Pindah Ibu Kota Jangan Pilih Wilayah yang Sudah Berkembang

Pemindahan Ibukota harus dilakukan dalam konteks untuk menciptakan pusat pemerintahan yang efektif dan efisien.

oleh Muhammad Rinaldi diperbarui 09 Agu 2017, 13:03 WIB
Suasana lalu lintas yang lengang di lajur arteri dan Tol Dalam Kota di ruas jalan Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (23/6). Sejumlah ruas jalan di Ibu Kota lancar pagi ini, yang merupakan hari pertama cuti bersama Lebaran 2017. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Pemindahan ibu kota negara bisa menjadi pemicu (trigger) dan lokomotif pembangunan daerah-daerah di luar Pulau Jawa, dan diharapkan mampu menahan laju urbanisasi ke Jabodetabek. Namun diingatkan kota pemerintahan baru itu sebaiknya tidak dibangun di atas kota yang sudah ada (eksisting), tetapi benar-benar kota baru yang dikembangkan pemerintah.

Menteri PPN/Kepala Bappenas periode 2014-2015 Andrinof Chaniago mengungkapkan Indonesia memiliki peluang untuk membangun lebih banyak kota-kota baru di luar Pulau Jawa terutama di Pulau Kalimantan. Kota-kota baru tersebut dibangun dan dikembangkan pemerintah dengan standar kota kelas dunia. Jangan sampai Indonesia minder karena hingga saat ini belum memiliki kota kelas dunia.

“Tapi kota kelas dunia tidak bisa kita bangun di Ibukota yang sudah ada, terlebih kota peninggalan kolonial. Kita harus bangun kota baru, kota publik, kawasan baru dengan kehidupan baru. Ini kesempatan bagi Indonesia menunjukkan pada dunia bahwa kita bisa membangun satu kota yang berkelas internasional, dan ini menjadi tantangan bagi ahli perencanaan di Indonesia,” ungkap Andrinof di acara dialog dengan Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) DKI Jakarta, yang ditulis Liputan6.com, Rabu (9/8/2017).

Menurut dia, rencana pemindahan Ibukota negara perlu segera direalisasikan. Langkah ini harus diletakkan pada dasar untuk membangun Indonesia yang lebih baik di masa mendatang, bukan sekadar melepas kesemrawutan di Jakarta. Ke depan, ungkap Andrinof, harus dibangun Indonesia yang secara kewilayahan berkeseimbangan. Ketimpangan antar wilayah dan pulau harus dihentikan.

Selain itu, jika melihat kondisi saat ini Pulau Jawa sudah tidak sanggup lagi menanggung beban dan padatnya penduduk. Saat ini jumlah populasi di Pulau Jawa mewakili 60 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Penduduk sebanyak itu tentu butuh air bersih dan ketersediaan pangan yang besar, sementara daerah konservasi, lahan pertanian dan kawasan hutan semakin berkurang. Oleh karena itu, Andrinof sepakat kalau Pulau Jawa harus diselamatkan.

“Konsekuensi daerah-daerah di Jawa rentan dan rawan secara sosial. Bahkan kerugian akibat kemacetan yang harus ditanggung masyarakat terutama kelas menengah bawah bisa mencapai Rp 40 triliun lebih per tahun. Ini masalah yang harus diperhatikan,” tegas dia.

Lalu kenapa harus dipindah ke Pulau Kalimantan? Andrinof mengatakan sejak dikaji Bappenas pada 2015, secara spesifik tidak pernah dikaji mengenai dimana lokasinya. Tetapi realistinya, kalau Ibukota negara dipindah ke Pulau Sumatera, maka menjadi tidak konsisten dengan tujuan menghindari ketimpangan antara wilayah barat dan timur. Demikian juga dengan Pulau Sulawesi.

“Kepadatan penduduk di Sumatera dan Sulawesi itu sudah masuk level menengah dan sedang menuju seperti Pulau Jawa. Sebaliknya Pulau Kalimantan yang luasnya 33 persen dari wilayah daratan Indonesia, penduduknya baru sekitar 9 persen,” kata Andrinof.

Butuh Kepastian

IAP DKI Jakarta, sebagai satu-satunya asosiasi profesi para perencana wilayah dan kota, juga memberikan perhatian khusus terhadap wacana pemindahan Ibukota ini.

Dhani Muttaqin, Ketua IAP DKI Jakarta menyebutkan wacana pemindahan Ibukota harus segera diperjelas menjadi rencana baik secara teknis dan pembiayaan, sehingga tidak menjadi wacana yang tidak kunjung jelas dari satu pemerintahan ke pemerintahan lain.

“Kebijakan publik butuh kepastian agar stakeholder dapat merespon sesuai kapasitasnya,” kata dia.

Pemindahan Ibukota juga harus dilakukan dalam konteks untuk menciptakan pusat pemerintahan yang efektif, efisien, berwibawa, dan berkualitas dunia.

Sementara Pengamat Perkotaan dari Universitas Indonesia (UI), Andi Simarmata berpendapat pemindahan Ibukota bukan karena persoalan obesitas di Jakarta, tetapi karena kebutuhan transformasi Indonesia menjadi negara maritim terbesar di dunia pada usianya ke 100 tahun atau pada 2045.

Dia mengingatkan agar lokasi Ibukota baru bisa mengakomodasikan beberapa kebutuhan antara lain memanfaatkan global connectivity melalui jalur ALKI, terletak di wilayah yang rendah risiko bencana maupun perubahan iklim, serta strategis dalam rangka pertahanan dan keamanan. “Konsep perencanaan kotanya harus visioner dan berkarakter mencerminkan peradaban modern dengan pondasi kekuatan budaya nusantara,” ujar Andi.

Tonton Video Menarik Berikut Ini:


POPULER

Berita Terkini Selengkapnya