Liputan6.com, Bandung Para pekerja sosial yang sering kali harus berhadapan langsung dengan masyarakat dianggap rentan terpapar gangguan kejiwaan. Gangguan ini disebabkan, para pekerja sosial ini harus rela melihat, mendengar dan merasakan langsung keluhan atau pun peristiwa yang dialami oleh masyarakat.
Semua hal tersebut menyebabkan pekerja sosial secara tidak langsung diwajibkan untuk mengesampingkan kepentingan pribadinya, baik secara fisik dan batin.
Advertisement
Menurut anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, Tedy Hidayat, profesi pekerja sosial yang rentan terpapar gangguan kejiwaannya ini seperti anggota SAR, Pemadam Kebakaran, relawan bencana, PMI, polisi dan lainnya.
"Mereka itu harus melihat secara langsung kejadian yang sebenarnya karena pekerjaan mereka. Seperti melihat darah, ceceran bagian tubuh yang terpisah, mengangkat korban kecelakaan yang sedang trauma. Bahkan ada pula yang dimarahi masyarakat karena dianggap tidak sempurna dalam menjalankan tugas," kata Tedy Hidayat saat dihubungi di Bandung, Jumat (4/8/2017).
Tedy Hidayat mengatakan dampak gangguan kejiwaan akibat ikut menjalani peristiwa yang tidak normal saat bertugas, tidak serta merta langsung terdeteksi. Karena biasanya bagi seseorang yang pertama kali melihat peristiwa traumatis, hanya berdampak pada perubahan kegiatan rutin sehari-harinya.
Namun kata dia, dampak umum gangguan kejiwaan yang dialami oleh para pekerja sosial itu terlihat dari pola makan, tidur dan lambat laun dalam perilakunya.
"Yang biasanya senang mengkonsumsi daging, akhirnya berhenti karena sehari sebelumnya melaksanakan tugas evakuasi mayat. Kalau manusia normal tidur nyenyak, pekerja sosial ini sering bermimpi dengan kejadian - kejadian traumatik sebelumnya. Namun karena tuntutan pekerjaan maka seluruh kejadian abnormal itu menjadi hal lumrah," ujar Tedy.
Paparan peristiwa traumatik itu jelas Tedy akan mengubah perilaku bahkan gaya hidup seseorang, seperti halnya para pekerja sosial. Awalnya, mereka tidak menyadari adanya gangguan jiwa tersebut. Tetapi seiring waktu, gangguan jiwa itu dapat dilihat dari apa yang sehari-hari dilakukan.
Seperti adanya ketergantungan atas suatu minuman atau makanan, sering bermimpi hal yang sama secara berulang, bahkan yang parah adalah sering berhalusinasi.
"Seperti suka mendengar suara-suara di sekitarnya yang sebenarnya tidak ada. Gangguan jiwa akut lainnya adalah berbicara seakan ada teman yang sedang berhadapan," jelas Tedy.
Gangguan kejiwaan tersebut dipicu akibat tidak adanya lagi saringan kejadian atau informasi yang diterima karena tuntutan pekerjaan yang tidak boleh dipilah. Pada dasarnya setiap kejadian, informasi maupun peristiwa memiliki prioritas yang primer.
Tak hanya para pekerja sosial yang rentan terpapar gangguan kejiwaan, profesi jurnalis juga menurut Tedy, berpotensi memiliki penyimpangan kesehatan jiwa.
"Para pekerja media ini menerima apapun bentuk informasi dalam skala tak penting sampai sangat penting. Alasannya ya tuntutan pekerjaan. Ada bencana datang, ke pusat keramaian datang tanpa mengindahkan kepentingannya sendiri," jelas Teddy.
Saksikan juga video berikut ini: