Dulu Mulus Kini Kasar, Apa yang Terjadi dengan Piramida Giza ?

Menurut tradisi, bangsa Mesir Purba memotong blok-blok dengan memukulkan pasak kayu kepada batunya.

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 11 Agu 2017, 08:42 WIB
Piramida Giza di Mesir. (Sumber (Wikimedia/Kurohito)

Liputan6.com, Jakarta - Di antara Tujuh Keajaiban Dunia, hanya Piramida Agung Giza yang bertahan melintasi zaman. Piramida yang juga dikenal sebagai Piramida Khufu atau Piramida Cheops itu sekaligus menjadi tertua di antara keajaiban-keajaiban tersebut.

Menurut beberapa ahli Egiptologi, diduga perlu 2 dekade untuk menyelesaikan pembangunan Piramida Agung tersebut. Pembangunannya selesai sekitar 2560 SM dan bangunan itu menjadi struktur tertinggi buatan manusia selama 3800 tahun.

Dikutip dari The Vintage News pada Kamis (10/8/2017), peninggalan itu menjadi yang paling dikenal dari masa Mesir Kuno berkaitan dengan cara pembuatan, penggunaan, dan apa yang ada di dalamnya.

Beberapa perhitungan menduga bahwa piramida itu terbentuk dari kira-kira 2,3 juta blok batu. Blok batu pembungkus berbahan gamping Tura diambil dari penggalian di dekatnya, di seberang sungai.

Namun demikian, beberapa batu granit seperti yang ada dalam ruang Raja dibawa dari Aswan yang terletak sekitar 800 kilometer jauhnya. Batu granit itu bahkan ada yang seberat 80 ton.

Menurut tradisi, bangsa Mesir Purba memotong blok-blok dengan memukulkan pasak kayu kepada batunya. Blok-blok granit itu kemudian direndam dalam air. Karena air diserap oleh bahan kayu, maka pasaknya memuai dan membuat retakan pada granit.

Setelah terpotong, batu-batu itu dibawa menggunakan perahu-perahu yang berlayar sepanjang sungai Nil menuju tempat konstruksi.

Untuk memenuhi kebutuhan pembangunan Piramida Agung, diduga diperlukan 5,5 juta ton batu gamping lokal dan 8000 ton granit Aswan. Selain itu ditambah dengan 500 ribu ton semen untuk menjadi perekat.

Potongan batu pembungkus luar Piramida Agung Giza. (Sumber Wikimedia Commons)

Yang lebih menarik, setelah selesai, Piramida Agung diberi permukaan "batu pembungkus" berwarna putih, berupa blok-blok batu gamping putih yang diiris secara hati-hati lalu dipoles.

Para pekerja saat itu harus memotong bagian-bagian itu dengan hati-hati agar benar-benar cocok. Ketika dipasangkan pada tahap akhir pembangunan, bebatuan pembungkus itu memberi permukaan halus dan rata, tidak seperti yang kita lihat sekarang ini.


Apa Yang Terjadi?

Sketsa Piramida Agung Giza oleh Richard Pococke. (Sumber Wikimedia Commons)

Lantas, apa yang terjadi dengan batu-batu pelapis luar tersebut. Pada 1303 M, Piramida Agung dilanda gempa besar. Bangunan itu tidak sampai runtuh, tetapi bebatuan pelapis luarnya menjadi longgar.

Setelah itu, sejumlah besar batu-batu pembungkus diambil oleh Bahri Sultan An-Nasir Nasir-ad Din al-Hasan pada 1356 untuk dijadikan bahan pembangunan masjid dan benteng di Kairo, yang sekarang menjadi ibukota Mesir modern.

Di kemudian hari, lebih banyak lagi bebatuan pembungkus yang dicopot oleh Muhammad Ali Pasha pada awal Abad ke-19 dan dipakai sebagai bahan pembangunan Masjid Alabaster, juga di Kairo.

Ketika para penjelajah Barat mulai berdatangan ke situs Piramida Agung Giza, laporan-laporan awal mereka menyebutkan banyaknya reruntuhan di dasar bangunan yang berasal dari rontoknya batu pelapis.

Timbunan-timbunan itu kemudian dibersihkan ketika ekskavasi dimulai. Tapi, beberapa batu gamping pembungkus yang masih menempel di dasar piramida cukup menjadi bukti kepiawaian dan presisi yang mengesankan.

Flinders Petrie, seorang ahli Egiptologi dari Inggris, membandingkan ketepatan bebatuan pelapis itu "setara dengan pekerjaan ahli optik" masa kini, tapi dalam skala yang lebih luas – hingga beberapa akre.

Ia menambahkan catatannya, bahwa "memasang batu-batu itu untuk kontak yang tepat merupakan pekerjaan yang teliti, tapi melakukannya dengan semen di sambungan-sambungan seakan tidak mungkin dilakukan."

Ada beberapa teori yang mencoba menjawab pertanyaan caranya arsitektur hebat itu dibuat, walaupun teori-teori itu terkadang bertolak belakang.

Bangsa Yunani Kuno menduga adanya penggunaan budak, tapi teori yang lebih baru menduga bahwa pembangunan Piramida Giza dilakukan oleh para pekerja yang terdiri dari puluhan ribu pekerja terampil yang diorganisasikan secara hirarkis.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya