Liputan6.com, Jakarta Melanjutkan rangkaian tulisan Dokter Pejuang Kemerdekaan, untuk edisi Minggu (6/8/2017) Health-Liputan6.com akan membahas salah satu tokoh yang tak kalah penting di balik berdirinya organisasi modern pertama di Indonesia, yaitu dr Radjiman Widyodiningrat.
Ketika pendidikan di bumi nusantara hanya diperuntukkan bagi mereka yang berdarah biru, Mas Radjiman berhasil menyerap ilmu dari hanya ikut mendengar di bawah jendela ruang-ruang kelas. Siapa nyana putra penjaga sebuah toko kecil di Yogyakarta itu akhirnya bisa menjadi seorang dokter, bahkan juga tokoh yang diperhitungkan dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
Advertisement
Mengutip laman pahlawancenter.com, dr Radjiman Wedyodiningrat bukanlah berasal dari keluarga bangsawan. Dia lahir pada 21 April 1879 di Desa Mlati, Yogyakarta. Ayahnya, Sutodrono, seorang kopral berdarah Gorontalo-Bugis. Sedang ibunya adalah wanita Jawa.
Buku Dokter-Dokter UI yang diterbitkan ILUNI FKUI mencatat, pendidikan Radjiman diawali dari hanya mendengarkan pelajaran di bawah jendela kelas saat dia mengantar putra Dr Wahidin Sudirohusodo ke sekolah. Atas belas kasihan seorang guru Belanda, Radjiman pun diperbolehkan mengikuti pelajaran di dalam kelas. Karena kecerdasannya dan bantuan dari sang ayah angkat, Dr Wahidin, Radjiman berhasil melanjutkan ke Sekolah Dokter Bumiputera (Stovia) dan lulus di usia 19.
Radjiman kemudian bekerja di beberapa daerah di Pulau Jawa, seperti di Banyumas, Purworejo, Semarang, dan Madiun. Dia pun meneruskan pendidikan dan menjadi asisten di Stovia sampai lulus sebagai Indisch Arts.
Setelah lulus, Radjiman mengabdi sebagai asisten dokter istana Kasunanan Surakarta dan dokter rumah sakit jiwa di Lawang, Jawa Timur. Namanya kemudian disematkan pada rumah sakit tersebut, Rumah Sakit Jiwa Dr Radjiman Wediodiningrat.
Semangatnya untuk belajar tak pernah padam. Pada Oktober 1909, Radjiman tiba di Belanda guna melanjutkan pendidikan sebagai dokter serta mengkhitan putra-putra Susuhunan, laman Historia.id mengutip buku Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia di Negeri Penjajah 1600-1950 oleh Harry Poeze.
Radjiman berhasil lulus dengan cemerlang. Gelar dokternya disejajarkan dengan dokter-dokter lulusan universitas di Belanda. Suatu hal yang tak mudah dicapai oleh rakyat biasa tanpa embel-embel darah biru. Selain menuntut ilmu di Belanda, Radjiman juga memperdalam keahliannya di Berlin dan Paris. Dia menjadi dokter ahli bedah, dokter bersalin, dan ahli penyakit kandungan.
Berkiprah di Organisasi
Radjiman ikut berperan dalam lahirnya organisasi Budi Utomo. Dia bahkan dipercaya menjadi ketua organisasi tersebut pada 1914-1915. Ketika memimpin Budi Utomo itulah Radjiman mengusulkan pembentukan milisi rakyat di setiap daerah di Indonesia. Itulah pertama kalinya bangsa Indonesia memiliki kesadaran untuk memiliki tentara.
Gagasan mengenai milisi rakyat itu dikemukakan Radjiman terkait meletusnya Perang Dunia I, juga untuk mengantisipasi adanya seranga negara lain terhadap Hindia Belanda (Indonesia), mengutip laman Pahlawancenter.com. Pemerintah Belanda menolak usul milisi yang digagasnya. Sebagai gantinya, Pemerintah Belanda menyetujui dibentuknya Volksraad, badan perwakilan rakyat yang juga dikenal dengan Dewan Rakyat. Radjiman Wedyodiningrat duduk sebagai anggota Volksraad selama tiga tahun.
Usai meninggalkan Volksraad, Radjiman tetap berkiprah dalam berbagai organisasi antara lain Committee van da Javasche Onwikkeling yang kemudian menjadi Java Instituut serta dalam Indonesiasche Studie Club.
Sama seperti rekan-rekan dokter yang juga memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, Radjiman pun gemar menyuarakan aspirasinya melalui coretan pena. Dia menerbitkan majalah Timbul yang digunakan sebagai sebagai wadah untuk aspirasi politiknya secara halus.
Saat pendudukan Jepang, Radjiman menduduki posisi-posisi penting. Namun, yang terpenting adalah sebagai Ketua BPUPKI. Dalam sidang BPUPKI, Radjiman melontarkan pertanyaan mengenai dasar negara jika kelak bangsanya merdeka. Pertanyaan itu dijawab dengan penjabaran mengenai Pancasila oleh Soekarno.
Setelah Indonesia merdeka, Radjiman masih sempat mengabdi pada negara sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dokter Rakyat
Semangat kebangsaan dan kecintaan Radjiman terhadap tanah airnya terlihat dari pengabdiannya kepada rakyat. Ketika Kabupaten Ngawi terserang wabah pes di tahun 1934, Radjiman memutuskan tinggal di tengah warga Ngawi dan menangani langsung wabah tersebut. Dia pun aktif memberdayakan dukun bayi di daerah tersebut guna mencegah kematian ibu dan bayi saat melahirkan.
Radjiman sangat peduli terhadap kesehatan masyarakt, terutama yang tidak mampu. Itu sebabnya dia diangkat menjadi dokter Keraton Surakarta dan mendapat gelar kehormatan Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) dan tambahan nama Wedyodiningrat.
Selain peduli terhadap kesehatan masyarakat, Radjiman juga memikirkan pendidikan anak-anak di sekitar tempat tinggalnya. Dia mengajar anak-anak di Dusun Dirgo yang kesulitan biaya sekolah. Lokasi tempatnya mengajar itu kemudian bertransformasi menjadi sekolah formal berupa Sekolah Dasar Negeri 3, 4, dan 5 Kauman.
dr Radjiman Wedyodiningrat tutup usia pada 20 September 1952 di Dusun Dirgo, Widodaren, Ngawi. Jenazahnya kemudian dimakamkan berdekatan dengan panutannya, dr Wahidin Soedirohoesodo di Desa Mlati, Sleman, Yogyakarta. Rumah kediamannya kemudian menjadi situs bersejarah dan telah berusia sekitar 134 tahun.
Atas jasa-jasanya, Radjiman diberi Bintang Mahaputera Tingkat II dan Bintang Republik Indonesia Utama oleh Pemerintah Indonesia. Pada November 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian memberikan gelar Pahlawan Nasional bagi Radjiman melalui Keputusan Presiden nomor 68 TK 2013 yang ditandatangani pada 6 November 2013.