Liputan6.com, Jakarta - Kasus pengeroyokan dan pembakaran terhadap pria bernama M Alzahra atau Joya di Pasar Muara, Kabupaten Bekasi menjadi sorotan. Pria berusia 30 tahun itu dibakar hidup-hidup karena diduga mencuri amplifier atau mesin pengeras suara di salah satu musala di sekitar lokasi.
Kriminolog Universitas Indonesia Adrianus Meliala mengatakan, kasus tersebut tak lepas dari adanya crowd atau kerumunan. Memang kerumunan tak selalu negatif. Namun jika sudah mengarah pada mob, maka bisa dikategorikan kriminal.
Advertisement
"Karena ini sudah berkerumun, berkumpul, berubah besar, dan mengamuk, dan melakukan hal yang tidak bisa dilakukan individu pribadi," ujar Adrianus saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Jumat 4 Agustus 2017.
Mob adalah sekelompok orang tanpa dukungan masyarakat yang dengan marah menyerang dan berusaha melukai atau merusak suatu objek tanpa mengindahkan norma sosial dan hanya berpegang pada pertimbangan yang sederhana.
"Sehingga ketika mob ini terjadi, memang harus dilakukan upaya paksa untuk kemudian mob itu bubar," sambung dia.
Kendati, menciptakan mob juga tidak gampang. Menurut Adrianus, butuh proses untuk menciptakan mob, setidaknya dengan adanya sosok pemimpin atau yang dituakan dalam kerumunan tersebut. Selain itu juga harus ada isu bersama yang membuat orang mudah terkoordinir.
Dalam kasus pengeroyokan dan pembakaran terhadap Joya, Adrianus mempertanyakan keberadaan sosok orang tua atau tokoh di sekitar lokasi yang seharusnya dapat meredam aksi main hakim sendiri.
"Jangan-jangan mereka masuk di bagian mob itu, ikut mukulin dan ikut bakar juga. Itulah ngerinya mob, ketika orang sudah dipengaruhi oleh perasaan kelompok yang kadang-kadang irasional, maka dia bisa bertindak sesuatu yang tidak bisa dilakukan sendirian," ucap Adrianus.
Sosok orang tua di sini tak selalu tokoh masyarakat. Bisa saja jawara atau orang yang dituakan dan memiliki pengaruh terhadap masyarakat sekitar. Mereka memiliki peran penting untuk mencegah terjadinya mob. Sebab, aksi ini sulit terjadi jika hanya dilakukan oleh individu.
"Mereka itu pasti mendengar kata senior, kata ustaz, kiai, sehingga mob bisa tercegah. Tapi kalau tidak ada, ya tergantung siapa yang paling kuat di situ, kalau bilang ayo dibakar, ya dibakar," tutur dia.
Dalam Hati Menyesal
Adrianus yakin, orang-orang yang terlibat dalam aksi pengeroyokan dan pembakaran terhadap Joya saat ini menyesal. Setidaknya dalam hatinya mereka mengakui bahwa telah menjadi pembunuh.
"Ketika mereka sibuk berperang dengan kata hatinya maka diharapkan besok-besok ada orang yang tiba-tiba mengaku, tiba-tiba datang ke polisi, mengatakan bahwa dia ikut bertanggung jawab," harap dia.
Sementara itu, Kapolres Bekasi Kombes Asep Adi Saputra menyatakan, pihaknya akan mengusut hingga tuntas kasus pengeroyokan dan pembakaran ini. Terlepas korban merupakan pelaku pencurian, aksi main hakim sendiri tidak dapat dibenarkan.
"Iya, (warga yang main hakim sendiri) bisa dipidana. Itu tidak dibenarkan," ujar Asep kepada Liputan6.com.
Asep mengingatkan kepada masyarakat bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Pelanggaran apapun harus diproses sesuai hukum yang berlaku oleh aparat yang berwenang. Masyarakat tidak dibenarkan melakukan tindakan sendiri.
"Kalau ada yang seperti ini, hendaknya melaporkan ke pihak yang berwajib, jangan mengambil tindakan," jelas dia.
Sejauh ini, polisi telah memeriksa tujuh orang saksi termasuk istri korban. Polisi juga mengklaim telah mengidentifikasi pelaku pembakaran. Namun sejauh ini polisi belum menetapkan tersangka dalam kasus tersebut.
Sebelumnya, seorang pria diamuk massa dan dibakar hidup-hidup di kawasan Pasar Muara, Bekasi, Selasa 1 Agustus 2017. Pria yang belakangan diketahui bernama M Alzahra atau Joya ini diduga mencuri amplifier atau mesin pengeras suara di Musala Al Hidayah, Kampung Cabang Empat, RT 02 RW 01, Hurip Jaya, Babelan, Kabupaten Bekasi.
Pria yang diketahui bekerja sebagai tukang reparasi amplifier itu akhirnya meregang nyawa di tengah kobaran api.
Saksikan video di bawah ini: