Liputan6.com, Virginia - Tensi tinggi sarat kekerasan tengah meningkat di Kota Charlottesville, Virginia, Amerika Serikat sejak Sabtu 12 Agustus 2017. Hal itu dipicu oleh bentrokan antara dua kubu demonstran, yakni kelompok supremasi kulit putih dan kelompok oposisi.
Demonstrasi itu berujung baku hantam antara kedua kelompok. Aparat penegak hukum yang menangani aksi turut terlibat perkelahian dengan beberapa peserta. Demikian seperti yang dilansir New York Times, Sabtu (12/8/2017).
Kelompok supremasi kulit putih mengadakan demonstrasi demi menentang keputusan kota untuk menurunkan patung Robert E. Lee di Charlottesville. Lee merupakan komandan militer Konfederasi Amerika (CSA) pada masa Perang Sipil AS (1861 - 1865).
Baca Juga
Advertisement
Aksi demo yang menentang penurunan patung Robert E. Lee itu bertajuk 'Unite the Right'. Seperti yang dikutip dari New York Times, demonstrasi itu menarik kelompok supremasi kulit putih, Ku Klux Klan, neo-Nazi, alt-Right dan individu berhaluan politik ekstrem kanan untuk ikut bergabung.
Sementara itu, kelompok demonstran oposisi berusaha menentang aksi protes yang dilakukan oleh kubu supremasi kulit putih. Kubu oposisi menganggap bahwa aksi yang dilakukan kelompok supremasi seakan membangkitkan kembali memori Perang Sipil dan isu rasialisme.
Kubu demonstran oposisi terdiri dari komunitas Afrika-Amerika, anti-fasis, kelompok agama, dan sejumlah individu berhaluan politik liberal.
Sebagai latar belakang, Perang Sipil AS (1861 - 1865) merupakan peperangan antara AS (negara bagian di utara) dengan CSA (negara bagian selatan). Konflik bersenjata itu disebabkan oleh perbedaan pandangan pada isu perbudakan.
Pada saat itu, AS di negara bagian di utara menentang perbudakan, sementara CSA mendukung perbudakan. Selisih pandangan itu membuat negara bagian yang berada di selatan, salah satunya Virginia, membentuk negara Konfederasi.
Kembali aktifnya komunitas supremasi kulit putih yang sarat akan rasisme itu, salah satunya dipicu oleh kemunculan Donald Trump sebagai presiden AS beserta haluan politik nasionalis dan slogan kampanye yang diusungnya, 'America First'.
"Demonstrasi ini merupakan ajang untuk memenuhi janji kampanye Donald Trump guna merebut kembali negara kita," jelas David Duke salah satu mantan petinggi Ku Klux Klan.
Sebaliknya, Presiden Trump menentang demonstrasi serta menyayangkan bentrok antara kedua kelompok di Charlottesville.
"Sebuah peristiwa yang sangat buruk yang terjadi di Charlottesville. Isu tersebut (rasialisme dan supremasi kulit putih) telah lama terjadi di negara kita, bukan hanya di masa saya atau Barack Obama," jelas Donald Trump.
Meski tidak secara spesifik menyebut pihak tertentu maupun isu supremasi kulit putih, presiden ke-45 AS itu menilai bahwa aksi protes tersebut sangat sarat akan 'kebencian, fanatisme, dan kekerasan dari kedua belah pihak'. Secara tersirat, Trump nampak menuding bahwa kelompok demonstran oposisi turut memicu kekerasan yang terjadi.
Presiden Trump mengaku telah berbicara dengan pejabat di Virginia dan meminta mereka untuk menyegerakan 'restorasi hukum dan ketertiban. Ia juga mengimbau agar seluruh warga AS untuk bersatu tanpa memandang 'ras, iman, dan warna kulit'.
Sejumlah pihak mengkritik Presiden Trump yang dianggap tidak memberikan respons optimal guna menekan dan mencegah bentrok antar demonstran di Charlottesville. Beberapa menyebut bahwa kemunculan kembali kelompok ultra nasionalis dan supremasi berbasis warna kulit dipicu oleh janji kampanye dan kebijakan Donald Trump.
"Saya berharap agar ia (Trump) bercermin dan memikirkan kembali apa yang telah ia utarakan dan lakukan selama ini, sejak kampanye hingga sekarang," jelas Wali Kota Charlottesville Mike Signer.
Merespons rangkaian kekerasan yang terjadi Charlottesville, Gubernur Virginia Terry McAuliffe menetapkan status darurat di kawasan tersebut.
Melalui akun Twitter-nya, McAuliffe mendeklarasikan bahwa otoritas negara bagian akan turun tangan menangani Charlottesville demi meredakan kekerasan dan memulihkan ketertiban.
Saksikan juga video berikut ini