Pemicu Bentrokan Antar-Nelayan Berujung Pembacokan Anggota TNI

Diduga ada provokator dalam bentrokan antar-nelayan yang berujung pembacokan anggota TNI dan menewaskan seorang warga nelayan itu.

oleh Liputan6.com diperbarui 11 Agu 2017, 16:47 WIB
Ilustrasi bentrokan.

Liputan6.com, Timika - Sebanyak 248 nelayan pendatang yang selama ini bermukim di sekitar kawasan Pelabuhan Paumako Timika, sejak Rabu malam, 9 Agustus 2017, mengungsi ke Sekretariat Kerukunan Keluarga Jawa Bersatu (KKJB) Kabupaten Mimika yang beralamat di Jalan Budi Utomo ujung, Kelurahan Kamoro Jaya.

Ketua KKJB Mimika Pardjono mengatakan, aksi pengungsian besar-besaran nelayan asal Pulau Jawa, Maluku, Sulawesi dan Sumatera itu merupakan imbas dari penyerangan oleh kelompok nelayan lokal pada Rabu petang.

Kedua kelompok nelayan itu terlibat bentrokan sengit yang bermula dari masalah perebutan lahan pencarian ikan di wilayah perairan Mimika. Bentrok antar dua kelompok nelayan tersebut berujung pada meninggalnya salah seorang nelayan lokal bernama Theo Cikatem akibat terkena peluru anggota TNI.

Pardjono mengatakan ratusan nelayan pendatang itu dievakuasi dari Pelabuhan Paumako ke Sekretariat KKJB Mimika oleh anggota TNI. Hingga sekarang, masih ada nelayan pendatang yang belum dievakuasi dari Pelabuhan Paumako dan bertahan di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Pamako.

"Sekitar 15 orang lagi masih berada di PPI Paumako. Kami tidak bisa jemput mereka karena situasinya belum benar-benar kondusif," kata Pardjono, di Timika, Jumat (11/8/2017), dilansir Antara.

Para nelayan non-Papua yang mengungsi di Sekratariat KKJB mengaku sejak 2015 mereka harus membayar upeti Rp 100 ribu per bulan kepada pengurus RT di kawasan Pelabuhan Paumako agar mengamankan keberadaan barang milik mereka.

Kasus tersebut terungkap saat pertemuan dengan enam kepala kampung pemilik hak ulayat atas kawasan Pelabuhan Paumako. Para kepala kampung keberatan dengan praktik pungli yang ditarik petugas RT berinisial AC sehingga meminta para nelayan agar tidak lagi menyetor upeti kepada yang bersangkutan.

"Sudah ada kesepakatan dengan enam kepala kampung bahwa setiap kapal wajib menyetor Rp 300 ribu kepada kepala kampung, bukan lagi kepada AC. Mungkin karena jengkel, dia (AC) memprovokasi warganya sehingga terjadilah bentrok dengan nelayan non-Papua," tutur Pardjono.

Saksikan video menarik di bawah ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya