Liputan6.com, Jakarta - M Alzahra alias Joya tewas mengenaskan. Pria berusia 35 tahun itu menjadi korban amukan massa dan dibakar hidup-hidup setelah dituduh mencuri amplifier Musala Al-Hidayah di Babelan, Bekasi.
Dia meninggalkan istri yang tengah hamil dan seorang putra berusia 4 tahun. Bocah itu pun kerap menanyakan keberadaan sang ayah. Sedangkan sang istri, Jubaidah meminta kepada penegak hukum agar para pengeroyok yang menewaskan Joya diproses secara adil.
Advertisement
Sepekan usai kejadian tragis itu berlalu, polisi kemudian menetapkan tersangka kasus pembakaran hidup-hidup setelah memeriksa sejumlah saksi.
"Sudah ditetapkan dua tersangka, inisial SU dan NA," ungkap Kapolres Metro Kabupaten Bekasi Kombes Pol Asep Adi Saputra saat dihubungi Liputan6.com, Minggu 6 Agustus 2017.
Asep mengungkapkan, kedua tersangka tersebut merupakan bagian dari 10 orang yang diperiksa sebagai saksi. Mereka juga merupakan warga di sekitar lokasi kejadian. Keduanya sudah berada di Polres sejak Sabtu 5 Agustus 2017.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, dua tersangka masing-masing berinisial NMH atau NA merupakan karyawan swasta dan SH atau SU bekerja sebagai sekuriti di Bekasi.
Peran kedua pelaku adalah menendang Joya saat pengeroyokan terjadi. Namun, keduanya tidak terlibat aksi pembakaran.
"Peran N adalah menendang di perut sekali dan punggung dua kali. SH menendang punggung dua kali," ujar Argo di Mapolda Metro Jaya, Senin 7 Agustus 2017.
Polisi saat ini masih memburu pelaku lain, termasuk yang terlibat dalam aksi pembakaran. Hingga saat ini, polisi belum mengetahui secara pasti jumlah orang yang terlibat dalam pengeroyokan dan pembakaran Joya.
"Kami masih mengembangkan pelaku lain. Yang bawa bensin dan korek api, masih kami lakukan pengejaran," ujar Argo.
Polisi telah mengidentifikasi orang-orang yang terlibat pengeroyokan dan pembakaran pria 30 tahun itu. Kepolisian berharap dapat menangkap pelaku lainnya dalam waktu cepat.
"Masih kita cari ya, kita tunggu saja. Insya Allah (pelaku sudah diketahui)," kata Argo.
Dalam perkara ini, kedua tersangka dijerat dengan Pasal 170 KUHP tentang Penganiayaan Bersama-di Depan Umum atau Pengeroyokan dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun penjara.
Pencuri Amplifier?
Kapolres Bekasi Kabupaten Kombes Asep Adi Saputra mengatakan, Joya yang dibakar hidup-hidup oleh warga diduga pencuri pengeras suara Musala Al Hidayah, Kampung Cabang Empat RT 02/01, Hurip Jaya, Babelan.
Dugaan tersebut berdasarkan keterangan dua saksi, yaitu dari pengurus musala Al-Hidayah, yang menyatakan M Alzahra alisa Joya (30) mengambil pengeras suara Musala.
"Diduga keras peristiwa itu terjadi, diduga keras bahwa itulah pelakunya," kata Asep, di Mapolres Bekasi Kabupaten, Kamis 3 Agustus 2017.
Para saksi telah memperhatikan gerak-gerik Joya. Joya tertangkap tangan benar adanya membawa sejumlah amplifier dan dimasukkan ke dalam jok motor. Joya lalu kabur setelah ditegur saksi. Kondisi jalanan yang padat menghentikannya hingga terjadi pengeroyokan dan aksi pembakaran hidup-hidup.
Meski demikian, Kapolres tetap tidak membenarkan aksi main hakim sendiri. Terlebih mengakibatkan tewasnya orang lain.
Istri Joya, Siti Jubaida, mengatakan tidak percaya suaminya mencuri seperti yang dituduhkan warga dan kepolisian.
Sebab, suaminya memang memiliki usaha reparasi pengeras suara. Usaha kecil-kecilan itu telah dilakoni Joya jauh sebelum membangun bahtera keluarga bersama Siti. Dia menawarkan jasanya memperbaiki pengeras suara dengan berkeliling dari kampung ke kampung setiap hari. Dia juga berkeliling menjual amplifier.
Saksikan video di bawah ini:
Menuai Simpati
Rumah duka M Alzahra alias Joya (35), di Kampung Kavling Jati, RT 04/05, Nomor 141, Desa Cikarang Kota, Kecamatan Cikarang Utara, ramai didatangi warga. Mereka datang dari sejumlah daerah untuk menyampaikan rasa belasungkawa secara langsung kepada istri Joya, Siti Jubaida (25).
Pantauan di lokasi, kelompok warga yang datang mulai dari paguyuban ojek online, hingga para pejabat dan beragam kelompok masyarakat lain. Mereka terlihat hilir mudik, walau hanya hanya untuk dapat bersalaman dengan keluarga yang telah ditinggalkan sepekan pascatewasnya Joya.
"Yang datang ada yang dari Riau, ada yang dari Surabaya. Mayoritas kelompok organisasi kemanusiaan gitu," kata mertua korban, Pandi.
Ia menambahkan, masyarakat yang hadir itu memberikan segala bantuan dan doanya. Hal ini ditujukan untuk sedikit meringankan duka yang tengah dialami Jubaida.
"Hanya satu keinginan keluarga, bahwa para pelaku dapat diproses. Dengan itu, dapat mengobati luka dari kepergian almarhum," harapnya.
Salah satu yang datang itu adalah anggota Komisi VI DPR RI, Rieke Diah Pitaloka. Kehadiran politikus PDI Perjuangan ini pun sempat membuat heboh warga sekitar. Tak sedikit dari kaum ibu yang berebutan untuk berswafoto dengan Rieke.
"Saya berharap agar musibah ini tidak terulang sendiri. Bahwa, aksi main hakim sendiri, apa pun motif dan yang melatarbelakanginya, tidak dibenarkan," jelasnya.
Ia berharap agar pihak kepolisian dapat segera mengungkapkan siapa-siapa yang terlibat dalam penganiayaan dan pembakaran terhadap Joya, di Kampung Cabang Empat, RT 02/01, Hurip Jaya, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, Selasa 1 Agustus 2017.
Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi dan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin juga menyambangi kediaman Joya.
Kepada Liputan6.com, Senin (7/8/207), Dedi mengaku tiba di kediaman Siti Jubaida sekitar pukul 09.00 WIB. Dia disambut langsung istri, anak, dan ayah korban.
"Tidak lama saya tiba, Pak Menteri Lukman datang untuk mengucapkan belasungkawa," kata Dedi.
Tidak hanya menyampaikan belasungkawa, kedua tokoh tersebut juga menitipkan santunan kepada keluarga yang ditinggalkan.
Dedi memberikan bantuan kebutuhan hidup untuk setiap bulan seumur hidup. Jumlahnya disesuaikan dengan penghasilan mendiang suaminya. Namun, bantuan itu diharapkan dapat menjadi modal usaha sampai dengan mandiri dalam pengelolaannya.
"Kalau Pak Menteri akan membantu biaya pendidikan anak sulung korban selama empat tahun," ujar Dedi.
Lukman mengatakan, kehadirannya ke Bekasi untuk menyampaikan belasungkawa dan rasa sedih mendalam atas peristiwa yang menimpa almarhum.
"Saya berharap peristiwa yang sama tidak terulang. Tindakan persekusi tidak dapat dibenarkan," kata Menag.
"Saya harap tindakan ini bisa diproses secara hukum dan kita semua bisa sama-sama mengambil pelajaran atas musibah yang menimpa keluarga Siti Jubaidah," imbuh Lukman.
Nahdlatul UlamaCare-Lembaga Amil Zakat Infaq Shodaqoh Nahdlatul Ulama (NUCare-LAZISNU) juga menggalang dana untuk keluarga korban pembakaran hidup-hidup di Bekasi.
Humas NUCare-LAZISNU Wahyu Nurhadi mengatakan, setelah mendatangi korban pada Jumat 4 Agustus lalu, pihaknya mulai menggalang dana untuk santunan kepada keluarga korban.
"Kami menggalang dana untuk biaya persalinan istri korban yang sekarang sedang hamil enam bulan. Dia juga butuh modal untuk usaha. Lalu biaya pendidikan anak korban Alif, yang rencananya akan dipesantrenkan," ujar Wahyu kepada, Senin 7 Agustus 2017.
Wahyu menjelaskan, hasil santunan tersebut hingga hari ini pukul 16.00 WIB sudah mencapai Rp 36.540.000. Penggalangan dana ini akan dilakukan hingga pekan depan.
"Rencana setelah selesai penggalangan dana akan langsung diserahkan kepada keluarga korban," Wahyu menandaskan.
Advertisement
Mengatasi Trauma Keluarga
Alif Saputra, putra sulung M Alzahra alias Joya (35) masih sulit melupakan sosok ayahnya. Bocah berusia 4 tahun itu kerap menanyakan keberadaan sang ayah yang tewas dibakar hidup-hidup oleh warga.
Ia kerap bolak balik mencari keberadaan ayahnya yang diduga mencuri amplifier di Musala Al-Hidayah, Kampung Cabang Empat, RT 02/01, Hurip Jaya, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi.
Menurut istri korban, Siti Jubaida (25), Alif hanya suka bertanya, mengapa ayah yang bekerja sebagai tukang reparasi sound system tersebut diamuk dan diperlakukan tak manusiawi.
Pertanyaan itu dilontarkan saat Alif dan ibunya menyekar pusara Alzahra alias Joya. "Abi kok dibakar, emang ayam," kata Jubaida menirukan ucapan Alif.
Jubaida menambahkan, Alif juga heran kenapa ayahnya tidak lagi terlihat salat. Semasa hidup. Joya kerap membawa putranya mengaji dan salat bersama di Musala Baitur Rohman
"Kalau sudah sore, dia nyariin terus. 'Abi mana, Abi mana. Abi kok gak olat (salat)'. Terus lari, bolak balik ke musala, nanyain orang-orang di situ. Kok abi enggak auloh akbar (Allahuakbar)," cerita Jubaida menahan air mata.
Menurut psikolog Elizabeth Santosa, kasus main hakim sendiri seperti ini dapat berimbas dendam pada keluarga. Apalagi jika keluarga tidak mendapatkan pendampingan yang tepat.
"Perlu ada konseling bagi keluarga korban, agar tidak ada trauma mendalam dan persepsinya tidak salah menjadi dendam," kata Elizabeth saat dihubungi Health-Liputan6.com, Senin 7 Agustus 2017.
Elizabeth turut berpendapat baik istri dan anak yang ditinggalkan harus mendapat arahan khusus. Sebab, jika tidak ada sosok atau pendamping yang tepat maka keluarga yang ditinggalkan akan hidup dalam kemarahan yang tidak usai.
"Pemahaman yang diberikan untuk keluarga enggak cuma dari psikolog aja, tapi dari lingkungannya seperti kepala desa atau orang-orang terdekat," kata Elizabeth.
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane mengatakan, aksi main hakim sendiri seperti pembakaran pria di Bekasi ini muncul akibat krisis kepercayaan terhadap aparat penegak hukum, termasuk kepolisian. Sementara, mereka jengkel terhadap maraknya aksi kejahatan.
"Bagaimanapun menjadi tugas Polri untuk menekan dan menghilangkan aksi brutal di masyarakat ini. Caranya, Polri harus meyakinkan publik bahwa mereka mampu bekerja keras untuk memberantas kejahatan," ujar Neta dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Senin (7/8/2017).
Sementara, Kriminolog Universitas Indonesia Adrianus Meliala mengatakan, kasus tersebut tak lepas dari adanya crowd atau kerumunan. Memang kerumunan tak selalu negatif. Namun jika sudah mengarah pada mob, maka bisa dikategorikan kriminal.
"Karena ini sudah berkerumun, berkumpul, berubah besar, dan mengamuk, dan melakukan hal yang tidak bisa dilakukan individu pribadi," ujar Adrianus saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Jumat 4 Agustus 2017.