Liputan6.com, Jakarta - Kepulan asap dan debu jalanan menjadi sahabat Encu sehari-hari. Meski letih, dia harus tetap awas memandang sekitar, memburu penumpang. Terik matahari mesti dilawannya saat menyusuri jalur 79 Lebak Bulus-Blok M sebagai sopir Metro Mini.
Hanya mempunyai ijazah SD, sulit bagi Encu mencari pekerjaan layak di Ibu Kota. Apa boleh buat, meski penghasilan kini menurun drastis dibanding beberapa tahun silam, dia tetap melakoni pekerjaannya. “Semangat karena untuk menafkahi keluarga,” tutur Encu, awal Juni 2017 lalu.
Dulu Encu tak perlu bersusah payah mencari penumpang. Mulai dari pelajar, karyawan swasta, atau PNS banyak menggunakan Metro Mini untuk bepergian. Pendapatan dari sehari bekerja dapat digunakan untuk menghidupi keluarga selama dua hari.
Kini untuk memenuhi setoran saja sulit. Belum lagi biaya solar dan pendapatan yang harus disisihkan untuk keluarga. Pria kelahiran Tasikmalaya ini mengaku terkadang terlambat membayar setoran karena ia pinjam untuk menafkahi keluarga.
Kesulitan Encu tak berbeda jauh dengan kondisi PT Metro Mini sebagai korporasi. Pemprov DKI Jakarta menerbitkan Perda No 5/2014 tentang Transportasi. Salah satu isinya mensyaratkan unit angkutan umum maksimal berusia 10 tahun.
Aturan tersebut niscaya bakal memangkas jumlah armada Metro Mini. Sebab, sebagian besar usia mobil lebih dari sepuluh tahun. "Saat ini, kurang lebih ya sekitar 800-an unit," ungkap Kepala Bidang Angkutan Jalan Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta, Massdes Arouffy, Senin 10 Juli 2017.
Massdes menuturkan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan waktu hingga akhir 2018 untuk masa transisi. Hingga menuju tenggat itu, PT Metro Mini dituntut melakukan peremajaan dan menjalin kemitraan dengan PT Transjakarta.
Encu mengaku akhir-akhir ini mobilnya sepi penumpang. Penyebabnya, transportasi umum berbasis aplikasi menjamur dan peningkatan kualitas Transjakarta. Hal ini membuat penumpang, yang tadinya menggunakan Metro Mini, beralih.
Advertisement
Ugal-ugalan di Jalan
Di balik nasib pilu Encu dan kawan-kawan yang terancam kehilangan pekerjaan, ada banyak kisah tak sedap tentang Metro Mini. Angkutan umum satu ini kental dengan citra serampangan di jalan raya. Tak sedikit cerita kecelakaan yang disebabkan kelalaian sopir Metro Mini.
Melihat data 2015 yang dirilis Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, hampir 10 persen dari 609 kasus kecelakaan angkutan umum melibatkan Metro Mini. Puncak yang menyita perhatian publik terjadi pada 6 Desember 2015. Saat itu Metro Mini B 80 menerobos palang perlintasan kereta Angke, Jakarta Barat, dan menabrak Commuter Line. Dalam kecelakaan itu, 18 orang menemui ajal.
Menanggapi kabar tersebut, Encu mengaku memang ada beberapa sopir metro mini yang ugal-ugalan ketika mengendarai mobilnya. Namun, tidak semua berlaku demikian di jalan raya. "Mungkin yang ugal-ugalan itu 2 dari 10 pengemudi, biasanya anak muda," ungkap Encu.
Selain itu, isu kelayakan mobil juga kerap menerpa Metro Mini. Dua tahun lalu, Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, menginstruksikan Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Andri Yansah, untuk mengandangkan seluruh Metro Mini yang sudah tidak layak jalan. Kala itu, Ahok menyinyalir ada ribuan unit yang tidak lulus uji KIR, tapi tetap mengaspal.
Hingga 2017, masih ditemukan unit Metro Mini beroperasi dalam kondisi tidak layak jalan. Beberapa di antaranya “disimpan” di Rawa Buaya, Jakarta Barat. Setidaknya sejak Januari hingga Mei 2017, ada 30 unit yang dikandangkan di Rawa Buaya.
Terkait kelayakan unit, menurut Encu, hal ini lantaran pendapatan yang kian menurun. Alhasil, biaya perawatan juga dipangkas.
