Dana Haji untuk Infrastruktur, RI Bisa Belajar dari Malaysia

Pemanfaatan dana haji untuk pembangunan infrastruktur dinilai masih berisiko.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 06 Agu 2017, 14:15 WIB
Ilustrasi dana haji

Liputan6.com, Jakarta Pemanfaatan dana haji untuk pembangunan infrastruktur dinilai masih berisiko. Hal tersebut menjadi pembicaraan hangat beberapa waktu belakang ini.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, pembangunan infrastruktur saat ini masih minim. Artinya, proyek ini masih berisiko lantaran belum menjanjikan imbal hasil yang baik.

"Kalau investasi langsung ke proyek infrastruktur, kita lihat pembangunan infrastruktur di Indonesia masih jauh dari target yang bahkan ditentukan pemerintah sendiri. Artinya, ada risiko operasional. Misalkan, pembebasan lahan biaya cukup mahal, biaya perizinan cukup mahal," kata dia dalam diskusi di Kawasan Senayan Jakarta, Minggu (6/8/2017).

Bhima menyebut, baru 9 persen proyek infrastruktur yang terealisasi. Sebagian besar, kata dia, masih dalam progres.

"Kemudian realisasi dari mulai 2014-2017 hanya 9 persen. Dan sekitar 46 persen masih dalam tahap perencanaan, lelang ini kan lambat. Dana haji walaupun jangka waktunya cukup panjang, tetap bisa jadi di tengah operasional membutuhkan ruang operasional untuk keluar haji. Kalau ditempatkan, infrastruktur ini kan enggak bisa dipakai, ada risiko operasional," jelas dia.

Indonesia bisa berkaca dari Malaysia saat mengelola dana haji. Bhima mengatakan, dana haji Malaysia diatur lebih fleksibel dan mendapat imbal hasil yang baik. Sebab, dana haji masuk ke konstruksi dan properti

"Kemudian lihat dari Malaysia nanti ending-nya infrastruktur, tapi labelnya konstruksi dan properti. Ini yang dibuat lebih fleksibel, kenapa konstruksi dan properti, karena konstruksi dan properti memang sebagian kecil itu masuk dalam infrastruktur melalui sukuk. Tapi sebagian besarnya properti yang memang memiliki keuntungan luar biasa," ujar dia.

Dia menambahkan, dana haji di Malaysia terus berkembang karena masuk lebih banyak ke properti. "Kalau belajar dari Malaysia, dia punya properti di London nilainya miliaran dolar, kemudian investasi juga ke Sydney bikin bangunan," tutup dia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya