Liputan6.com, Jakarta - Sebelum berfungsi sebagai alat komunikasi, bahasa melalui proses yang panjang. AS Laksana, dalam salah satu esainya tentang daerah pemekaran di Tulang Bawang Barat ((Tubaba) menulis bahwa segala sesuatu bermula dari pikiran.
Baca Juga
Advertisement
Artinya, secara singkat dan gamblang, bahasa muncul karena pikiran menghendakinya. Begitu juga sebaliknya. Bahasa tidak akan muncul jika pikiran mencegah atau bahkan menolak kehadirannya.
Kalimat terakhir memang terdengar ekstrem dan mustahil.
Berkaca pada realitas, tidak mungkin setiap individu tidak memproduksi bahasa. Sebodoh apa pun manusia--dalam hal sepele sekali pun--bahasa sudah barang mutlak digunakan. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi setiap individu yang tidak berkomunikasi, atau tidak memiliki pembendaharaan kata, atau bahkan hanya bengong-bengong saja sepanjang hidupnya. Ini seperti peribahasa “hidup segan, mati tak mau”.
Karena itulah, perlu ada penyebab lain terkait munculnya bahasa yang berfungsi sebagai alat komunikasi. Jika pikiran menjadi pusat segalanya—termasuk dalam memproduksi bahasa--maka harus ada penyebab mengapa pikiran menjadi pusat dari segalanya.
Dalam hal ini, kita bisa mengambil studi kasus yang ringan-ringan saja.
Syahdan, Andika “Kangen Band”, vokalis tampan yang diberkahi suara merdu nan jatmika, menggugat cerai Caca, istri keempatnya. Yang sudah bisa diprediksi oleh khalayak dan juga warganet, dalam beberapa waktu ke depan, Andika “Kangen Band” sudah resmi menjadi duda dan status di KTP-nya pun juga berubah.
Contoh kasus di atas merupakan salah satu bukti bahwa pikiran tidak melulu berperan sebagai pusat dari segala tindakan, termasuk berbahasa. Andika “Kangen Band” melayangkan gugatan cerai terhadap istirnya memang dikomandoi oleh pikiran, meskipun emosi juga mengambil peran di sana. Namun, di balik itu semua, ada sejumlah alasan mengapa pikiran dan emosi dari Andika “Kangen Band” melakukan hal tersebut.
Dilansir dari Bintang.com, tiga penyebab Andika “Kangen Band” melayangkan gugatan cerai terhadap istrinya adalah konflik yang berkelanjutan, kemudian adanya pihak ketiga (ini lebih berlaku dari sudut pandang sang istri), serta tudingan mertua Andika yang materialistis.
Singkat saja, alasan-alasan di atas tentu bukan mendekam di pikiran Andika “Kangen Band” atau istrinya. Alasan-alasan di atas berada di luar pikiran. Demi mempermudah, kita bisa menyebutnya sebagai “situasi” atau “keadaan”.
Seseorang mengucapkan beberapa kata tentu melihat bagaimana situasi atau keadaan di sekitarnya. Laki-laki hidung belang tidak mungkin mengucapkan kalimat, “Hai cewek, abang temenin dangdutan nyok!” ketika ia melihat seekor kambing tengah memakan rumput di lapangan. Kaesang Pangarep, misalnya, melontarkan satu kata yang membikin heboh, tentu karena ia melihat situasi dan keadaan sekitar yang menurutnya sangat memprihatinkan.
Keadaan merupakan faktor penting yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja dalam hal proses berbahasa. Keadaan berperan layaknya pengait agar pikiran menangkap kejadian dan memproses, lalu kemudian memulai sesuatu—salah satunya berbahasa. Maka dari sana, bisa kita katakan untuk sementara, pikiran menjadi pusat dari segala sesuatu—termasuk menghasilkan bahasa— tidak sepenuhnya benar. Itu karena sebelum seseorang berpikir atau mengucapkan sesuatu, tentu ada situasi yang mendorongnya melakukan hal-hal tersebut.
Tentu di luar itu ada faktor yang membuat perbedaan daya ungkap berbahasa dalam menanggapi "situasi" atau keadaan. Hal itu adalah kepribadian manusia, yang dilatarbelakangi gender, usia, dan pendidikan--menyebut beberapa di antaranya. Karena itu, tidak heran bila ada ungkapan, "Hati-hati dengan mulutmu."
Maka, caramu berbahasa dengan jelas menunjukkan kepribadianmu. Demikian jugakah pikiranmu mempengaruhi caramu berbahasa?