Liputan6.com, Jakarta - Air mata menetes di pipi NG Fenny, terdakwa penyuap Patrialis Akbar. Isak tangis pun pecah ketika dia mendengar tuntutan 10 tahun enam bulan penjara yang diminta jaksa ke majelis hakim, Senin, 31 Juli 2017.
Fenny, pada sidang Senin, 7 Agustus 2017 lalu mencurahkan kegundahannya dalam nota pembelaan. Dia tak bisa membayangkan nasib ketiga anaknya yang masih kecil ketika harus mendekam 10 tahun enam bulan di penjara. Anaknya yang terbesar berusia 11 tahun.
Advertisement
Selama ini, dia membesarkan ketiga anaknya sendirian. Dia juga tulang punggung keluarga yang harus menghidupi orangtuanya.
"Saya orangtua tunggal dari tiga orang anak. Selain itu, saya juga sulung yang biayai dan rawat ayah ibu saya yang sudah lanjut usia. Minggu lalu, saya mendengar tuntutan JPU yang akan memisahkan saya dengan tiga anak saya yang masih kecil dan butuh kasih sayang sebagai seorang ibu, saya merasa tidak punya kekuatan lagi untuk hadapi kenyataan hidup," kata Fenny di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin.
Dia khawatir masa depan ketiga anaknya hancur ketika tak ada bimbingan dan kasih sayang darinya.
"Mimpi buruk buat saya karena harus lihat anak saya tumbuh besar tanpa biaya dan kasih sayang dari saya. Bukan hanya masa depan saya yang hancur, masa depan dan nasib ketiga anak saya terancam hancur," lanjut dia.
Selama 15 tahun bekerja dengan terdakwa penyuap Patrialis Akbar, Basuki Hariman, dia berusaha bekerja dengan baik dan mengikuti perintah pemilik PT Impexindo Pratama, PT Cahaya Timur Utama, PT Cahaya Sakti Utama, dan CV Sumber Laut Perkasa itu.
Begitu juga soal perintah Basuki terkait pemberian uang USD 50 ribu kepada Kamaludin. Fenny mengaku hanya mengikuti perintah Basuki tanpa mengetahui peruntukan uang yang diminta terdakwa Basuki Hariman untuk Kamaludin itu.
"Seluruh tindakan yang saya lakukan untuk perusahaan merupakan instruksi dari Pak Basuki. Saya hanya menjalankan perintah dari Pak Basuki. Memang benar Pak Basuki pernah perintahkan saya berikan uang USD 50 ribu dan saya jalankan dengan sebaik-baiknya. Sedangkan untuk apa peruntukan uang itu saya benar tidak mengetahuinya," terang Fenny.
Dia juga meminta kepada majelis hakim memercayainya dan tidak menilainya berbelit dalam memberikan keterangan di sidang. Terakhir, dia meminta majelis hakim ikut memikirkan nasib ketiga anaknya dengan memutuskan perkara seadil-adilnya.
"Saya mohon majelis hakim dapat berikan putusan seadil-adilnya yang tentunya akan menentukan nasib saya dan ketiga anak saya. Terima kasih," tutup Fenny.
Sebelumnya, jaksa KPK menuntut anak buah Basuki, NG Fenny, dengan penjara 10 tahun enam bulan dan denda Rp 250 juta subsider tiga bulan kurungan. Sementara bosnya, Basuki, dituntut 11 tahun penjara.
"Menuntut supaya majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi," ujar jaksa KPK Lie Putra Setiawan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin 31 Juli 2017.
Menurut jaksa, Basuki dan Fenny tak mendukung upaya pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Keduanya telah merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan, khususnya Mahkamah Konstitusi dan tidak jujur dalam memberikan keterangan di pengadilan.
Lie menambahkan, dua terdakwa dinilai terbukti bersalah menyuap Hakim MK Patrialis Akbar. Keduanya diduga memberikan uang sebesar USD 70 ribu dan Rp 4 juta kepada Patrialis. Selain itu, keduanya menjanjikan uang sebesar Rp 2 miliar kepada mantan Hakim MK tersebut.
Uang yang diberikan kepada Patrialis dalam rangka permohonan uji materi UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Sebagai pengusaha daging impor, Basuki dan Fenny dianggap memiliki kepentingan dalam uji materi itu.
Dalam upaya memengaruhi putusan uji materi itu, keduanya menggunakan jasa Kamaludin sebagai perantara. Kamaludin sendiri merupakan orang terdekat Patrialis Akbar.
Basuki dan Fenny dinilai melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.