Liputan6.com, Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal II 2017 mencapai 5,01 persen. Angka ini cukup tinggi meski masih memunculkan perdebatan.
Data pemerintah menunjukkan ekonomi tumbuh tetapi fakta dari beberapa industri menunjukkan kebalikannya, terjadi penurunan daya beli.
Ekonom Universitas Indonesia (UI), Faisal Basri, memiliki pandangan perihal ini. Dia mencatat, berdasarkan data BPS, dari segi pengeluaran, penyumbang utama pertumbuhan ekonomi kuartal I-2017 adalah konsumsi non-pemerintah (55 persen), yang terdiri dari konsumsi rumah tangga (private consumption) sebesar 53 persen dan konsumsi LNPRT sebesar 2 persen.
Konsumsi rumah tangga naik tipis, dari 4,94 persen pada kuartal I-2017 menjadi 4,95 persen pada kuartal II-2017. "Kalau daya beli masyarakat secara nasional turun, niscaya pertumbuhan konsumsi rumah tangga tidak akan naik," ujar Faisal dalam tulisannya, seperti dikutip pada Selasa (8/8/2017).
Baca Juga
Advertisement
Walaupun mencatat pertumbuhan tertinggi sebesar 8,49, konsumsi LNPRT dikatakan tidak membantu akselerasi pertumbuhan ekonomi karena peranannya dalam PDB sangat kecil, hanya 1,19 persen pada semester pertama 2017.
Kata Faisal, hal yang cukup menggembirakan adalah peningkatan pertumbuhan investasi, dari 4,78 persen pada kuartal I-2017 menjadi 5,35 persen pada kuartal II-2017. Dalam empat tahun terakhir, pertumbuhan investasi tidak pernah setinggi kuartal II-2017.
Meskipun demikian, pertumbuhan investasi sebesar itu belum memadai untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi agar mendekati target Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2014-2019. Apalagi investasi didominasi bangunan, sedangkan investasi dalam bentuk mesin hanya sekitar 10 persen.
Tiga komponen pengeluaran lainnya mengalami penurunan pertumbuhan pada kuartal II-2017. Demikian pula konsumsi pemerintah. "Sangat boleh jadi penurunan itu disebabkan oleh pemotongan anggaran untuk mengantisipasi shortfall penerimaan pajak. Pada APBN-P 2017, penerimaan pajak dipangkas sebesar Rp 71 triliun dari Rp 1.499 triliun pada APBN 2017," kata dia.
Menurut Faisal, hal yang juga kurang menggembirakan terkait penurunan pertumbuhan ekspor barang dan jasa dari 8,21 persen pada kuartal I-2017 menjadi 5,76 persen pada kuartal II-2017. "Namun, kinerja ekspor yang masih positif jauh lebih baik ketimbang 2015 dan 2016 yang pertumbuhannya negatif. Pertumbuhan impor barang dan jasa pun melambat," dia menambahkan.
Pelambatan pertumbuhan ekspor dan impor mengakibatkan berlanjutnya kecenderungan penurunan derajat keterbukaan perekonomian Indonesia yang sudah berlangsung lebih dari 15 tahun.
Berdasarkan lapangan usaha, pertumbuhan negatif terjadi pada dua sektor, yaitu sektor listrik dan gas serta sektor pemerintahan, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (public administration, defense, and compulsory social security). Kemunduran kinerja sektor listrik dan gas kerap dijadikan salah satu hujah kemerosotan daya beli.
Sektor pertanian, kehutanan dan perikanan mengalami kemerosotan pertumbuhan paling tajam, dari 7,12 persen pada kuartal I-2017 menjadi 3,33 persen pada kuartal II-2017. Namun, angka ini dinilai masih berada di sekitar tren pertumbuhan jangka panjangnya antara 3 persen sampai 4 persen.
Perlambatan pertumbuhan sektor industri manufaktur ternyata berlanjut. Padahal, sektor ini merupakan penyumbang terbesar dalam PDB. Tanpa akselerasi industrialisasi, agaknya kian berat untuk membawa perekonomian Indonesia ke “jalur cepat” dengan pertumbuhan 7 persen sebagaimana target RPJM dan menjadikan Indonesia sebagai negara berpendapatan tinggi ketika merayakan seabad kemerdekaan pada tahun 2045.
Sektor-sektor yang tumbuh lebih tinggi dari pertumbuhan PDB semuanya adalah sektor jasa. Rekor pertumbuhan tertinggi masih tetap dipegang oleh sektor informasi dan komunikasi. Sektor ini kembali tumbuh dua digit setelah dua tahun berturut-turut sebelumnya tumbuh di bawah 10 persen.
Tak ayal, mayoritas sektor jasa yang tumbuh relatif tinggi membuat kesenjangan pertumbuhan antara sektor tradables (penghasil barang) dan non-tradables (penghasil jasa) kembali kian menganga.
Menurut dia, bagi Indonesia yang pendapatan per kapitanya masih di bawah US$ 4.000 dan mayoritas pekerja berpendidikan SLTP ke bawah, pola pertumbuhan seperti itu dipandang kurang berkualitas dan bakal memperburuk ketimpangan pendapatan.
"China saja yang pendapatan per kapitanya sekitar dua kali Indonesia–sumbangan sektor tradable-nya masih relatif tinggi," sebut dia.
Sektor perdagangan besar, eceran, reparasi mobil, dan sepeda motor ternyata masih mencatatkan pertumbuhan positif pada kuartal II-2017 walaupun lebih rendah dari pertumbuhan kuartal I-2017, tetapi lebih tinggi dari 2015 dan 2016.
"Sangat boleh jadi, sinyalemen terjadi penurunan omzet perdagangan ritel tidak terjadi secara merata di seluruh jenis atau bentuk perdagangan. Catatan: omzet adalah nilai nominal perdagangan, sedangkan perhitungan di dalam PDB menggunakan konsep nilai tambah," jelas dia.
Mencermati kondisi yang ada, Faisal berpendapat, kunci untuk menjaga agar tidak terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi pada paruh kedua 2017 adalah dengan menjaga anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Meski dia mengingatkan, tantangan terbesar dalam mencapai APBN ialah target penerimaan pajak pada APBN-P 2017 yang sudah terpangkas Rp 71 triliun dari yang tercantum pada APBN 2017.
"Pemangkasan ini lebih besar ketimbang perkiraan pemerintah sebelumnya sebesar Rp 60 triliun. Kemungkinan shorfall dari target yang sudah dipangkas masih cukup besar jika mengacu pada realisasi penerimaan pajak Januari-Mei," jelas Faisal.
Ini, kata dia, ditambah lagi hari kerja efektif Juni sangat pendek sehingga kemungkinan besar penerimaan pajak pada bulan itu semakin jauh dari target.
Dia juga mengingatkan, pada Januari-Mei masih ada amnesti pajak tahap terakhir dan bulan Maret yang secara alamiah menghasilkan penerimaan pajak relatif tinggi. Kedua faktor itu tidak ada lagi sampai akhir tahun 2017.
Tonton video menarik berikut ini: