Liputan6.com, Jakarta Artikel ini masuk dalam buku Kumpulan Hasil Liputan Peserta Health & Nutrition Journalist Academy 2017, yang diselenggarakan Sekolah Jurnalisme Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Liputan investigasi dilakukan selama bulan Mei 2017.
Kalau anak Anda di usia 2-3 tahun belum mengeluarkan sepatah kata pun, itu artinya ia mengalami keterlambatan bicara. Sejumlah praktisi medis menyebutnya sebagai “Sindrom Anak Kota”, karena fenomena semacam ini kerap dialami anak di perkotaan.
Kondisi ini disebabkan oleh pola asuh orang tua yang salah. Selain itu, faktor yang juga dianggap berkontribusi besar adalah karena perkenalan anak dengan gawai (gadget) dan kebiasaan salah dalam menonton televisi.
Baca Juga
Advertisement
Menurut dr Eva Devita, SpA, Dokter Tumbuh Kembang Anak di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita, keterlambatan bicara pada anak biasanya terjadi saat anak berusia 2-3 tahun. Ciri-ciri anak terlambat bicara antara lain, tidak mengeluarkan kata-sepatah kata pun, misal Ah, eh, ah, eh. Atau ada anak yang bisa bicara tapi belum bisa merangkai kata dengan benar. Yang lebih parah lagi kalau ada yang tidak bisa bicara dan tidak merespons saat diajak berkomunikasi.
Rifa Yustiani, pengurus Ikatan Terapis Wicara Indonesia (IKATWI), menambahkan, keterlambatan bicara ini kerap dialami anak di kota besar, seperti Jakarta, karena beberapa gerak motorik dan sensoriknya yang kurang berfungsi. Refleks dan respons anak juga kurang distimulasi.
Akibatnya, anak kurang mampu berbicara. Kalau berbicara, kosakata yang dikenalnya juga masih minim.
Tren kasus keterlambatan bicara diyakini mengalami peningkatan di Jakarta, meski belum ada statistik secara menyeluruh dari rumah sakit. Data di Poliklinik Neurologi Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Januari 2006-Juli 2008 memperlihatkan prevalensi anak yang tidak bisa bicara dan berjalan sebanyak 71 kasus (47,1 persen) dari total 151 anak.
Pemberian gawai sejak dini
Menurut Kepala Divisi Pediatri, Departemen Rehabilitasi Medik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, dr Luh Karunia Wahyuni, penyebab anak terlambat bicara terjadi akibat proses isolasi, yaitu tidak atau kurang berhubungan dengan lingkungan atau akibat penyebab lain yang tidak teridentifikasi.
Kondisi ini dapat terjadi secara bersamaan dengan kondisi lainnya akibat ketulian dan gangguan perkembangan lainnya, seperti keterbelakangan mental dan autisme.
Wahyuni mengatakan, kontak sosial yang minimal berarti dia tidak punya teman bermain dengan anak yang usianya sebaya. Bisa juga karena permainan yang tidak sesuai usia. Misal, usia 2-3 tahun, anak selalu bermain sambil duduk dan tidak ada peluang untuk bermain di luar rumah. Selain itu, bisa juga karena faktor pengasuh yang kerap berganti-ganti.
Di lingkungan keluarga, orangtua bisa saja cerewet. Tapi, itu sifatnya satu arah saja. Anak hanya mendengarkan saja dan hanya melihat saja orangtuanya mengambil dan menaruh benda. Tapi dia tidak diajak ikut mempraktikkan dan mengenal benda.
Dalam kasus yang ditangani dr Eva, pemicu keterlambatan bicara karena anak diperkenalkan gawai (gadget) sejak kecil. Bahkan ada anak yang sudah akrab dengan gawai dari usia 6 bulan.
Hingga sang anak mencapai usia 1,5 tahun atau 2 tahun, orangtua baru menyadari anaknya tidak bisa berbicara dan mengucapkan sepatah kata pun. Anak itu pun lambat merespons pertanyaan atau ajakan orangtua dan orang-orang di sekitarnya.
“Dia (anak) sudah merasa asyik dengan dunianya sendiri. Mereka merasa hanya dengan gawai saja sudah senang dan tidak perlu mengobrol dengan orang lain. Bahasa ekspresif anak juga kurang. Padahal, anak bisa bicara karena meniru apa yang diucapkan orang lain dan adanya interaksi dengan orang lain,” jelas Eva.
Anak yang sudah akrab dengan gawai, kata Eva, membuat interaksi yang diharapkan aktif malah berubah menjadi pasif. Gawai memang ada suaranya, tapi tidak ada rangsangan untuk anak menirukan. Ketidakadaan komunikasi dua tahap ini membuat anak terlambat bicara dan tidak bisa bicara.
Wahyuni menambahkan, anak yang terlalu banyak bermain gawai memang berisiko besar mengalami terlambat bicara. Namun, kata dia, durasi waktu anak menonton televisi juga ikut memengaruhi kemampuan bicaranya.
Anak yang menonton televisi lebih dari 2 jam juga membuatnya terhambat kemampuan bicaranya. Sebab televisi, dan juga gawai, tidak dapat mengarahkan anak untuk belajar komunikasi dua arah.
Advertisement
Batasi penggunaan gawai
Menurut dr Luh Karunia Wahyuni, orangtua disarankan untuk menghentikan penggunaan gawai dan kebiasaan menonton televisi. Jika belum bisa dihentikan, bisa dikurangi perlahan-lahan.
Kalau anak berusia 2 tahun ke atas, penggunaan gawai dan televisi sebaiknya dibatasi 1-2 jam saja dalam sehari. Ketika anak sedang main gawai atau menonton televisi, kata Wahyuni, sebaiknya didampingi orang dewasa.
Dia menyarankan orang tua untuk mengajak anaknya bicara soal apa yang baru dikerjakan bersama teman-temannya. Anak akan membalas interaksi dan menimpali apa yang dibicarakan.
Eva mengatakan, sebagian besar orangtua mengakui pemberian gawai pada anak sejak usia dini termasuk pola asuh yang salah. Tapi orangtua seringkali mengaku kesulitan menghentikan penggunaan gawai karena anaknya sudah kecanduan berat.
Bila tidak dibolehkan bermain gawai, anak bisa langsung ngamuk dan tantrum—marah dan teriak-teriak sampai berguling-guling. Agar anaknya diam dan tenang, orangtua memberikan gawai sebagai “obatnya”.
“Ada juga orangtua yang sudah mensetop pemberian gawai, tapi karena anak yang tinggal dengan kakek, nenek, dan tante, bisa saja gawai tetap diberikan. Ini termasuk pola asuh yang berbeda. Mereka kasihan kepada anak lantas memberikan gawai dan membiarkan nyetel televisi dari pagi sampai malam hari,” tambah Eva.
Anak di bawah 3 tahun yang bisa bicara biasanya didukung oleh orang paling dekat dengan anak, yaitu orangtua dan pengasuh. Bila orangtua tidak bisa secara aktif mengajak anak bicara, maka bantuan orang lain, seperti pengasuh, sangat diperlukan.
Jika akhirnya anak memang terlanjur mengalami keterlambatan bicara, pilihannya adalah membawanya ke klinik atau rumah sakit untuk mendapatkan terapi.