan baik (server down) sehingga sekolah merasa terganggu. Hal ini juga menyebabkan potensi penyimpangan yang sangat tinggi karena menyimpang dari prinsip online itu sendiri.
"Yakni bersifat terbuka, langsung, dan cepat," jelas Suadi.
Keempat, masih ditemukan maladministrasi jual beli kursi antara sekolah dengan orang tua murid.
Kelima, adanya campur tangan para pejabat daerah dan orang-orang tertentu untuk mempengaruhi atau memaksa sekolah menerima anak didik dari orang-orang tertentu.
Keenam, sistem zonasi yang menjadi saran Ombudsman RI kepada Kemendikbud, Kemendagri, dan Kemenag pada tahun 2015, yang saat ini diterbitkan dalam Pasal 15, 16 dan 17 Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017, tidak memiliki indikator yang jelas. Terutama tentang batasan wilayah calon peserta didik baru sebagai tolak ukur zonasi dengan mempertimbangkan kondisi demografi dan geografi wilayah.
"Ini menyebabkan, banyak kepala daerah dan sekolah mengalami kebingungan dalam menentukan batas zonasi," sebut Suadi.
Untuk yang ketujuh, ORI masih menemukan sekolah yang memiliki fasilitas yang baik tapi terpusat di daerah tertentu. Hal itu mampu mempersulit penerapan zonasi.
Temuan kedelapan, yakni adanya kesepakatan tidak tertulis atau tertulis antara pihak sekolah dengan instansi tertentu mengenai kuota khusus bagi calon peserta didik yang merupakan anak pegawai instansi tertentu. Kesepakatan itu menyebabkan maladministrasi dan ketidakadilan karena mengurangi jatah bagi calon siswa lain yang punya hak.
Dugaan kesembilan, beberapa sekolah ditemukan memungut biaya administrasi pendaftaran dan uang pembangunan.
Kesepuluh, pihak sekolah lalai dalam memverifikasi data maupun kemampuan calon peserta didik. Khususnya calon peserta didik melalui jalur non akademik seperti kuota untuk siswa miskin dan jalur prestasi.
Temuan berikutnya, lanjut Suadi, Ombudsman RI menemukan diskriminasi oleh pihak sekolah terhadap calon peserta didik baru yang berkebutuhan khusus atau menyandang disabilitas.
"Temuan keduabelas, terbitnya Surat Edaran Mendikbud Nomor 3 Tahun 2017 pada tanggal 6 Juli 2017 yang berpotensi membatalkan seluruh ketentuan yang sudah diatur dalam Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 karena memberikan toleransi dan pengecualian untuk hal-hal mendasar. Seperti rombongan belajar yang terkesan tidak tegas karena hal tersebut sudah diatur dalam Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 tentang PPDB," ucap dia.
Ketiga belas, Ombudsman RI sebagai anggota Tim Saber Pungli ikut terlibat dan berperan aktif dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) bekerjasama dengan aparat penegak hukum seperti yang terjadi di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Dalam hal ini, kepala sekolah atau wakil kepala sekolah terlibat dalam pungutan liar.
"Terakhir, belum berfungsinya pelayanan laporan atau pengaduan masyarakat di internal dinas pendidikan atau sekolah-sekolah dalam pelaksanaan PPDB. Sehingga masyarakat merasa tidak ada kepastian pelayanan dan penanganan yang cepat atas permasalahan PPDB yang dialami," jelas Suadi.
Saksikan Video menarik di bawah Ini:
Advertisement