Liputan6.com, Jakarta Kontroversi keberadaan rumah sekap terus mengemuka di Pansus Hak Angket KPK. Rumah sekap pertama diungkap oleh Niko Panji Tirtayasa saat diundang Pansus beberapa waktu lalu. Niko adalah saksi palsu untuk kasus korupsi yang ditangani KPK. Ini benar-benar penyekapan terhadap saksi palsu yang ditempatkan di rumah sekap.
“Dalam undang-undang, yang namanya penempatan saksi dan korban di safe house adalah orang yang jiwa dan keselamatannya terancam. Kalau saksi palsu ditaruh di safe house namanya penyekapan. Niko itu saksi palsu,” tegas Anggota Pansus Hak Angket KPK, Masinton Pasaribu, Jumat (11/8/2017).
Niko, sambung politisi PDI Perjuangan itu, adalah orang yang tidak mengetahui dan tidak mengalami peristiwa korupsi yang sedang disidik KPK waktu itu. Seperti diketahui, Niko dijadikan saksi oleh KPK untuk kasus sengketa Pilkada di MK yang melibatkan mantan Ketua MK Akil Mukhtar dan calon wali kota Palembang Romi Herton pada 2014 lalu.
“Dia memang saksi palsu yang dikondisikan oleh oknum penyidik KPK untuk memberikan kesaksian dan keterangan palsu dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan di persidangan,” kata Masinton.
Pihaknya menyayangkan peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam perkara rumah sekap yang kontroversial ini. LPSK seperti tunduk dan takut pada KPK. Padahal ia punya otoritas penuh bila menyangkut pengamanan saksi dan korban.
Dalam keterangannya di hadapan rapat Pansus, Niko pernah mengungkapkan, rumah sekap itu berada di Depok, Jawa Barat dan Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Advertisement
“Semua takut sama KPK. Kita juga sedang menyurati LPSK, di mana saja ada rumah aman atau sekap yang dibuat KPK. Apakah itu rutin dilaporkan kepada LPSK. Tidak tahu rumah sekap itu sekarang dalam penguasaan siapa. Tapi rumah itu pernah disewa oleh KPK untuk menempatkan Niko sebagai saksi palsu yang dikondisikan,” ungkap Masinto.
Idealnya, para saksi penting yang terancam jiwa dan keselamatannya, harus ditempatkan di safe house (rumah aman) bukan rumah sekap yang selama ini digunakan. Orang yang ditempatkan di safe house adalah yang benar-benar mengalami dan mengetahui suatu peristiwa hukum, dalam konteks ini adalah yang mengetahui tindak pidana korupsi.
LPSK sendiri selama ini tidak punya nyali dan keberanian untuk bertanya kepada KPK, siapa dan di mana saja KPK menempatkan para saksinya, karena menjadi otoritas LPSK. “LPSK enggak berani tuh sama KPK. Ketika Niko masih disekap, LPSK sebenarnya punya kewenangan untuk memantau. Tapi, kalau sudah berhadapan dengan KPK, malah melambai. Banci itu artinya.
Hal senada disampaikan pula oleh Eddy Kusuma Wijaya. Rumah sekap itu bukan dalam pengertian safe house. Sekap sangat berkonotasi negatif. “Rumah Sekap bukan safe house. Sekap berarti negatif. Itu bisa ada pelanggaran HAM. Tapi, kalau orang diamankan tentu dia merasa aman di situ. Kalau ada pelanggaran HAM, itu perbuatan pidana. Hanya Niko yang mengungkap adanya rumah sekap itu. Di rumah itu, Niko mengaku ditekan agar memberi kesaksian sesuai kehendak penyidik KPK,” ujar Eddy.
(*)