Cerita Hatta-Sjahrir di Banda Neira yang Mengundang Tawa

Meski tak berniat untuk melucu, banyak tingkah laku serta ucapan Hatta yang mengundang tawa dan senyum.

oleh Rinaldo diperbarui 13 Agu 2017, 07:30 WIB
Sutan Sjahrir, Sukarno, Mohammad Hatta. (Ist)

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Presiden pertama RI Mohammad Hatta kerap diidentikkan sebagai sosok yang kaku dan tak mudah tersenyum. Dari sejumlah publikasi foto maupun video, pria kelahiran 12 Agustus 1902 ini memang tergambar seperti itu.

Hal ini tak jauh dari penilaian teman karibnya yang juga Presiden pertama RI, Sukarno. Di mata Bung Karno, Hatta adalah sosok yang serius. Ia tak pernah menari, jarang tertawa.

(Ikuti "Jejak Pejuang di Kota Pembuangan" di sini).

Meski telah bergaul dengan orang penting dari beragam negara dan mengenyam pendidikan ala Barat saat kuliah di Belanda, Hatta tetaplah pria yang kikuk. Menurut Bung Karno, Hatta adalah orang yang akan memerah mukanya bila bertemu seorang gadis.

Tak heran, sikap pemalu itu membuat Hatta sulit untuk mendekati wanita dan baru menikah di usia 43 tahun dengan Rahmi. Itu pun setelah Bung Karno mencomblangi sahabatnya itu.

Bahkan, saat menikahi Rahmi, mas kawin yang dibawa Hatta bukan emas, uang, atau perhiasan. Melainkan sebuah buku filsafat Barat yang dia susun berjudul Alam Pikiran Yunani.

Kendati demikian, jangan dikira Hatta tak bisa membuat tawa. Meski tak berniat untuk melucu, banyak tingkah laku serta ucapan Hatta yang mengundang tawa dan senyum. Termasuk ketika dia menjalani masa pembuangan di Banda Neira, Kepulauan Banda, Maluku.

Rumah pengasingan Sutan Sjahrir di Desa Dwi Warna, Kecamatan Banda, Banda Neira, Maluku Tengah, Maluku. (Cagar Budaya Kemdikbud)

Saat baru saja turun dari kapal yang membawanya ke Banda Neira pada Januari 1936, Hatta dan Sutan Sjahrir sudah membuat banyak orang yang melihatnya tersenyum geli. Betapa tidak, dengan status sebagai politikus buangan, Hatta tetap bergaya dengan membawa 16 peti buku ke Banda Neira.

Bayangkan bagaimana tergopohnya Hatta mengangkat 16 peti berisi "harta karun" yang sudah dia kumpulkan sejak masih kuliah di Belanda dan ikut ditentengnya saat diasingkan ke Boven Digul hingga ke Banda Neira. Tak heran kalau seorang teman sesama buangan bernama Mohammad Bondan bingung melihat semangat Hatta mengangkat belasan peti itu.

"Anda ke sini dibuang atau mau membuka toko buku?" tanya Bondan kepada Hatta seperti ditulis dalam buku Bung Hatta, Pribadinya dalam Kenangan.

Sejak itu, Hatta tinggal serumah dengan Sjahrir selama beberapa bulan, sebelum Sjahrir pindah ke rumah sendiri. Hampir setiap hari, rumah yang menjadi tempat tinggal kedua pejuang kemerdekaan ini selalu ramai oleh bocah-bocah Banda Neira yang beberapa di antaranya kemudian menjadi anak angkat mereka.

 

Saksikan video menarik di bawah Ini:

 


Renang Gaya Hatta

 

Meski tinggal serumah, Hatta dan Sjahrir punya kebiasaan dan gaya berbeda. Saat istirahat, Hatta lebih suka membaca buku. Berbeda dengan Sjahrir yang kerap memutar lagu klasik seperti komposisi Beethoven atau Jacowski di sebuah gramofon. Karena itulah, Hatta sering menegur Des Alwi yang membantu Sjahrir memutar gramofon.

Suatu pagi, Sjahrir menyuruh Des Alwi, salah satu anak angkatnya, menyiapkan gramofon dan memutarkan lagu-lagu klasik favoritnya di beranda rumah. Karena merasa terganggu dengan suara musik itu, Hatta pun menegur Des.

"Jangan keras-keras. Itu terlalu Barat, seperti Sjahrir yang kebarat-baratan," ujar Hatta seperti dikutip dari majalah Tempo edisi 12 Agustus 2002.

Karena ditegur, Des pun mengadu ke Sjahrir. Yang dilapori tenang saja dan dengan enteng membalas ocehan rekan seperjuangannya itu.

"Hatta mengatakan aku kebarat-baratan? Dia sendiri kalau mimpi pakai bahasa Belanda," timpal Sjahrir.

Cerita lain, suatu hari bocah-bocah itu mengajak Hatta dan Sjahrir untuk pergi berenang ke pantai. Namun, keduanya menolak dengan halus karena pada dasarnya memang tidak bisa berenang. Tak putus asa, mereka terus memaksa sampai Hatta dan Sjahrir menyanggupi untuk ikut ke pantai.

Sesampainya di pantai, Hatta pun menyanggupi untuk mencoba berenang di bagian laut yang dangkal. Masalahnya, dia tidak mencopot sepatu atau pakaian. Hatta malah menggulung celana panjang sampai selutut dan tetap memakai sepatu tenis sewaktu mulai berenang.

