Liputan6.com, Damaskus - Termakan janji-janji manis ISIS, seorang gadis berusia 17 tahun asal Indonesia mengajak orangtua, saudara-saudara perempuan, paman, dan bibinya pindah ke Suriah untuk bergabung dengan kelompok teroris itu.
Tak sedikit dari saudara gadis itu yang tertarik. Namun, tidak butuh waktu lama pula sebelum impian mereka hancur berkeping-keping. Fakta yang mereka hadapi setelah bermigrasi ke Raqqa dua tahun lalu seluruhnya berbanding terbalik dengan angin surga yang ditawarkan ISIS.
Di tanah yang menjanjikan berbagai kenikmatan, para gadis justru dipaksa menikah dengan anggota ISIS. Ketidakadilan dan kebrutalan merajalela, belum lagi pertempuran yang memaksa seluruh pria berbadan sehat terlibat di dalamnya.
Nurshardrina Khairadhania, yang saat ini sudah berusia 19 tahun mengingat kembali bagaimana kepindahannya serta keluarga ke Raqqa berujung tragis.
Selama di sana, keluarga itu tercerai berai. Nur, nama panggilan gadis, itu harus kehilangan neneknya. Sementara seorang pamannya terbunuh dalam sebuah serangan udara.
"ISIS hanya berbagi hal-hal baik di internet," ujar Nur dalam wawancara dengan Associated Press seperti Liputan6.com kutip dari Abcnews.go.com, Jumat (4/8/2017).
Nur, kini tinggal bersama ibunya, dua saudara perempuannya, tiga bibinya, dua sepupu perempuan dan tiga kemenakannya di Ain Issa. Tempat itu merupakan sebuah kamp yang didirikan oleh pasukan Kurdi bagi para pengungsi.
Adapun ayah dan empat sepupu laki-laki Nur berada di dalam tahanan. Mereka akan diinterogasi oleh pasukan Kurdi atas dugaan terkait dengan ISIS. Nur masih berharap keluarganya dapat kembali berkumpul dan pulang ke Jakarta.
Keluarga Nur termasuk di antara ribuan orang dari Asia, Eropa, Afrika, Amerika Utara, dan Timur Tengah yang mengejar mimpi akan sebuah masyarakat Islam baru yang dipromosikan ISIS melalui video propaganda.
Nur mengajak keluarganya pindah beberapa bulan setelah ISIS mendeklarasikan "kekhalifahan" mereka di wilayah Suriah dan Irak pada tahun 2014.
Baca Juga
Advertisement
Dengan mengutip dari blog ISIS, Nur menceritakan niat kepindahan mereka ke Suriah. Di antaranya, saudaranya yang berusia 21 tahun dapat melanjutkan pendidikan komputernya secara gratis, sepupunya yang menjanda dapat memperoleh perawatan kesehatan bagi ia dan tiga anaknya yang salah satunya penderita autisme, pamannya dapat keluar dari jeratan utang bahkan membuka sebuah usaha baru.
Bagi Nur sendiri, ISIS merupakan tempat yang tepat untuk mengejar keinginannya mendalami Islam dan belajar menjadi praktisi kesehatan.
"Ini adalah tempat yang baik untuk hidup dalam kedamaian dan keadilan dan Insya Allah, setelah hijrah, kita akan pergi ke surga. Saya ingin mengajak seluruh keluarga saya... Kami ingin terus hidup bersama di dunia dan akhirat," kenang Nur akan pola pikirnya dulu.
Demi berangkat, keluarga Nur rela menjual rumah, mobil, dan perhiasan mereka hingga terkumpul uang sebesar US$ 38 ribu. Mereka bertolak ke Suriah melalui Turki.
Setibanya di Turki, keluarga itu terpecah dalam perdebatan bagaimana mereka menyelinap ke Suriah. Tujuh kerabat Nur yang nekat bergerak sendiri, ditangkap aparat Turki saat mencoba melintasi perbatasan secara ilegal.
Mereka dideportasi ke Indonesia. Di Tanah Air kehidupan mereka diawasi mengingat sebagian lainnya tinggal di wilayah ISIS.
Saksikan video berikut:
Terpisah
Tiba di wilayah ISIS pada Agustus 2015, keluarga Nur tersebut kembali terpisah-pisah.
Mereka yang berjenis kelamin laki-laki diperintahkan untuk mengikuti kelas pendidikan Islam dan berakhir di penjara selama berbulan-bulan karena menolak mengikuti latihan militer dan pelayanan.
Setelah dibebaskan, mereka hidup secara sembunyi-sembunyi untuk menghindari rekrutmen paksa atau hukuman penjara baru. Sementara, para perempuan dikirim ke asrama wanita.
Nur, kaget dengan kehidupan di asrama wanita yang dikelola ISIS. Di sana para perempuan bergosip, mencuri barang milik satu sama lain, dan terkadang bertengkar dengan pisau.
Nama Nur, saudaranya yang berusia 21 tahun, dan seorang lainnya yang berstatus janda masuk dalam daftar pengantin wanita yang akan disalurkan ke anggota ISIS.
"Ini gila! Kami bahkan tidak tahu siapa mereka. Kami tidak tahu latar belakang mereka. Yang mereka inginkan adalah menikah dan menikah," terang Nur.
Menurut Nur dan sepupunya, ada tiga hal yang diinginkan ISIS, yaitu "perempuan, kekuasaan, dan uang".
"Mereka bertingkah layaknya Tuhan, menciptakan hukum sendiri. Mereka sangat jauh dari gambaran Islam," tutur Nur.
Sepupu Nur, seorang pria berusia 18 tahun, yang ditahan di sebuah pusat keamanan yang dikelola oleh pasukan Kurdi di Kobani, utara Raqqa, mengatakan bahwa tinggal di bawah kekuasaan ISIS bak hidup di penjara.
"Kami (tidak) ingin pergi ke Suriah untuk berperang. Kami hanya ingin hidup di negara Islam, tapi ini bukan negara Islam. Mereka tidak adil, dan muslim memerangi sesama muslim," kata sepupu Nur itu.
Pejabat ISIS terus menerus mengabaikan pertanyaan Nur tentang fasilitas pendidikan yang dijanjikan. Karena menolak masuk dinas militer, maka anggota keluarga itu tidak pernah mendapat pekerjaan yang diiming-imingi.
Ketika pertempuran di Raqqa diintensifkan pada Juni, kelompok ISIS mendirikan pos pemeriksaan di sekitar kota. Mereka memburu calon anggota dan keluarga Nur tidak luput dari pemantauan.
"Saya meninggalkan negara saya untuk alasan egois yang sangat bodoh. Saya ingin fasilitas gratis. Syukurlah saya mendapat operasi gratis, tapi selain itu semuanya kebohongan," ungkap Difansa Rachmani, salah seorang sepupu Nur.
Selama berbulan-bulan keluarga tersebut mencari cara melarikan diri. Sebuah upaya yang penuh risiko mengingat ISIS mengawasi wilayahnya dengan ketat.
Ketika pertempuran pasukan Kurdi melawan ISIS untuk merebut Raqqa diintensifkan pada Juni, keluarga itu melihat peluang untuk kabur.
Nur berhasil menghubungi aktivis dan penyelundup. Dengan membayar US$ 4 ribu, keluarga tersebut dibawa ke wilayah yang dikuasai pasukan Kurdi dan pada 10 Juni, mereka menyerahkan diri.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia (PWNI-BHI) Kemlu RI Lalu Muhammad Iqbal mengatakan pihak berwenang telah mengetahui tentang keberadaan WNI di kamp Ain Issa, termasuk keluarga Nur. Saat ini kondisi mereka tengah diselidiki.
"Bagaimanapun mereka sudah dua tahun hidup di wilayah ISIS, jadi penilaian risiko atas mereka dibutuhkan dan kami menghadapi hambatan untuk menjangkau mereka mengingat mereka berada di wilayah yang tidak resmi dikendalikan baik oleh pemerintah Irak maupun Suriah," papar Lalu.
Pada akhirnya, penyesalan meluncur dari bibir Nur. "Saya sangat menyesal. Saya sangat bodoh dan naif. Saya menyalahkan diri saya sendiri. Semoga Tuhan menerima pertobatan saya karena Anda tahu...pergi ke Turki (lalu Suriah) itu bukan seperti liburan. Itu merupakan perjalanan yang sangat, sangat berbahaya."
Advertisement