Ini 3 Isu Utama Kehidupan Beragama di AS

Prof. Brett Scharffs dari Brigham Young University AS menyampaikan 3 hal yang mempengaruhi kehidupan beragama di AS.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 31 Jul 2017, 18:26 WIB
Ilustrasi maskapai penerbangan Amerika Serikat. (ShutterStock)

Liputan6.com, Jakarta - Menghadapi maraknya isu sentimen sosial-politik berbasis agama yang dalam beberapa waktu terakhir kerap melanda dunia, sejumlah lembaga non-profit Indonesia dan Amerika Serikat, menyelenggarakan forum seminar yang membahas isu relasi antara peran pemerintah dengan kehidupan beragama di suatu negara. Perhelatan itu dilaksanakan di Jakarta 31 Juli 2017.

Forum seminar itu bertajuk Relations Between Religions Majorities, Minorities, and the State in United States & Indonesia: Current Trends and Issues. Kegiatan itu diprakarsai oleh USINDO, Indonesia - US Council on Religion & Pluralism, SETARA, dan Wahid Institute.

Seminar tersebut dihadiri oleh Prof. Brett Scharffs dari Brigham Young University AS, Yenny Wahid dari Wahid Institute, Dr. Ferimaldi perwakilan Kementerian Agama RI, dan Febi Yonesta dari YLBHI.

Para pembicara membahas beragam isu, seperti kehidupan beragama dan relasinya dengan negara, friksi antara agama mayoritas dengan agama minoritas, sentimen radikalisme - ekstremisme, politisasi agama, pluralisme dan toleransi, hingga diskriminasi dan kekerasan terhadap para pemeluk agama.

"Penting diingat bahwa diskriminasi dan kekerasan yang dilakukan oleh umat beragama di seluruh dunia, tak hanya dilakukan oleh Muslim, namun juga dilakukan oleh para pemeluk Kristen, Hindu, Budha, dan agama lain," jelas Profesor Brett Scharffs, menyampaikan isi seminarnya di Jakarta, Senin (31/7/2017).

Dalam kesempatan ini, Yenny Wahid membenturkan fenomena tersebut dengan kondisi di Indonesia.

"Meski Muslim adalah mayoritas, di sejumlah wilayah mereka juga kerap mendapatkan perlakuan diskriminasi dan kekerasan oleh agama mayoritas di daerah. Contoh kasus seperti di Papua atau Bali," jelas Yenny.

Putri mantan Presiden Abdurrahman Wahid itu juga menjelaskan bahwa di Indonesia dan beberapa negara di dunia, agama rentan dimanfaatkan oleh sejumlah kalangan menjadi alat untuk mencapai tujuan politik tertentu.

"Saya sering ditanya soal kasus Ahok. Menurut saya, kasus Ahok itu hampir sama seperti kasus US Elections 2016. Yakni ketika sentimen populis dan sentimen agama digunakan untuk kepentingan politik. Kasus penistaan dan segala macam hanya mekanisme terkait dinamisme politik yang terjadi di suatu negara," tambah Yenny.

Sementara itu dalam konteks AS, menurut Prof Brett Scharffs, isu kehidupan beragama di Negeri Paman Sam didominasi oleh tiga isu utama, yakni perjuangan kelompok pemeluk agama minoritas, kebijakan pemerintah yang menyasar kelompok agama minoritas, dan friksi antara gerakan komunitas HAM dengan komunitas taat agama.

Kebijakan Travel Ban Presiden AS Donald Trump yang menjadi pusat atensi merupakan salah satu contoh mengenai relasi kehidupan beragama dengan negara di Negeri Paman Sam. Kebijakan itu melarang warga dari sejumlah negara tertentu yang mayoritas Muslim untuk datang ke AS.

"Sentimen seperti itu dimanfaatkan Trump pada pemilu lalu. Namun Trump tidak sadar permasalahan yang sebenarnya mengenai para pemeluk Muslim. Jika ia mengasosiasikan itu dengan terorisme, proyeksi itu tidak tepat. Bahwa ada banyak solusi lain yang jauh lebih baik selain Travel Ban guna menghadapi isu agama dan terorisme," jelas Scharffs.

"Di AS juga terjadi gesekan antara kelompok penggiat HAM, khususnya aktivis gay rights dengan sejumlah komunitas agama. Itu terjadi. Di sana juga terjadi perdebatan dan pertentangan terkait freedom of expression dan freedom of religion," tambahnya.

Guna menghadapi sejumlah permasalahan itu, Yenny dan Scharffs menawarkan sejumlah gagasan yang menjadi solusi.

"Yang paling utama adalah, semua individu dan kelompok mayoritas harus membuang jauh sikap dan keinginan untuk mendominasi kelompok minoritas. Sikap seperti itu merupakan akar dari diskriminasi, kekerasan, dan kebencian antar umat yang dapat memicu sikap radikal dan ekstremisme," jelas putri Presiden ke-4 RI itu.

"Terkait radikalisme dan ekstremisme, jangan biarkan mereka mengontrol seluruh sendi kehidupan kita di Indonesia. Jangan berikan mereka ruang bergerak dan menjadikan mereka pusat atensi. Kita juga harus menjaga para pemuda agar tidak terpengaruh paham tersebut," tambahnya.

"Yang terakhir, kita memerlukan political cost and effort dari pemerintah untuk menghadapi isu-isu tersebut," jelas Yenny.

Sementara itu, dalam konteks yang lebih umum, solusi yang ditawarkan Scharffs meliputi kebebasan yang bertanggung jawab, sosialisasi toleransi dan pluralisme, hingga menjaga etika dalam kehidupan beragama.

"Kita membutuhkan sosialisasi antar umat beragama. Kita juga harus menerapkan kebebasan yang bertanggung jawab, jangan menyalahgunakan hak itu," jelas Schaffer.

"Setiap pemeluk agama juga harus menghargai dan menjaga etika kepada sesama, memperlakukan orang lain sebagaimana diri kita ingin diperlakukan. Jika anda tidak suka agama anda dinistakan, maka, jangan menistakan agama orang lain," tambah sang profesor.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya