ICW: Belum Ada Performa Membanggakan dari Kejaksaan

ICW menilai kinerja Kejaksaan Agung di bawah kepemimpinan HM Prasetyo tidak memuaskan.

oleh Rezki Apriliya Iskandar diperbarui 04 Agu 2017, 18:35 WIB
Gedung Kejaksaan Agung Jakarta.

Liputan6.com, Jakarta - Kinerja Jaksa Agung HM Prasetyo kembali menjadi sorotan pasca-operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjerat Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Pamekasan Rudi Indra Prasetya.

Sorotan itu datang dari Indonesia Corruption Watch (ICW). ICW menilai kinerja Prasetyo selama ini tidak memuaskan.

"Kerja kejaksaan di bawah Jaksa Agung (Muhammad Prasetyo) masih jauh dari memuaskan. Prasetyo tidak kerja yang baik selama kepemimpinannya sebagai jaksa agung," ujar Kepala Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Lola Ester, di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (4/8/2017).

ICW memiliki catatan tersendiri terhadap kinerja Prasetyo dalam penindakan korupsi selama kepemimpinannya sebagai jaksa agung. Lola menilai, selama kepemimpinan Prasetyo, masalah penindakan korupsi masih minim.

"Dari November 2014 sampai Oktober 2016, jaksa agung menangani sekitar 24 kasus korupsi yang melibatkan 79 orang tersangka dan menimbulkan kerugian negara 1,5 triliun rupiah. Dari 24 kasus tersebut, sekitar 67 persen atau 16 kasus korupsi masih di tingkat penyidikan," ungkap Lola.

OTT KPK yang terjadi di Pamekasan, Jawa Timur, juga menambah daftar jaksa yang tertangkap tangan oleh KPK. ICW menyebut, ada 34 jaksa terlibat korupsi pada era kepemimpinan Prasetyo.

"Jumlah jaksa yang sudah pernah terlibat dan diduga perkara kasus korupsi ada sekitar 34 termasuk Kajari Pamekasan, baik sudah ditindak maupun yang masih diproses," ucap Lola.

Dari fakta-fakta tersebut ICW menilai, belum ada kinerja yang membanggakan dari kejaksaan hingga saat ini.

"Dari 2014 hingga sekarang belum ada performa yang membanggakan dari kejaksaan. Ada masalah sistemik dalam kejaksaan yang belum tertangani dengan baik," sebutnya. 


Pengawasan Lemah

Peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Miko Susanto Ginting, menilai, pengawasan kejaksaan sangat lemah. Terutama yang berkaitan dengan tindakan korupsi.

Hal tersebut diperparah adanya OTT KPK terhadap Kajari Pamekasan Rudi Indra Prasetya.

"Yang paling lemah di kejaksaan itu adalah pengawasan. Ada pengawasan internal dan eksternal. Internal ada jaksa agung muda pembinaan dengan berbagai sistem pengawasannya. Di eksternal ada komisi kejaksaan," ujar Miko Susanto Ginting di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (4/8/2017).

Tadinya, dia mengira, dua sistem pengawasan itu cukup untuk mendorong sistem pengawasan yang kuat pada Kejaksaan Agung. Namun, ternyata dugaannya keliru.

Miko menambahkan, pengawasan saja tanpa adanya penegakan sikap disiplin dan penegakan hukum di jajaran kejaksaan tidaklah cukup. Sistem pengawasan di kejaksaan pun perlu dievaluasi ulang.

"Pengawasan saja tidak cukup tanpa penindakan, tanpa penegakan disiplin, penegakan hukum. Ini semua tidak akan tercapai jika kejaksaan agung tidak membuka diri terhadap perubahan. Sistem pengawasan kejaksaan juga harus dievaluasi ulang," kata Miko.

Seperti yang diberitakan sebelumnya, OTT KPK kembali menjerat aparatur hukum di kejaksaan. Kali ini Kajari Pamekasan Rudi Indra Prasetya terjaring karena kasus suap terkait Alokasi Dana Desa (ADD) Pamekasan, Madura, Jawa Timur, tahun anggaran 2015-2016.

Rudi merupakan salah satu dari lima tersangka suap menerima janji atau hadiah terkait pengusutan perkara tindak pidana korupsi penggunaan dana desa tersebut.

Rudi Indra Prasetya yang diduga penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Saksikan Video Menarik di Bawah Ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya