Perjalanan Spiritual Sukarno Saat Pengasingan di Ende

Tak hanya berdiskusi dengan misionaris Katolik, Sukarno juga berkorespondensi dengan A Hasan untuk mengetahui soal Islam.

oleh Muhammad Ali diperbarui 15 Agu 2017, 06:06 WIB
Rumah pengasingan Sukarno di Ende, Flores, NTT. (Liputan6.com/Ilyas Istianur Praditya)

Liputan6.com, Jakarta - Menumpang kapal Jan van Riebeeck, Sukarno diboyong berlayar oleh pemerintah Hindia Belanda menuju Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Selama delapan hari dia mengarungi samudera. Pada 14 Februari 1934, Sukarno yang kala itu berusia 35 tahun, tiba di tempat pembuangan dengan model penjara terbuka.

Ende dianggap sebagai tempat yang tepat agar Sukarno terisolasi dari kegiatan politik. Selain itu, juga akan membuat komunikasinya terputus dengan rekan-rekan seperjuangan di Pulau Jawa. Di Pulau Ende tak ada sarana dan prasarana untuk itu.

"Di seluruh pulau itu tak ada bioskop, perpustakaan, maupun hiburan lainnya. Di sini juga tidak ada telepon dan kantor telegraf. Satu-satunya hubungan dengan dunia luar hanyalah lewat dua buah kapal pos yang masing-masing datang sekali sebulan. Dua kali dalam sebulan kami menerima surat-surat dan surat kabar dari luar," cerita Sukarno kepada wartawati AS, Cindy Adams, dalam karyanya, Sukarno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Sukarno dibuang ke Pulau Ende oleh pemerintah Hindia Belanda selama 4 tahun, hingga 1938. Dia hidup di pengasingan dengan ditemani istri tercintanya, Inggit Garnasih dan ibu mertuanya, Amsi. Mereka menempati rumah sangat sederhana milik Abdullah Ambuwaru di kawasan Ambugaga, kampung kecil yang terdiri dari pondok-pondok beratap ilalang.

"Rumah itu tanpa listrik dan air ledeng. Kalau mandi, aku membawa sabun ke Wola Wona, sebuah sungai yang mengalirkan air dingin dengan di tengah-tengahnya bongkahan batu," ujar pria yang akrab disapa Bung Karno ini.

Rumah pengasingan Presiden Pertama RI Sukarno saat diasingkan di Ende, Flores, NTT. (Liputan6.com/Ilyas Istianur Praditya)

Bung Karno mengakui, pertama kali menjalani hidup di tanah pengasingan membuatnya depresi. Sayap-sayapnya seolah terpotong-potong. Ketiadaan kawan di Ende menjadikan Flores mirip tempat penyiksaan.

Namun, Bung Karno mampu mengatasi dan mengolah situasi krisis itu. Lambat laun, berkat dorongan dari istri tercinta, Inggit, semangat Sukarno kembali bangkit. Dia mulai membentuk lingkungannya sendiri dengan berbagai kalangan rakyat jelata. Mereka berasal dari para pemetik kelapa, sopir mobil, para pembantu yang tidak bekerja.

"Inilah kawan-kawanku. Pertama aku berkenalan dengan kota, seorang nelayan. Setelah kukatakan kepadanya bahwa tidak ada larangan mengunjungiku, dia datang ke rumahku. Kemudian dia membawa Dirham, tukang jahit. Setelah itu, aku yang berkunjung ke tempat mereka," tutur Bung Karno.

Tak banyak yang bisa dilakukan Bung Karno di tempat pengasingan yang begitu jauh dari Ibu Kota itu. Sehari-hari, Sukarno memilih berkebun dan membaca. Untuk membunuh kebosanannya dengan aktivitas yang monoton itu, jiwa seni Bung Karno kembali tumbuh. Dia mulai melukis hingga menulis naskah drama pementasan. Tercatat, 12 sandiwara yang dikarang oleh Sukarno dan dipentaskan di Ende.

Dikutip dari Bung Karno dan Pancasila, Ilham dari Flores untuk Nusantara, di Ende, Sukarno menjadi lebih banyak berpikir ketimbang sebelumnya. Dia mulai belajar soal pluralisme dan bertukar pendapat dengan misionaris.

Ada dua misionaris yang dijadikan tempat diskusi Bung Karno. Mereka adalah P Johanes Bouma, SVD dan P Gerardus Huijtink, SVD. Mereka menjalin persahabatan yang begitu erat.

Berkat persahabatannya dengan orang-orang ini, Bung Karno diizinkan leluasa bertamu di Biara St Yosef dan diperbolehkan membaca buku-buku dan majalah atau surat kabar di perpustakaan biara. Lebih dari itu, persahabatan yang akrab ini menyebabkan Bung Karno tidak sungkan ataupun curiga menjadikan mereka teman diskusi dan bertukar pikiran.

Sukarno sering berdiskusi tentang banyak hal dengan mereka, termasuk gagasan-gagasan dan rencananya untuk mendirikan negara Indonesia merdeka. Ide-ide brilian dalam proses penemuan dan perumusan butir-butir mutiara Pancasila, tidak terlepas dari diskusi-diskusinya yang serius dan mendalam dengan kedua sahabatnya itu.

 


Surat-Surat dari Ende

Rumah pengasingan Presiden Pertama RI Sukarno saat diasingkan di Ende, Flores, NTT. (Liputan6.com/Ilyas Istianur Praditya)

Tak hanya berdiskusi dengan misionaris Katolik, Sukarno juga mempelajari agama Islam dengan cara membaca buku-buku Islam dalam berbagai bahasa. Bahkan dengan dibuangnya Bung Karno ke Ende, disebutkan menjadikan zaman baru dalam sejarah hidupnya.

Selama di Ende, seperti dikutip dari Bung Karno dan Kehidupan Berpikir Dalam Islam, karya Solichin Salam, selain rajin membaca dan mempelajari buku Islam, Bung Karno juga melakukan korespondensi dengan A Hassan, seorang ulama modernis Islam terkenal dan tokoh organisasi Persatuan Islam (Persis). Surat menyurat antara keduanya berlangsung sejak 1 Desember 1934 hingga 17 Oktober 1936.

Sukarno mengagumi pemikiran A Hassan yang tertuang dalam tulisan-tulisan di majalah Al Lisan dan Pembela Islam. Kala itu, media tersebut mendapat hati di kalangan kaum elite intelektual modern, termasuk Bung Karno.

Terlebih, Bung Karno dan A Hasan pernah berjumpa di Percetakan Drukerij Economy milik pengusaha Cina di Bandung. Sukarno saat itu tengah mengurus cetakan surat Kabar Fikiran Rakjat, sedangkan A Hassan mengurus cetakan buku-bukunya.

Dialog dan tukar pendapat dilakukan dalam pertemuan itu. Sukarno lantas tertarik dengan kedalaman pemahaman keislaman A Hassan. Dia sedikit demi sedikit terbuka untuk mempelajari secara mendalam ajaran Islam.

Ia juga menceritakan keinginannya untuk mendapatkan bahan-bahan bacaan Islam, terutama karya-karya A Hassan. Di antara karya yang ingin sekali ia baca adalah buku berjudul Utusan Wahabi. Pada masa lalu, isu tentang Wahabi memang menjadi perbincangan.

Menurut catatan Solichin Salam, ada 12 surat yang dibaca Sukarno. Surat itu pertama tertanggal 1 Desember 1934, kedua 25 Januari 1935, ketiga 26 Maret 1935, keempat 17 Juli 1935, kelima 15 September 1935, keenam 25 Oktober 1935.

Pohon sukun tempat primadona Presiden Pertama RI Sukarno saat diasingkan di Ende, Flores, NTT. (Liputan6.com/Ilyas Istianur Praditya)

Kemudian, ketujuh 14 Desember 1935, kedelapan 22 Pebruari 1936, kesembilan 22 April 1936, kesepuluh 12 Juni 1936, kesebelas 18 Agustus 1936, dan terakhir 17 Oktober 1936.

"Surat-surat itu dihimpun dan diterbitkan A Hassan dengan judul Surat-Surat Islam dari Ende,” tulis Solichin Salam.

Jauh sebelum itu, Sukarno sebenarnya telah mengenal Islam secara intensif melalui diskusi dan literasi yang dibaca. Terlebih saat remaja, dia juga pernah tinggal di kediaman HOS Tjokroaminoto, tokoh Sarekat Islam (SI) di Surabaya.

Kesadaran diri seorang Muslim itu datang beriringan dengan kesadaran anti-kolonialisme dalam diri Sukarno di masa remajanya. Hal ini sangat dipengaruhi keterlibatannya dalam kegiatan pergerakan Sarekat Islam yang anti-kolonial pada masa itu. Karena itu, Islam yang berkembang dalam diri Sukarno adalah Islam yang anti-penindasan dan penjajahan.

Akan tetapi, tetap saja cakrawala berpikir Sukarno tidak terbatas pada satu paradigma religiusitas ke-Islam-an saja. Ia juga menyerap ajaran-ajaran teologis lainnya yang hidup dalam alam pikiran masyarakat nusantara, dan itu makin memperkaya keyakinannya akan Sang Khalik.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya