Liputan6.com, Bangkok - Ketika para birokrat senior mengunjungi suatu provinsi terpencil tertentu di Thailand, kebiasaannya selalu sama. Para birokrat itu disuguhi makanan dan minuman terbaik, lalu dilanjutkan dengan suguhan para remaja perempuan sebagai hidangan penutup (dessert).
Terdengar mengejutkan, tapi ada istilah Thailand untuk kebiasaan itu, "traktir makan, lalu menggelar alas pembaringan." Maksudnya adalah ekspektasi bahwa para bawahan menyajikan atasan dan para tamu VIP dengan hidangan lokal, akomodasi ternyaman, dan layanan seks.
Namun demikian, seperti dikutip dari scmp.com pada Selasa (8/8/2017), sisi paling suram dalam tradisi itu -- yaitu jual-beli anak-anak perempuan di bawah umur -- memang telah diketahui tapi jarang dibahas.
Baca Juga
Advertisement
Skandal penyelundupan yang melibatkan para remaja, polisi, dan pejabat di provinsi yang dimaksud telah mengangkat praktik itu ke halaman-halaman depan harian nasional, sehingga mengundang seruan untuk membasmi budaya yang menyuburkan perdagangan manusia yang marak di kerajaan itu.
Thailand memang secara global dikenal dengan distrik-distrik lampu merah yang melayani para tamu asing, tapi bagian besar industri seks sebenarnya diarahkan kepada warga lokal.
Boonyarit Nipavanit, seorang pejabat di Mae Hong Son yang miskin dan kumuh di pegunungan utara, menjelaskan, "Tradisi ini sudah lama sekali menjadi lazim."
"Ketika kelompok-kelompok pejabat senior datang untuk seminar atau perjalanan dinas, ada kebiasaan 'menjamu mereka', yang berarti menghidangkan makanan, dan kemudian 'menggelar alas berbaring', yang berarti menyediakan perempuan-perempuan."
"Kadang-kadang kami menerima dulu informasi tentang jenis-jenis perempuan yang mereka inginkan…kadang-kadang harus disediakan 5 hingga 10 wanita supaya dipilih oleh sang pejabat senior."
Pengaduan Ibu Korban
Sekarang Boonyarit sudah leluasa berbicara tentang praktik itu karena detektif-detektif telah membuka 41 kasus terkait jejaring prostitusi yang diduga dijalankan polisi di provinsi tersebut.
Penyidikan dimulai setelah ibu seorang korban melarikan diri ke Bangkok dan menceritakan kepada media bahwa putrinya yang saat itu berusia 17 tahun dan beberapa remaja lain diperas agar menyediakan seks dan dipaksa untuk menghibur para pejabat dan polisi.
Menurut ibu itu, beberapa korban ditandai dengan tato burung hantu oleh para dedengkot geng seakan seperti tanda kepemilikan.
Setelah mendapat tekanan dari media, polisi nasional menangkap seorang sersan polisi Mae Hong Son yang diduga menyelundupkan remaja-remaja perempuan ke dalam ring seks. Polisi nasional juga mendakwa 8 perwira lain dengan tuduhan tidur dengan anak di bawah umur.
Lima pegawai dari provinsi tengah Nonthaburi juga telah didakwa dengan dugaan menyewa para remaja menggunakan uang pemerintah selagi melakukan kunjungan resmi ke Mae Hong Son.
Boonyarit melanjutkan, "Sejak cerita ini mencuat, banyak pejabat merasa lega karena kami tidak harus lagi melakukannya."
Advertisement
Tradisi Menjilat Atasan
Tapi, tradisi itu bukan hanya berlangsung di Mae Hong Son.
Para pakar penyelundupan mengatakan bahwa hal tersebut menyebar di negeri hirarkis tersebut, sehingga para bawahan -- baik di pemerintahan maupun sektor swasta -- diharapkan memanjakan atasan demi mempertahankan pekerjaan atau menaiki tangga karir.
Lakkana Punwichai, seorang kolumnis Thailand yang membahas isu-isu sosial, mengatakan, "Kita tidak memiliki sistem prestasi dalam birokrasi, kita harus menjilat para atasan."
Wanita itu menambahkan bahwa praktik penyediaan seks kepada atasan berasal dari "budaya yang melihat wanita bukan sebagai manusia, tapi sebagai benda milik."
"Wanita menjadi seperti hadiah. Dia sama seperti makanan, pakaian indah – sesuatu yang ada harganya."
Kebanyakan korban penyelundupan seks terlalu takut untuk mengadu ketika ada tokoh berkuasa mengendalikan atau memiliki suatu bisnis, terutama di kawasan pedesaan seperti Mae Hong Son yang memiliki jejaring sosial yang sempit.
Para pejabat lokal juga berada di bawah tekanan untuk melindungi diri.
Saksikan juga video menarik berikut ini:
Belum Sepenuh Hati?
Begitulah kasus di Mae Hong Son. Pada awalnya polisi mencoba meredam tudingan yang diutarakan oleh ibu yang mengadu secara anonim tersebut.
Wanita itu sekarang berada di bawah perlindungan pemerintah di Bangkok. Pengacara si ibu mengatakan, "Ia diminta untuk menarik kasusnya oleh beberapa polisi (lokal)."
Terkait dengan pengungkapan skandal Mae Hong Son, Kementrian Pembangunan Sosial Thailand mengatakan bahwa pihak kementrian akan "menjadi contoh" sebagai lembaga "yang menentang ancaman oleh praktik 'traktir makan, lalu menggekar alas berbaring' tersebut."
Polisi anti-penyelundupan manusia juga bertekad mempercepat pembubaran perdagangan manusia. Pada pertengahan Juni, suatu gugus tugas polisi menangkap 3 pejabat lokal provinsi Nakhon Ratchasima di timur laut.
Para pejabat itu disangkakan melakukan hubungan seks dengan remaja-remaja perempuan yang dijerumuskan ke dalam ring prostitusi wanita belia. Salah satu remaja korbannya masih berusia 14 tahun.
Tapi para pakar mengatakan, hampir selalu muncikari atau pejabat rendahan saja yang dihukum.
Menurut Ronnasit Proeksayajiva, dari LSM anti-penyelundupan manusia Nvader, "Setelah polisi menyelamatkan perempuan-perempuan itu, polisi tidak pernah mengembangkan kasusnya."
"Mereka tidak pernah menyelidiki lebih jauh tentang para pelanggannya."
Baca Juga
Advertisement