Mitos Gerhana Matahari, 'Kekalahan Dewa' hingga Matinya Raja

Fenomena gerhana matahari total akan terjadi di Amerika Serikat pada 21 Agustus 2017.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 10 Agu 2017, 20:00 WIB
Ilustrasi Gerhana Matahari Total (iStockphoto)

Liputan6.com, Washington, DC - Pada tanggal 21 Agustus 2017 nanti, Amerika Serikat akan mendapat keistimewaan menyaksikan fenomena alam yang menakjubkan nan langka, yakni gerhana matahari total. Peristiwa itu merupakan kali pertama sejak jenis serupa terlihat di Negeri Paman Sam hampir 90 tahun yang lalu.

Meski kejadian gerhana matahari total dua pekan nanti itu terjadi pada masa moderen --ketika teknologi dan ilmu pengetahuan telah mengalami perkembangan pesat-- akan tetapi, masih banyak narasi mistis, takhayul, dan supranatural yang menyertainya.

Beberapa kelompok masyarakat misalnya mengkorelasikan kejadian gerhana matahari 21 Agustus nanti dengan nujum perang, nubuat kehancuran Presiden Donald Trump, ramalan konflik besar, hingga prediksi bencana kosmis mahadahsyat.

Bertolak pada hal itu, berdasarkan telaah sejarah, ternyata narasi mistis, takhayul, dan supranatural yang menyertai gerhana matahari total telah tercipta sejak dulu kala. 

Sejak masa lampau, ada dua hal yang sekaligus dirasakan oleh para manusia peradaban tradisional ketika mendongak ke langit; menaruh rasa hormat dan ketakutan yang sangat mendalam.

Perasaan itu kian mendalam, khususnya ketika terjadi fenomena angkasa yang menakjubkan seperti gerhana matahari total. Mereka menghubungkan peristiwa itu dengan sebuah kutukan, pertanda, potensi bencana, hingga akhir dunia.

Bayangkan sebuah peradaban kuno yang belum memahami ilmu alam dan sains secara mumpuni, dihadapkan dengan peristiwa seperti gerhana matahari, ketika secara mendadak sang surya berhenti tampak, ditutupi Bulan, dan kemudian Bumi menggelap.

Masyarakat Tiongkok kuno misalnya, merespons peristiwa gerhana dengan ramai berkumpul, melakukan aktivitas riuh menabuh genderang, berteriak, dan membuat suara bising. Tujuannya, mengusir sang naga raksasa yang --oleh masyarakat masa itu dianggap-- tengah melahap Matahari.

Di China, orang percaya bahwa seekor naga langit membanjiri sungai dengan darah lalu menelannya. Sampai Abad ke-19, orang China biasa membunyikan petasan untuk menakut-nakuti sang naga

"Di masa kuno, setiap budaya pernah menganggap Matahari sebagai simbol Dewa atau perwakilan Ilahiah. Anggapan tersebut muncul karena pada masa itu sesuatu yang tidak dapat dijangkau seperti langit adalah representasi Tuhan," jelas Bradley Schaefer, profesor astronomi dari Lousiana State University, seperti yang dikutip dari CNN, Kamis (10/8/2017).

"Maka, ketika terjadi fenomena seperti gerhana matahari, masyarakat pada masa itu akan menganggapnya sebagai 'kematian Dewa', dan itu bukan sebagai sebuah pertanda baik," tambahnya.

Takhayul kuno seperti itu dapat ditelusuri hingga 2.300 - 1.800 SM, seperti yang tercantum dalam artefak peradaban Mesopotamia. Dalam dokumen purbakala itu dijelaskan bahwa gerhana matahari dapat menjadi pertanda kematian bagi raja yang berkuasa.

Mahasiswa mempersiapkan teleskop untuk melihat hilal di Parang Tritis, Yogyakarta, Kamis (1/9). Selain melakukan pengamatan penentuan ruhiyat hilal untuk penetapan 1 Dzulhijah, mereka juga hendak melihat gerhana matahari cincin.(Liputan6.com/Boy Harjanto)

Pada masanya, mitos itu diyakini tak hanya oleh masyarakat Mesopotamia, namun juga seluruh peradaban di Mediterania. Dan, bagi masyarakat yang didominasi oleh sistem kerajaan, takhayul itu seakan sebagai sebuah pertanda luar binasa.

Untuk menghindari nasib seperti yang diramalkan, biasanya, raja-raja saat itu berpura-pura menanggalkan kekuasaannya, menepi dari riuh kebangsawanan menuju pedesaan untuk menyamar sebagai 'petani'. Aksi itu dilakukan untuk menghindari kejaran maut seperti yang dinubuatkan.

Demi mengisi kekosongan peran dan kursi raja, dipaksa-lah seorang kriminal untuk berpura-pura menduduki singgasana. Harapannya, ia mampu menjadi sasaran semu bagi 'sang maut' yang datang mengincar raja kala gerhana matahari tiba.

Setelah gerhana matahari lewat, 'si petani' kemudian kembali menjadi orang nomor satu kerajaan. Dan si kriminal lantas dijagal atas perintah 'si petani', demi memenuhi ramalan.

Dan tradisi itu dilakukan berulang kali, disesuaikan dengan kemunculan gerhana matahari. Uniknya, pada dokumen tertanggal 1.850 SM, raja yang sesungguhnya benar-benar tewas pada saat gerhana, dan si kriminal yang menggantikannya naik menjadi penguasa.

Sementara, di tanah Jawa beredar mitos bahwa Raksasa Betara Kala atau Rahu menelan matahari karena dendamnya pada Sang Surya (matahari), menyebabkan terjadinya gerhana.

Fakta bahwa besarnya upaya yang dilakukan oleh masyarakat peradaban kuno untuk 'merespons' kemunculan gerhana matahari menunjukkan ketakutan mereka yang teramat sangat pada fenomena tersebut.

Namun seiring waktu, ketakutan itu perlahan luntur. Manusia kini tak lagi menghindari, namun amat sangat mengharapkan kemunculan gerhana matahari.

Seperti yang terjadi di Indonesia pada 2016 lalu. Alih-alih menutup pintu rapat-rapat dan bersembunyi di dalam rumah, masyarakat Nusantara ramai-ramai keluar untuk menyaksikan gerhana matahari, untuk mengagumi keajaiban alam karya Sang Pencipta.

Lantas pada periode apa ketakutan akan fenomena langka itu luntur?


Mitos Gerhana Matahari Luntur Karena Ini

Gerhana bulan parsial terlihat di atas kuil Poseidon di Cape Sounion, Yunani, Senin (7/8). Gerhana bulan parsial terjadi ketika bumi bergerak di antara bulan dan matahari, tapi tidak persis dalam satu garis. (AP Photo/Petros Giannakouris)

"Ketakutan itu hilang seiring bertumbuhnya intelektualitas manusia," ujar Bradley Schaefer.

Pada abad ke-5 SM, filsuf Yunani kuno, Anaxagoras, melakukan perenungan untuk memahami secara mendalam fenomena gerhana matahari.

Perenungan itu tidak didasari atas perspektif keyakinan teologi, tak pula menganggap Matahari sebagai citra Tuhan. Anaxagoras melakukan perenungan filosofi atas gerhana matahari dengan menggunakan perspektif fisika tradisional dan ilmu alam.

Kemudian, ia berhasil mencapai sebuah kesimpulan yang hingga kini menjadi fundamental ilmiah untuk memahami gerhana, bahwa fenomena itu disebabkan ketika Bulan berada di antara Matahari dan Bumi, menghalangi cahaya sang surya yang hendak menuju Planet Biru.

Gagasan itu kemudian disebarluaskan oleh Anaxagoras ke seantero Yunani. Namun, seperti filsuf lain pada masa itu, pemikiran --yang sesungguhnya ilmiah-- tersebut dimentahkan oleh institusi agama, yang kala itu berkuasa.

Alhasil, gagasan Anaxagoras dimentahkan oleh warga Athena, dan si filsuf menjadi persona non grata (orang yang tidak diinginkan). Ia pun diasingkan dari tanah tumpah darah untuk seumur hidupnya.

Padahal, jika gagasan Anaxagoras diterima oleh masyarakat Yunani sebagai sebuah kebenaran ilmiah dan menggeser mitos kepercayaan yang ada, bangsa Athena tak perlu menelan kekalahan pada Perang Peloponnesia tahun 413 SM.

Saat Perang Peloponnesia, tentara Athena yang dipimpin Nicias telah sangat dekat untuk merebut Syracuse di Sisilia sebelum gerhana matahari terjadi. Takut akan nubuat, takhayul, dan mitos negatif dari gerhana, pasukan Yunani terpaksa menarik diri dan membatalkan serangan.

Melihat hal itu, tentara Syracuse memanfaatkan momentum dengan menyerbu tentara Yunani yang tengah bergerak mundur. Hasilnya sangat ironis, Athena menelan kekalahan telak, 200 kapal berhasil dihancurkan dan 29.000 tentara tewas atau ditangkap.

Kekalahan itu dapat dihindari jika Athena terus melanjutkan serangan ke Syracuse. Namun, ketakutan akan kehancuran seperti yang dinubuatkan gerhana matahari, justru, benar-benar mengakibatkan kekalahan bagi Yunani.

Namun, 30 tahun kemudian pasca-kekalahan pada 413 SM, takhayul tentang gerhana matahari perlahan luntur dan tak lagi diyakini oleh bangsa Athena. Pada kala menyerang Syracuse untuk kedua kalinya, gerhana matahari kembali muncul, namun tentara Yunani pantang mundur.

Semakin mendalam pemahaman bangsa Yunani akan gerhana matahari, tak hanya membuat takhayul mistisnya luntur, namun juga semakin memperkaya pengetahuan mereka untuk memprediksi kedatangan fenomena langka tersebut.

Dan pengalaman serta pengetahuan bangsa Yunani akan gerhana matahari, tersebar luas ke penjuru peradaban di Eurasia. Terkecuali China yang memiliki prinsip filosofi dan metode prediksi gerhana matahari yang berbeda dengan kebudayaan Eropa.

Meski pemahaman fenomena itu semakin mendalam, akan tetapi, mitos dan ketakutan akan gerhana matahari tetap bertahan, hingga 1900-an.

Seorang wanita menggunakan kacamata buatan bersiap untuk melihat gerhana matahari annular di Estancia El Muster, Argentina (26/2). Lingkaran cahaya yang tertutup bulan itu biasa disebut ring of fire. (AFP/Alejandro Pagni)

Di Amerika Serikat, pada 1920-an ketika gerhana matahari muncul, sejumlah foto menunjukkan beberapa warga yang nampak enggan, mau-tak-mau, dan cemas untuk melihat ke angkasa kala gerhana matahari terjadi. Beberapa menggunakan kaca mata atau alat bantu visual lainnya.

"Namun semua berubah 1970-an, ketika gerhana matahari terlihat di Pantai Timur. Sejak itu, fenomena tersebut dirayakan dan diincar oleh para pemburu gerhana," jelas Schaefer.


Belajar dari Gerhana Matahari

Gerhana bulan parsial (penumbra) terlihat di langit kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (8/8). Gerhana merupakan peristiwa ketika cahaya matahari terhalangi oleh Bumi sehingga tidak semuanya sampai ke bulan. (Liputan6.com/Gholib)

Saat gerhana matahari total pada 21 Agustus 2017 terlihat di Amerika Serikat nanti, fenomena itu merupakan yang pertama sejak 99 tahun terakhir. Diprediksi, sejumlah kelompok akan melakukan eksperimen ilmiah atas siklus alamiah itu, demi memperkaya pemahaman astronomi dan ilmu langit.

Pada Mei 1919 misalnya, gerhana matahari total yang nampak di AS 'mencerahkan' sejumlah ilmuwan untuk mengetahui lebih dalam tentang matahari dan koronanya.

Terinspirasi dari makalah relativitas Albert Einstein yang terbit pada 1905, Arthur Eddington, astronom asal Inggris, melakukan eksperimen pada gerhana matahari total AS 1919.

Eksperimen Eddington berhasil membuktikan tentang fenomena pembengkokan cahaya bintang yang melintas dekat Matahari kala gerhana surya. Pencapaian si astronom Inggris itu menuai pujian.

 Gerhana Matahari untuk Kebersamaan dan Kemajuan Sains

Ilustrasi Gerhana Matahari Total (iStockphoto)

Penulis dan jurnalis David Baron menjadi seorang 'penggila' fenomena itu sejak menyaksikan gerhana matahari total di Aruba pada 1998. Saat Baron tengah menyusun sumber materi untuk menulis buku tentang gerhana, ada sebuah dokumen tahun 1878 yang menarik perhatiannya.

Pada 1878, AS baru menyelesaikan Perang Saudara dan hendak melakukan restorasi besar-besaran di berbagai aspek, salah satunya sains dan emansipasi perempuan. Dan pada Juli tahun itu, Negeri Paman Sam mendapat keistimewaan menjadi wilayah yang merasakan dampak Gerhana Matahari.

Hal itu memancing astronom dari berbagai penjuru dunia menyambangi AS demi menyaksikan dan bereksperimen atas peristiwa itu. Beberapa di antara ilmuwan itu adala Thomas Edison, Simon Newcomb, Maria Mitchell, Cleveland Abbe, James Craig Watson, dan Samuel Langley.

Para ilmuwan itu menjadi pionir di bidangnya masing-masing. Mitchell mewakili ilmuwan perempuan yang mengamati gerhana matahari secara ilmiah. Watson bertekad untuk membuktikan eksistensi sebuah planet bernama Vulcan. Sementara Edison ingin menguji-cobakan teleskop barunya, 'the Tasimeter'.

"Kami tinggal di Amerika Serikat yang terinspirasi oleh gerhana tahun 1878, tapi agak sulit untuk menyelesaikan semuanya," kata Baron.

"Maria Mitchell membantu membuka pintu bagi generasi wanita di sains masa depan. Jika Edison tidak pergi ke barat untuk gerhana tahun 1878, saya pikir dia tidak akan menjadi orang yang menciptakan bola lampu, karena jika teman dan profesornya, George Barker, tidak mendorongnya untuk bekerja pada ilmu listrik, mungkin dia tidak akan melakukannya."

"Ada kebanggaan seperti itu, sama seperti pendaratan bulan dan perlombaan antariksa, yang membawa negara ini untuk peduli terhadap sains."

Baron berharap bahwa jutaan orang AS akan merasakan kebersamaan yang sama ketika gerhana matahari total berikutnya terjadi pada 21 Agustus 2017 nanti.

"Pengalaman gerhana bagi orang-orang pada tahun 1878 hampir identik dengan apa yang akan terjadi hari ini," kata Baron.

"Gerhana juga benar-benar membantu menghubungkan kita dengan sejarah yang terbentang beberapa generasi dan berabad-abad untuk menghubungkan kita bersama dalam pengalaman ini. Itu mengingatkan kita bahwa perbedaan hanya hal kecil, jika dibandingkan dengan apa yang kita miliki bersama, dan saya pikir kita memerlukan itu sekarang."

 

Saksikan juga video berikut ini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya