Negara Kepulauan, Mengapa RI Impor Garam?

Konsumsi garam di Indonesia sebagian besar digunakan untuk kebutuhan industri.

oleh Agustina Melani diperbarui 03 Agu 2017, 12:46 WIB
Para petani garam di Kedung Jepara memanen garam yang tahun 2017 berasa manis. (foto : Liputan6.com/edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Jakarta - Masalah garam kembali menjadi sorotan. Mulai dari kelangkaan garam, harga mahal, dan impor. Lalu mengapa Indonesia melakukan impor garam padahal memiliki lautan luas dan garis pantai yang panjang?

Penasihat Senior Bidang Ekonomi Bursa Efek Indonesia (BEI) Poltak Hotradero menuturkan, kualitas garam di Indonesia kurang begitu baik meski memiliki garis pantai yang panjang. Hal itu lantaran kondisi geografis dan geologi Indonesia dan tak semua pantai dapat digunakan untuk produksi garam. Menurut Poltak, pantai landai yang hanya bisa digunakan untuk produksi garam. Produksi garam tersebut pun dilakukan saat musim kemarau.

"Permukaan bumi selalu berubah-ubah sepanjang waktu. Ada yang dulunya lautan kemudian berdasarkan proses geologi berubah menjadi daratan. Apa yang terjadi dengan laut alami proses demikian? Airnya akan menguap. Lalu apa yang tersisa? Tumpukan garam dalam skala raksasa. Negara-negara yang punya bagian daratan yang dulunya laut dan sekarang sudah mengering secara alami lewat proses alam selama jutaan tahun," jelas dia saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (3/8/2017).

Poltak menuturkan, kalau produksi garam tersebut bukan hanya dikeringkan di tepi pantai. Akan tetapi, juga ada lewat tambang garam, yaitu sisa laut purba yang sudah mengering yang seperti di bawah tanah Eropa. Oleh karena itu, Poltak menuturkan, negara seperti Belanda dapat produksi 5 juta ton gram.

"Atau Kota Salzburg (yang artinya Benteng Garam) menjadi pusat garam Eropa selama ratusan tahun, padahal Austria tidak punya garis pantai sama sekali," kata dia.

Poltak menambahkan, konsumsi garam sekitar 85 persen di Indonesia untuk kebutuhan industri. Garam menjadi bahan baku industri mulai dari industri kulit, kaca, pupuk, dan lain-lain. Poltak menuturkan, garam dapat dipecah menjadi natrium dan gas chlorium sebagai bahan baku industri dasar. Oleh karena itu, menurut Poltak impor garam perlu dilakukan terutama untuk industri yang membutuhkan kualitas bagus.

"Untuk garam industri yang perlu tingkat kemurnian dan tingkat kekeringan tinggi memang tidak ada pilihan lain selain impor agar industrinya kompetitif," kata Poltak.

Poltak menuturkan, kualitas garam di Indonesia memiliki tingkat kekeringan di bawah 97 persen. Selain itu, garam laut Indonesia dikeringkan dalam periode maksimum satu bulan. Menurut Poltak, garam yang ditambang sudah dikeringkan alam selama jutaan tahun.

"Garam di Indonesia kurang kering. Jarang sekali tingkat kekeringannya mencapai 99 persen ke atas. Biasanya masih di bawah 97 persen. Akibatnya kalau disimpan sekitar tiga bulanan akan membatu. Sementara, garam hasil tambang tingkat kekeringannya sangat tinggi 97 persen ke atas. Pada level kekeringan 99 persen mau disimpan bertahun-tahun tetap dalam bentuk terurai," jelas dia.

Poltak menambahkan, garam konsumsi langsung dipakai dapat menggunakan garam produksi di Indonesia.

Diperkirakan, kebutuhan garam di Indonesia mencapai 4,3 juta ton pada 2017. Kebutuhan garam untuk konsumsi di Indonesia mencapai 750 ribu ton per tahun. Sedangkan, kebutuhan industri mencapai 3 juta ton per tahun.

Pada 2016, Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) menyatakan, petani garam dalam negeri hanya mampu produksi garam sekitar 144 ribu ton. Sekitar 30 ribu ton disumbang petani garam yang berada di Jawa Barat.

Poltak menuturkan, Indonesia dapat meningkatkan kapasitas produksi. Namun, jadi perhatian mengenai harganya. Hal itu mengingat banyaknya produksi industri yang memerlukan bahan baku garam.

 

Saksikan Video Menarik di Bawah Ini:

 

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya