Liputan6.com, Jakarta Mengenyam pendidikan di Australia dan sempat berkarier di perusahaan animasi besar di Sydney, kini, Charles mantap menekuni bidang baru yakni buku anak bergambar.
Nama Charles Santoso di industri film Indonesia mungkin belum sepopuler sutradara Joko Anwar, tapi karya-karyanya telah menembus pasar global. Sebut saja The Lego Movie dan Legend of the Guardians: The Owls of Ga'Hoole, dua film animasi tersebut merupakan karya Charles yang masuk ke industri Hollywood.
Advertisement
Mengaku gemar menggambar sejak kecil, Charles Santoso awalnya berkarir sebagai desainer grafis selama 3,5 tahun. Ia lalu mendapat kesempatan untuk bergabung dengan salah satu studio film besar Australia 'Animal Logic' sebagai concept artist.
"Setelah lulus, saya bekerja sebagai graphic designer tapi selama waktu luang, saya selalu menggambar, karena menggambar sudah jadi kesukaan saya dari kecil," ujar alumnus Universitas New South Wales (UNSW) itu yang Liputan6.com kutip dari ABC Australia Plus, Jumat (11/8/2017).
"Lalu saya ada kesempatan buat masuk ke film industry yang waktu itu di Australia salah satu film studio ter-oke, Animal Logic, yang sebelumnya bikin (film) Happy Feet, bikin film Matrix. Jadi mereka pertama buat efek-efek untuk film Hollywood lalu mereka mulai bikin film mereka sendiri," lanjutnya.
Ketika ditanya bagaimana kiprahnya sebagai seorang concept artist atau seniman konsep, Charles menceritakan bahwa dalam pembuatan sebuah film, ia selalu bekerja dengan tim. Menurut ilustrator asal Bandung ini, satu film bisa memiliki tim dengan total 400-500 orang dan memakan waktu 3,5 hingga 4 tahun.
"Saya beruntung bisa masuk tim desain. Jadi sebelum film itu diproduksi, kita bersama sutradara, art director, kita memvisualisasikan film kira-kira nanti bakal di mana sih, supaya sebelum produksi, sebelum orang-orang bikin 3 dimensinya, bikin animasi filmnya, kita ada semacam blue print (rencana matang). Jadi saya ikut tim itu," ungkap lulusan SMA Aloysius Bandung itu.
Dalam pembuatan film Legend of the Guardians: The Owls of Ga'Hoole misalnya, Charles bekerja sama di tim konsep dengan 14-15 orang dari berbagai negara. Di studio Australia itu pun, ia sempat menjadi direktur seni dan mengabdikan dirinya selama sekitar 9 tahun.
Tapi kini, Charles memutuskan untuk banting setir ke dunia penulisan buku anak. Apa yang membuat pria -yang sempat berkuliah satu semester di ITB -ini mengubah haluan kariernya? Ia menjawab itu semua karena 'panggilan hati'.
"Jadi sebenarnya passion saya sebenarnya lebih ke story telling. Apapun mediumnya, setelah saya kerja di film, saya merasa itu sesuatu yang saya suka. Di film is great, I mean saya no problem kerja di film, timnya oke. Waktu saya masih kerja di film saya juga ada proyek buku anak sampingan. Tapi setelah terjun di buku anak, saya merasa ini adalah salah satu bagian penting di kehidupan," akunya.
"Kalau saya lihat anak itu hope (harapan) kalau lihat orang dewasa itu hopeless (putus asa)," tuturnya sambil tertawa.
Sejauh ini, Charles masih berperan sebagai ilustrator buku anak. Tapi ke depannya, ia ingin menulis buku cerita sendiri.
"Buku anak sangat penting ya, apalagi umur 3-8 tahun, di mana anak masih dekat dengan orang tua. Jadi aktivitas orang tua membaca buat anak dan bersama anak, itu membangun banyak hal di anak. Komunikasi, empati, anak jadi lebih ingin banyak tahu sesuatu," pendapatnya.
Ia lantas mengingat tekadnya saat pertama kali terjun ke bidang pembuatan buku anak.
"Ketika saya mulai terjun ke sini, saya ingin suatu hari terjun total di bidang anak ini. Selama ini saya masih ilustrasi, kebanyakan penulisnya semua di Amerika, publisher (penerbit)-nya di Amerika. Tapi sekarang saya juga lagi kerjasama dengan publisher (penerbit) di Australia untuk menulis buku anak," ujar Charles.
Selain alasan panggilan hati, ada faktor lain yang membuat ilustrator ini begitu tertarik untuk terjun total ke dunia buku anak.
"Anak kecil kan mereka jujur banget, it’s a good audience (mereka penonton yang bagus), misalkan saya baca buku untuk mereka, kalau mereka nggak tertarik, mereka nggak mungkin seperti orang besar yang sedikit basa-basi, mereka mungkin nggak dengerin, main aja sendiri," utaranya.
"And in the end it leads to movie too (pada akhirnya ini mengarah ke film). Karena sekarang, kebanyakan film-film mereka mengambil cerita dari buku anak."
Ditanya soal keinginan untuk berkarir di Indonesia, Charles kemudian mengungkapkan pandangan pribadinya.
"Saya rasa bukan soal di Indonesia atau di manapun, tapi soal di mana peluang itu ada. Saya menganggap diri saya warga global, jadi saya akan datang di manapun kesempatan itu ada. Selama ini kesempatan banyak datang dari Amerika dan Australia. Tapi kalau memang ada peluang di Indoneisa, why not (kenapa tidak)?."
Kedatangan Charles ke Jakarta sehubungan dengan acara PopCon Asia 2017 yang digelar akhir pekan 5-6 Agustus. Ia hadir untuk memberikan workshop dan membagi pengalamannya selama berkarier di Australia.