Dalam keadaan seperti ini, Encu berada pada posisi dilematis. Di satu sisi, dia merasa was-was andai mobil yang dia bawa bermasalah. Hal ini membahayakan dirinya, penumpang, dan pengguna jalan lain. Di sisi lain, jika tidak bekerja, Encu tidak dapat menafkahi keluarga. "Walaupun mobil kurang enak ya kita hati-hati saja," tuturnya.
Encu mengatakan, tidak semua sopir Metro Mini ugal-ugalan. Selama 26 tahun bekerja, dia belum pernah mengalami kecelakaan serius. Pernah sekali mobilnya bersinggungan dengan mobil lain di jalan. Namun, hal tersebut bukan karena kelalaian Encu. "Alhamdulillah, ibu itu mengakui kesalahan,” ungkap bapak tujuh anak itu.
Advertisement
Kisah Kejayaan yang Meluruh
Metro Mini ada jauh sebelum Encu mengemudikannya. Diperkenalkan pada 1962 oleh Gubernur DKI Jakarta, Soemarno, semula Metro Mini diplot sebagai sarana transportasi peserta Ganefo. Baru pada 1976, atas instruksi Gubernur Ali Sadikin, dibentuk PT Metro Mini.
Meski kini dipandang sebelah mata, Metro Mini pernah menjadi idola warga Jakarta. Puncak kejayaannya terjadi pada era 1980-an hingga 1990-an. Kala itu, diperkirakan jumlah armadanya mencapai 6.000 unit dan melayani 60 trayek.
Namun, pada 1995 terjadi konflik internal di tubuh PT Metro Mini. Konflik tersebut memicu dualisme kepemimpinan. Puncaknya, pada 2013, kantor pusat PT Metro Mini dirusak sejumlah orang.
Pertengahan Juli lalu, Transjakarta meresmikan moda transportasi bernama Minitrans. PT Transjakarta bekerja sama dengan BNI Syariah untuk membeli 300 unit bus ukuran sedang.
Menurut Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat, bus ukuran sedang dibutuhkan untuk jalan kecil yang sulit dilalui bus Transjakarta umumnya. "Bisa dijadikan feeder dan sekaligus merupakan proses revitalisasi angkutan," ujar dia di Balai Kota DKI Jakarta
Saat ini, menurut Djarot, terdapat sekitar 1.500 bus sedang, baik Kopaja maupun Metro Mini di Jakarta. Jumlah Kopaja yang sudah direvitalisasi sekitar 328 unit, sedangkan jumlah Metro Mini yang direvitalisasi 300 unit.
Ia menargetkan, bus Kopaja dan Metro Mini lama menghilang pada 2018 mendatang. "Saya berharap kayak begini paling tidak 2018 sudah habis, hilang dengan sendirinya. Enggak usah diajak bertengkar, biar saja, pasti akan kalah bersaing," ujar Djarot.
Di sisi lain, Dirut PT Metro Mini, Nofrialdi, menyatakan pihaknya tengah mempersiapkan untuk bergabung dengan TransJakarta. “Ya, sesuai yang diinstruksikan Gubernur Ahok supaya Metro Mini memperbarui dengan mobil baru.”
Masalahnya, Nofrialdi, klausul kerja sama dengan TransJakarta dianggap memberatkan. "Kami diminta membayar uang muka mobil Rp 100 juta. Tapi kami cuma menerima bersih kurang dari Rp 3 juta per bulan. Tanggung jawab untuk supir ada di kami pula. Ini memberatkan," kata Nofrialdi.
Senjakala di depan mata. Sejak konflik meretakkan perusahaan, jumlah armada menurun. Dari 6.000 unit, diperkirakan menjadi lebih kurang 3.000 unit pada 2013.
Pemasukan juga seret. Dulu, dalam sehari, setoran yang harus dibayarkan Rp 600 ribu. "Dulu lagi ramai, setoran sampai Rp 600 ribu. Sekarang minta Rp 400 ribu, tapi kenyataannya Rp 350 ribu atau Rp 370 ribu,” ungkap Encu yang telah 26 tahun narik Metro Mini.
Beberapa jalur mati karena sangat sepi penumpang. Di antaranya, jalur 85 Kalideres-Lebak Bulus, jalur 79 Blok M-Lebak Bulus, dan Jalur 611 Lebak Bulus-Blok M.
Alhasil, sebagian rekan kerja Encu beralih profesi. Beberapa di antaranya ada yang berdagang kecil-kecilan, menjadi kuli bangunan, atau menjajal peruntungan sebagai pengemudi ojek online. Ada juga yang pulang kampung, meninggalkan gemerlap Jakarta.