Liputan6.com, Nairobi - Kisruh Pemilihan Presiden di Kenya berujung maut. Sejumlah aksi protes pecah setelah presiden petahana, Uhuru Kenyatta, memenangi pilpres pada Sabtu, 12 Agustus 2017. Dalam unjuk rasa yang menolak hasil pilpres itu, 24 orang tewas. Ada dugaan, mereka ditembak dengan peluru tajam oleh polisi.
Data korban tewas dan dugaan ditembak oleh polisi merupakan keterangan dari komisi nasional HAM Kenya. Demikian seperti dikutip dari Los Angeles Times, Minggu (13/8/2017).
Delapan di antara total korban tewas dikabarkan ditembak di wilayah kumuh di Mathare, Nairobi. Jenazah korban yang tewas di Mathare telah dibawa ke rumah sakit.
Sementara itu, menurut kelompok oposisi, aksi kekerasan aparat menewaskan sekitar 100 warga sipil.
Baca Juga
Advertisement
Untuk korban luka, Kenya Red Cross Society mengklaim telah menangani 93 orang, sedangkan MSF Kenya, sebuah lembaga paramedis, menyebut telah merawat 54 individu terluka. Diperkirakan, korban luka mencapai sekitar 150 orang.
Seperti yang dikutip dari LA Times, ada dugaan kepolisian menembaki kerumunan demonstran dengan peluru tajam dan gas air mata di sejumlah titik di Nairobi dan daerah lain di Kenya.
Menurut saksi mata, polisi melakukan penembakan menggunakan peluru tajam di Mathare dan Kibera. Aparat juga dilaporkan menyerbu sejumlah rumah, menyeret, dan memukuli beberapa penghuni.
Di antara korban tewas yang ditembak oleh polisi adalah seorang gadis cilik.
Media lain juga melaporkan aksi penjarahan yang dilakukan warga terhadap sejumlah toko dan kios di kawasan.
Tindakan aparat menyulut amarah kelompok oposisi dan menuai kutukan dari sejumlah organisasi pegiat HAM.
"Mereka menggunakan peluru tajam untuk membunuh warga Kenya yang tak bersalah. Sekitar 100 orang telah tewas. Kabarnya, polisi memasukkan mereka ke kantong dan membuangnya. Kami tidak akan diam, kami akan melawan," jelas Johnston Muthama, juru bicara kelompok oposisi.
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Kenya Fred Matiang'i membantah adanya demonstrasi warga dan aksi brutal polisi. Ia menyebut bahwa kekerasan yang dilakukan aparat ditargetkan pada para penjarah, bukan demonstran.
"Tidak ada demonstrasi. Mereka hanyalah penjarah, dan penjarah adalah kriminal. Mereka harus ditangkap," jelas Matiang'i.
Komnas HAM Kenya tak sependapat dengan keterangan Mendagri. Lembaga itu meminta agar kepolisian menghentikan aksi brutalnya.
"Kepolisian tidak boleh menggunakan gas air mata dan peluru tajam kepada kerumunan," jelas Otsieno Namwaya, anggota Komnas HAM Kenya.
Demonstrasi itu dipicu oleh kemenangan presiden petahana Uhuru Kenyatta dalam Pilpres Kenya 2017. Kelompok oposisi menolak hasil pilpres itu dan menuding pemenang telah melakukan kecurangan serta berkolusi dengan komisi pemilu.
Kelompok oposisi dipimpin oleh Partai National Super Alliance (NSA) beserta kandidat capres Raila Odinga. Mereka mengklaim bahwa kandidatnya yang justru memenangi Pilpres Kenya 2017.
Partai NSA juga menuding bahwa Kenyatta beserta antek-anteknya memanipulasi proses pemungutan suara. Sementara itu, mereka menuduh bahwa laman elektronik komisi pemilu Kenya telah diretas demi menguntungkan petahana.
Meski begitu, hasil pemeriksaan lembaga independen nonpartisan belum menemukan bukti mengenai dugaan manipulasi, kecurangan, dan peretasan dalam Pilpres Kenya 2017. Namun, tak tertutup kemungkinan pula jika pemilu itu tidak berlangsung jujur, transparan, dan adil.
Hingga kini, tensi tinggi di Kenya pasca-pilpres 2017 masih berlangsung.
Saksikan juga video berikut ini