"Kami terpingkal-pingkal melihat kejadian itu," kenang Des Alwi.

Gunung Api Banda (travelwithamate.com)

Namun, sejak itu berenang menjadi hobi Hatta dan Sjahrir. Bahkan, seperti dituturkan putri sulung Hatta, Meutia Farida Hatta Swasono, dua sahabat ini punya kebiasaan agak ekstrem selama di Banda. Mereka kerap berenang sekitar 300 meter menyeberang selat Neira dan langsung mendaki Gunung Api Banda hingga puncak .

"Bapak kerap merenung di sana, pemandangannya indah," ujar Meutia seperti dikutip dari Tempo edisi 19 November 2013.

Gunung Api Banda termasuk gunung yang unik karena kakinya langsung menancap di dasar laut. Ketinggiannya cuma sekitar 600 meter di atas permukaan laut. Namun, jalur pendakian curam dan licin berkerikil. Dibutuhkan waktu sekitar dua jam untuk bisa mencapai puncaknya.

Kisah lainnya, suatu ketika Hatta tengah mengecat perahu yang sering dia gunakan untuk berpelesir menggelilingi laut di dekat rumahnya. Jadilah kemudian perahu itu berwarna merah putih, tanpa tambahan warna biru seperti bendera Belanda.

Hal ini menimbulkan kegusaran di kalangan pejabat wilayah setempat yang tak lain adalah penguasa Hindia Belanda. Si pejabat pun menanyakan alasan kenapa tidak ada warna biru yang menghiasi kapal itu sebagaimana mestinya.

"Anda kan tahu sendiri, laut sudah berwarna biru," jawab Hatta yang membuat si pejabat Belanda jadi tak berkutik.

 


Jadi Jam Berjalan

 

 

Selama di Banda Neira, Hatta boleh dikatakan jarang bersentuhan langsung dengan warga sekitar, karena waktu senggangnya lebih banyak diisi dengan membaca buku. Namun, warga sekitar sangat mengenal pria berkacamata ini, bukan karena sering ngobrol, tapi karena kedisiplinan yang ditunjukkan Hatta.

Para pekerja perkebunan setempat, misalnya, hafal betul Hatta selalu jalan-jalan sore secara rutin pada jam yang sama. Saban hari, dari Senin hingga Sabtu sore, sekitar pukul 04.00-05.00 WIT, ia akan mengelilingi Pulau Banda melewati kebun pala.

Dengan jarak tempuh sekitar 3 kilometer bolak-balik, Hatta menelusuri jalan setapak. Rutenya sama: dari rumah menuju masjid, berbelok masuk hutan yang sunyi, melintasi kebun pala, dan berakhir di dekat pantai ujung pulau. Di situ ia berhenti sebentar, lalu balik ke arah semula.

Karena dilakukan rutin dan selalu tepat waktu, Hatta dijadikan jam. Bila Hatta muncul, para pekerja akan berseru, "Wah, sudah jam lima." Mereka lalu berhenti bekerja. Kemunculan Hatta menjadi penting karena tidak ada jam di kebun yang luas tersebut.

Masih tentang kedisiplinan Hatta, seorang wartawan dari Jakarta yang sudah jauh-jauh hari berkorespondensi untuk bisa mewawancarai tokoh ini akhirnya bisa bertemu. Pada hari yang ditentukan, sang wartawan pun tiba di kediaman Hatta di Banda Neira lebih cepat setengah jam dari waktu yang disepakati.

Mendapat kabar kalau sang wartawan sudah datang, Hatta kemudian meminta yang bersangkutan untuk menunggu setengah jam di ruang tamu sampai jam wawancara tiba. Waktu setengah jam menjelang wawancara itu digunakan Hatta untuk membaca buku ketimbang mempercepat janji dengan si wartawan.

Ranjang yang digunakan Mohammad Hatta selama berada di rumah pengasingan di Jalan Hatta, Desa Dwi Warna, Kecamatan Banda, Banda Neira, Maluku. (Liputan6.com/Aditya Eka Prawira)

Selain membaca dan jalan kaki, hobi Hatta lainnya yang diingat Des Alwi adalah memelihara kucing. Saking sayangnya dengan kucing, beberapa ekor langsung dipelihara. Umumnya Hatta menyukai kucing dengan warna kulit belang, khususnya belang harimau. Dan semua kucing peliharaan Hatta berkelamin jantan.

Yang mengherankan, Hatta menamai kucing-kucing itu dengan nama diktator yang dibencinya, seperti Hitler, Mussolini, dan Franco.

"Kucing yang kulitnya mirip macan diberi nama Hitler, sedangkan kucing yang putih belang-belang hitam diberi nama Tito," cerita Des Alwi dalam Bersama Hatta, Sjahrir, dr. Tjipto & Iwa R. Sumantri di Banda Naira.

Des Alwi merupakan salah satu anak angkat Hatta dan Sjahrir yang ikut diboyong ke Jakarta usai pengasingan di tahun 1942. Dia mengenang, Hatta adalah bapak yang sangat ketat memantau prestasi belajar anaknya di sekolah. Ia paling tidak toleran dengan nilai buruk.

Suatu kali, saat duduk di bangku SMP, Des mendapat nilai merah di rapor. Hatta pun kesal bukan main mendapat laporan tentang prestasi sekolah Des itu. Saking kesalnya, dia menyuruh Des pulang saja ke Banda Neira dengan berenang.

 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya