Liputan6.com, New York - Harga minyak naik seiring data menunjukkan aktivitas pengeboran atau produksi minyak Amerika Serikat (AS) bertambah. Ini mendorong spekulasi aktivitas pengeboran minyak stabil.
Meski demikian, harga minyak secara mingguan melemah usai laporan data produksi negara pengekspor minyak tergabung dalam OPEC naik pada Juli. Ditambah ketegangan AS dengan Korea Utara.
Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman September naik 23 sen atau 0,5 persen menjadi US$ 48,82 per barel di New York Mercantile Exchange. Selama sepekan, harga minyak WTI melemah 1,5 persen.
Baca Juga
Advertisement
Sedangkan harga minyak Brent bertambah 20 sen atau 0,7 persen ke level US$ 52. Sepanjang sepekan, harga minyak Brent susut 0,6 persen.
Sentimen aktivitas pengeboran minyak AS naik menjadi 768 rig pada pekan ini. "Angka pengeboran minyak stabil, dan hanya naik tips sepanjang 2017. Ini artinya pertumbuhan produksi minyak AS melambat," ujar James Williams, Ekonom WTRG Economics, seperti dikutip dari laman Marketwatch, Sabtu (12/8/2017).
Pada perdagangan saham Kamis waktu setempat, terjadi aksi jual di pasar komoditas. Produksi minyak the Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) naik 0,5 persen menjadi 32,9 juta per barel per hari.
Data International Energy Agency juga menunjukkan kalau produksi minyak AS naik menjadi 32,84 juta barel per hari sepanjang 2017.
"Tingkat kepatuhan dengan penurunan produksi OPEC turun pada Juli ke level terendah baru menjadi 75 persen. Bagi negara-negara non OPEC yang juga mendukung pemangkasan produksi tingkat kepatuhannya menjadi 67 persen. 20 negara tersebut memproduksi minyak sekitar 470 ribu barel per hari melebihi komitmen mereka," tulis laporan IEA.
IEA pun memperkirakan pertumbuhan permintaan pada 2017. Permintaan produksi minyak mencapai 1,5 juta barel per hari menjadi 97,6 juta barel per hari.
"Kekhawatiran tentang peningkatan produksi OPEC dan kepatuhan terhadap kesepakatan produksi global berlangsung hingga kuartal I 2018 membuat harga minyak WTI menembus angka US$ 50 per barel," ujar Tyler Richey, Co-Editor Sevens Report.
Selain faktor penawaran dan permintaan, investor juga ikuti perkembangan di tengah kebuntuan antara Korea Utara dan AS.
Saksikan Video Menarik di Bawah Ini: