Liputan6.com, Cilacap- Gesekan biola mengalunkan ‘Tombo Ati’ terdengar lirih dari salah satu sudut pesantren. Suaranya benar-benar menyayat hati siapapun yang mendengar di Minggu yang sepi itu. Musik itu lantas berubah ritmis saat rancak reggae berpadu ketukan jimbe mengiringi ‘No Woman No Cry’.
Beberapa santri tampak gondrong. Beberapa lainnya masih berpeci, memegang alat-alat musik yang sedari tadi dimainkannya di salah satu uzlah pesantren itu. Uzlah adalah istilah untuk menyebut gubuk untuk menyepi atau bangunan yang terpisah dari ma’had (asrama) utama pesantren.
Nama pesantren ini unik, Pondok Pesantren Metal Tobat Sunan Kalijaga. Seperti namanya, pondok pesantren itu berdiri sekitar 2000. Pesantren menampung para berandal, bromocorah, pemabuk, dan tukang madat yang hendak bertobat.
Baca Juga
Advertisement
Sebagaimana pesantren lainnya, Ponpes Metal Tobat juga memiliki kurikulum. Awal masuk, santri diwajibkan mempelajari ilmu alat, yakni pelajaran nahwu shorof untuk mempelajari tata bahasa Arab.
Di waktu yang sama, santri juga sudah mulai masuk ke konsentrasi pembelajaran. Ada kelas Alquran, dan juga ilmu fiqih.Pelajaran Alquran terdiri dari beberapa tingkatan, mulai dari tafsir Alquran hingga tahfidz Alquran.
Sementara, dalam pelajaran fiqih, ratusan kitab klasik ulama kenamaan dipelajari, lewat ngaji sorogan (perorangan) maupun bandungan (general stadium).
Namun tak seperti pesantren lainnya, pesantren ini menerapkan kurikulum yang bagi sebagian orang dianggap aneh. Santri diperbolehkan bermusik. Banyak santri gondrong. Beberapa di antaranya masih bertato.
Terdengar tak masuk akal memang. Tapi inilah pesantren yang sejak kelahirannya pada 2000-an awal, hingga kini telah melahirkan 22 orang penghafal Alquran, hafiz dan hafizoh. Kini, di pesantren ini, 500-an santri, lelaki dan perempuan, tengah menuntut ilmu.
"Prinsip saya, bukan melihat ini anak akan dijadikan seperti apa. Bukan. Saya lihat potensinya saja. Kalau memang dia berpotensi jadi pemusik, saya dorong jadi pemusik. Kalau saya lihat, anaknya bagus, dia tinggi, bakat jadi militer, ya saya masukkan ke militer. Kalau memang bakatnya jadi kyai, saya dorong jadi kyai," kata Pengasuh Pondok Pesantren Metal Tobat Sunan Kalijaga, KH Soleh Aly Mahbub saat ditemui Liputan6.com.
Pesantren itu memiliki kelompok khusus santri musik bernama Solmet, kependekan dari Solawat Metal. Aliran musik seperti, rock and roll, reggae dipadu dengan marawis adalah andalan kelompok yang menamai dirinya Solmet, yang kependekan dari Solawat Metal.
Jadi, jangan heran, jika lagu ‘Tombo Ati’ Kyai Kanjeng dalam pementasan, disusul kemudian dengan lagu wajib rastamania, ‘No Woman No Cry’.
Saksikan video menarik di bawah ini:
Metode Nyentrik Pesantren Metal
Nama dan kurikulum yang dikembangkan di pondok pesantrennya ternyata diberikan oleh orang kampung setempat. Dia berpendapat tiap orang berhak atas ilmu sehingga ia tak pernah membatasi siswa yang ingin belajar di pesantrennya.
"Nama itu dulu, tahun 1999, kebanyakan yang mondok itu kan pecandu narkoba. Makanya banyak orang kampung mengatakan, 'Ini, kelompoknya Metal (yang) Tobat.' Dan masih bertahan sampai sekarang ini. Masih berjalan sampai saat ini," ujar kyai muda yang akrab dipanggil Abah Soleh ini.
Kyai Soleh mengaku tak pernah menolak anak jalanan. Ia bahkan memperbolehkan santrinya bermusik, melukis maupun berkesenian lainnya.
Menurut dia, yang terpenting adalah menyisipkan jiwa santri kepada orang-orang yang memang sudah memiliki bakat tertentu. Ia tak hendak mengubah seorang musikus, pelukis atau pematung untuk menjadi santri. Itu pula yang sempat memantik kontroversi.
"Ya karena yang mondok itu para pemakai narkoba, akhirnya yang punya tanah wakaf tidak cocok. Tanah itu diambil kembali. Saya dianggap gerombolan pemabuk. Saya diusir dari tempat itu," paparnya.
Salah satu santri asuhan Abah Soleh adalah Rudiarto. Panggilannya Rudi. Dia lah Ketua Kelompok Solmet. Pembawaannya santai. Cara bicaranya slengekan, namun sopan.
Rudi pun mengakui amat mengidolakan Bimbim Slank. Tato di punggungnya seolah merupakan dalil pembenar betapa kelamnya masa lalu santri ini.
Sebelum tobat, ia mengaku sering manggung di Purwokerto dan kota-kota lainnya. Namun, profesi sebagai musikus keliling membuatnya jenuh karena ia hanya memiliki pelarian ke mabuk-mabukan dan main perempuan.
"Pada dasarnya saya anak reggae. Vespa sampah yang saya pakai sangat panjang, dan rambutku gimbal. Tetapi itu dulu, kalau sekarang saya malu, Mas. Wis tua," tutur Rudi.
Rudi adalah salah satu santri yang kini dalam tahap rehabilitasi dari kecanduan narkoba dan gangguan kejiwaan. Sejak 2014 lalu, dia masuk ke pesantren ini atas saran seorang kawan.
Dia menemukan kesejukan di pesantren ini tanpa harus kehilangan hobinya bermusik. Bahkan, kelompok musiknya kerap tampil di acara-acara keagamaan, membawakan lagu rohani yang dipadu dengan rock and roll atau reaggae.
Rudi mengakui, baru pertama kalinya merasa berguna. Dari penghasilannya manggung sambil berdakwah itu, dia bisa membantu keuangan pesantren. Perlahan, Rudi sembuh dari kecanduan narkoba
"Sejak kumpul dengan anak Vespa, kemudian reggae juga, aku sudah makai-makai kaya gitu juga. Sebelum kenal sini (Pondok Pesantren Metal Tobat-red). Lalu treat di sini sih, betah juga," jelas dia.
Dari 500-an santri Pesantren Metal Tobat, ada 16 santri yang tengah menjalani rehabilitasi, mulai narkoba hingga gangguan jiwa. Pesantren ini juga mengembangkan sendiri rehabilitasi bagi pecandu narkoba. Itu pun dilakukan tanpa pengobatan yang njlimet.
Santri hanya diminta untuk disiplin menjalankan puasa Daud yang diyakini tak berefek samping dibandingkan dengan metode rehabilitasi menggunakan obat. Puasa Daud adalah metode puasa sehari, sehari tidak. Puasa itu dilakukan dalam jangka tiga tahun.
"Setelah selesai puasa tiga tahun, boro-boro minum lagi. Nyium baunya itu saja sudah muntah. Itu memang, puasa itu secara otomatis bisa mencegah untuk tidak mabuk lagi. Dan itu terbukti," Abah Soleh menerangkan.
Advertisement