Liputan6.com, Jakarta - Suatu sore di Teluk Neira, Banda Neira, Kepulauan Banda, Maluku, 1 Februari 1936. Sekelompok bocah yang tengah berenang di depan dermaga menyingkir ketika sebuah kapal dari kejauhan terlihat akan segera berlabuh.
Kapal bercat putih dan berbendera Belanda itu bernama Fommelhaut. Dari kabar yang sudah menyebar di Banda Neira, kapal itu datang dari Boven Digul, Papua. Sebuah kawasan yang dijadikan tempat pembuangan dan penjara yang brutal, bahkan kerap disamakan dengan penjara Gulag di Rusia.
Advertisement
Setelah kapal merapat ke dermaga, para penumpang pun turun, termasuk dua lelaki berjas krem dan bersepatu putih. Keduanya tak lain Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir, dua pejuang kemerdekaan Indonesia yang tengah diasingkan dan dipindahkan pemerintah kolonial Hindia Belanda dari Boven Digul ke Banda Neira.
Des Alwi, salah seorang bocah yang tengah berenang sore itu, melihat langsung bagaimana Hatta turun dari kapal dengan membawa belasan peti yang belakangan diketahui berisi buku. Sedangkan Sjahrir disebut Des Alwi tampil lebih perlente.
"Tuan-tuan itu berwajah pucat," ujar Des Alwi seperti dikutip majalah Tempo edisi 12 Agustus 2002.
(Ikuti "Jejak Pejuang di Kota Pembuangan" di sini).
Diyakini, wajah keduanya terlihat pucat lantaran terpapar panas dan cuaca yang tak bersahabat selama di Digul. Rumah yang kurang layak serta ancaman wabah penyakit malaria adalah keseharian yang dirasakan Hatta dan Sjahrir selama diasingkan di Digul. Syukurnya, di Banda Neira kondisi mereka jauh lebih baik.
Seperti ditulis dalam laman Cagar Budaya Kemdikbud, saat pertama tiba di Banda Neira, Hatta dan Sjahrir ditempatkan di rumah pengasingan dr Tjipto Mangunkusumo dan Mr Iwa Kusuma Sumantri. Setelah beberapa hari, keduanya kemudian dipindahkan ke satu rumah sendiri.
Di tempat barunya, Hatta dan Sjahrir menyewa rumah besar dengan delapan kamar milik De Vries, orang kaya Belanda pemilik perkebunan yang tinggal di Jakarta. Rumah pengasingan itu kini terletak di mulut Jalan Hatta, Desa Dwi Warna, ibu kota Kecamatan Banda, Maluku Tengah. Rumah ini juga berbatasan dengan Benteng Belgica, salah satu objek wisata terkenal di Maluku Tengah.
Kawasan ini terlihat asri dengan pohon-pohon johar yang besar dan tua di sepanjang jalan. Tak ada kesan kejam atau asosiasi lainnya yang identik dengan lokasi pembuangan karena pulau ini memang indah.
Setelah tinggal bersama selama beberapa bulan, Sjahrir kemudian memutuskan untuk pindah ke rumah yang lain.
Banda Neira adalah pulau yang menjadi 'ibu' bagi sembilan pulau di Kepulauan Banda. Pilihan pemerintah Belanda membuang para pejuang kemerdekaan di Tanah Banda tampaknya amat beralasan. Pulau satu ini memang sulit dijangkau, bahkan hingga sekarang.
Diperlukan waktu berhari-hari untuk mencapai Banda Neira karena sarana transportasi yang tersedia menuju pulau ini hanyalah kapal laut. Tercatat, hanya sekitar 4.000 jiwa yang tinggal di Banda Neira saat itu. Namun, Hatta dan Sjahrir tak ubahnya seperti manusia merdeka di tanah pengasingan.
Saksikan video menarik di bawah Ini:
Merdeka dalam Pengasingan
Meski diasingkan, dalam kesehariannya selama berada di Banda Neira, Hatta dan Sjahrir tidak diperlakukan seperti tawanan. Keduanya bebas menerima tamu dan boleh berhubungan dengan penduduk. Surat-menyurat tak disensor. Bahkan, mereka diperbolehkan berlangganan majalah dan koran dari Belanda serta Batavia.
Lihat saja kegiatan rutin Hatta selama di Banda. Bangun pagi pukul 05.00 WIT, mandi dan salat Subuh. Pukul 06.00-07.00 WIT, Hatta membaca-baca majalah sambil minum kopi tubruk, sarapan sepotong roti dan sebutir telur mata sapi. Sebelum sarapan, biasanya Hatta membangunkan Sjahrir yang suka bangun siang.
"Kalau saya tidur di rumah itu, saya dibuatkan sarapan oleh Om Hatta roti tawar berlapis mentega dan selai," cerita Des Alwi yang kemudian menjadi anak angkat Sjahrir dan Hatta seperti dikutip dari Seri Bapak Bangsa: Hatta.
Agenda harian berlanjut, pukul 07.00 hingga 08.00 WIT, Hatta mulai berbincang dengan Sjahrir tentang berbagai hal. Pada pukul 08.00 hingga 12.00 WIT, Hatta membaca bukunya yang tersimpan di 16 peti itu. Terkadang ia mengetik tulisan untuk surat kabar Pemandangan dan Batavia.
Pukul 12.00 hingga 13.00 WIT, dia menunaikan salat Zuhur. Pukul 14.00 hingga 16.30 WIT adalah waktunya beristirahat. Setelah bangun, ia berjalan-jalan menyusuri kebun pala atau pantai sampai pukul 17.30 WIT.
Menurut Des Alwi, baju yang dikenakan Hatta selalu rapi. Pria berkacamata itu memiliki lemari setinggi empat tingkat yang isinya tumpukan baju sore, pagi, siang, dan baju untuk tidur yang tertata rapi.
Selama di Banda Neira, Hatta maupun Sjahrir tak banyak bergaul dengan keturunan Belanda setempat. Biasanya, setiap Sabtu malam keduanya rutin datang ke rumah dr Tjipto Mangunkusumo dan Mr Iwa Kusuma Sumantri, dua politikus yang lebih dulu diasingkan di pulau tersebut.
Namun, perubahan terbesar dalam kehidupan Hatta dan Sjahrir di pengasingan tak bisa dilepaskan dari kehadiran bocah-bocah dari keluarga Baadilla, termasuk Des Alwi. Bisa dikatakan, merekalah yang menolong Hatta dan Sjahrir bertahan selama enam tahun dalam masa pengasingan di Banda.
Kedua pejuang kemerdekaan ini tidak menuai kesepian yang menyakitkan, seperti yang disebut-sebut menimpa Tjipto Mangunkusumo dan Iwa Kusuma Sumantri. Dalam kesehariannya di pulau ini, Hatta dan Sjahrir membunuh rasa bosan dengan bermain gundu, sepak bola, mendaki gunung, memetik kembang anggrek, atau berenang di kedalaman laut Banda yang indah dan tenang.
Tak heran kalau kemudian Hatta dan Sjahrir meminta izin keluarga Raja Baadilla, tokoh Banda keturunan bangsawan Arab, untuk menjadikan cucu dan kemenakan Baadilla sebagai anak angkat. Keluarga Baadilla pun sepakat. Des, Does, Lily, Mimi, dan Ali kemudian menjadi anak angkat Hatta dan Sjahrir.
Sebagai anak angkat, Des bersaudara berguru pada Hatta-Sjahrir. Membaca, berhitung, sejarah, serta sopan santun adalah pelajaran utama yang mereka dapatkan.
Advertisement
30 Tahun Setelah Dibuang
Tepat enam tahun Hatta dan Sjahrir diasingkan di Banda Neira, akhir Januari 1942 keduanya diperintahkan kembali ke Jakarta. Untuk keperluan itu, Hindia Belanda menyiapkan sebuah pesawat kecil jenis Catalina milik MLD (dinas penerbangan militer) di dekat Dermaga Neira.
Namun, sempat terjadi negosiasi yang alot antara keduanya dengan pemerintah Hindia Belanda. Hatta dan Sjahrir mengajukan satu syarat untuk kepulangan mereka, yaitu membawa serta semua anak angkat. Belanda pun mengizinkan lima anak turut serta, yakni Des, Does, Lily, Mimi, dan Ali.
Sayang, pada detik-detik menjelang keberangkatan tanggal 31 Januari 1942, pesawat Catalina tak sanggup membawa seluruh rombongan karena kelebihan berat 120 kilogram. Agar pesawat bisa terbang, maka harus ada yang dikorbankan.
Sjahrir pun meminta agar 16 peti buku milik Hatta ditinggalkan di Banda Neira atau ditunda membawanya ke Jakarta. Namun, Hatta menolak gagasan itu karena tak yakin bukunya bisa aman jika ditinggal di pulau tersebut.
Akhirnya disepakati, Des Alwi tinggal di Banda sekaligus menjaga 16 peti buku Hatta yang tak terangkut. Satu bocah lagi, Does Alwi, juga batal ikut karena orang tuanya keberatan. Tiga bulan kemudian, Des menyusul ke Jakarta dan tinggal di rumah Hatta.
Sejarah terus berjalan. Indonesia kemudian merdeka, Hatta menjadi Wakil Presiden pertama RI dan Sjahrir menjadi Perdana Menteri pertama RI. Hatta kemudian memutuskan mundur dari jabatannya pada 1 Desember 1956, sedangkan Sjahrir wafat pada 9 April 1966 di Zurich, Swiss.
Baru pada 1973, saat Sjahrir sudah berkalang tanah, Hatta punya kesempatan lagi menapak tilas perjalanan hidupnya di pengasingan Banda Neira. April 1973, Hatta sekeluarga mendapat undangan dari Des Alwi untuk berkunjung ke Banda. Turut dalam rombongan itu Poppy Sjahrir, istri almarhum Sutan Sjahrir.
Dari Jakarta, rombongan naik pesawat menuju Ambon, dilanjutkan dengan menumpang kapal perang menuju Banda. Mereka melayari lautan Maluku selama 15 jam. Para tetua, termasuk kakek Des Alwi, menyambut mereka dengan haru. Tak ketinggalan, warga Banda yang mencintai Hatta menyiapkan berbagai pertunjukan seni.
Dalam kunjungan itu, Hatta kembali menapak tangga rumah yang pernah ditinggalinya. Rumah pengasingan Hatta kini terletak bersebelahan dengan sebuah lembaga pemasyarakatan (LP). Kendati sedikit lembab, rumah itu relatif terawat. Rumah tersebut terbagi dua bagian, yakni rumah utama di bagian depan dan serambi belakang.
Di rumah utama, ada kursi tamu, kursi santai, mesin tik, meja kerja, meja makan, dan meja peralatan makan. Ada pula kamar pribadi Hatta dengan lemari kaca yang berisi barang-barang pribadi Proklamator Kemerdekaan RI tersebut.
Di serambi belakang terdapat tempayan besar berisi air tempat wudhu serta deretan bangku dan papan tulis tempat Hatta dahulu setiap sore mengajar anak-anak Banda. Bahkan, jalan yang berada di depan rumah itu kini diberi nama Jalan Hatta.
Selama 10 hari di pulau itu, putri bungsu Hatta, Halida melihat ayahnya begitu bahagia. Mereka piknik ke tepi pantai. Makan siang bersama tanpa sendok-garpu, menyuap hanya dengan tangan. Duduk beralas pasir dan memandang matahari tenggelam.
Menjelang kembali ke Jakarta, nama Hatta dan Sjahrir diabadikan pada dua pulau kecil dekat Banda Neira. Jadilah dua pulau kembar itu bernama Pulau Hatta dan Pulau Sjahrir. (Dari berbagai sumber)