Liputan6.com, Washington, DC - Sejumlah aksi protes massal pecah di penjuru Amerika Serikat sebagai reaksi mengutuk demonstrasi berdarah di Charlottesville, Virginia.
Aksi tersebut dilakukan pada Minggu, 14 Agustus 2017, atau selang sehari pasca-demonstrasi di Charlottesville yang menewaskan satu orang dan melukai puluhan lainnya, demikian seperti dilansir Telegraph, Senin (14/8/2017).
Masing-masing kelompok aksi yang tersebar di beberapa kota itu meneriakkan tuntutan. Mereka memprotes dan mengutuk isu-isu turunan terkait demonstrasi Charlottesville, mulai dari supremasi kulit putih, isu fasisme-rasialisme. Bahkan, Presiden Donald Trump pun ikut jadi sasaran kecaman.
Di New York, peserta aksi menyalahkan Trump, yang dianggap tidak bertindak optimal untuk mencegah serta merespons demonstrasi berdarah yang terjadi pada Sabtu, 12 Agustus 2017.
Baca Juga
Advertisement
Para demonstran melaksanakan long-march ke kediaman pribadi sang Presiden di Trump Tower, Manhattan, Kota New York.
Di San Fransisco, kelompok aksi protes turut mengecam pemerintahan sang presiden ke-45 AS yang dianggap "menyuburkan" gerakan supremasi kulit putih, fasisme, dan jenis lain yang serupa.
"Masyarakat perlu segera menyadari dan melawan tanpa rasa takut. Hal seperti itu (isu supremasi kulit, fasisme) tidak boleh terus dibiarkan tumbuh subur dan berkembang," jelas Carl Dix, pemimpin kelompok Refuse Fascism yang mengorganisasi demonstrasi di New York dan San Fransisco.
"Kita sudah melihat apa yang terjadi pada masa lalu ketika hal seperti itu marak berkembang. Kita harus melawan," ujarnya.
Sementara itu, di Denver, ratusan peserta aksi protes berkumpul di bawah patung Martin Luther King Jr, salah satu tokoh yang menjadi simbol perlawanan atas rasialisme di Negeri Paman Sam.
Salah satu peserta aksi protes di kota itu membawa spanduk bertuliskan, 'Make racists ashamed again'. Mereka mengecam aksi demonstrasi di Charlottesville yang berbau rasisme.
Di pusat Kota Los Angeles, Helen Rubenstein (62 tahun), penyintas Holocaust, ikut bergabung bersama ratusan peserta aksi protes. Ia sangat khawatir dengan efek yang akan muncul pasca-demonstrasi berdarah di Charlottesville.
"Saya menyalahkan Trump 100 persen karena ia menyuburkan kelompok tersebut. Kini mereka menebar kekerasan dan melakukan pembunuhan," jelas Rubenstein.
Bentrok Kembali Terjadi
Di Seattle, Negara Bagian Washington, terjadi bentrokan antara dua kubu aksi protes pada Minggu 14 Agustus. Kubu pertama adalah kelompok pro-Trump yang bernama Patriot Prayer.
Sementara kubu lain merupakan kelompok aksi protes yang merespons demonstrasi berdarah di Charlottesville, Virginia.
Massa kedua kubu berjumlah ratusan orang. Dan mereka berkumpul di titik lokasi yang berdekatan.
Tak ingin kejadian di Charlottesville berulang, Kepolisian Seattle menyiagakan petugas pengendali huru-hara dengan peralatan lengkap dan memasang barikade pemisah bagi kedua kelompok aksi.
Selang beberapa saat, tensi tinggi antara kedua kelompok aksi kian memuncak. Hal itu berujung dengan bentrokan ringan antar peserta masing-masing kubu.
Menggunakan pengeras suara, polisi mengimbau agar massa membubarkan diri. Petugas pengendali huru-hara kemudian memisahkan peserta aksi yang bentrok. Beberapa aparat membubarkan demonstran dengan menggunakan semprotan merica.
Menurut Seattle Times, aparat berhasil mengendalikan massa. Namun tidak diketahui pasti secara detail berapa banyak individu yang diamankan maupun korban luka terdampak.
Demonstrasi Berdarah di Charlottesville
Tensi tinggi sarat kekerasan tengah meningkat di Kota Charlottesville, Virginia, Amerika Serikat, sejak Sabtu, 12 Agustus 2017. Hal itu dipicu bentrok antara dua kubu demonstran, yakni kelompok supremasi kulit putih dan kelompok oposisi.
Demonstrasi itu berujung baku hantam antara kedua kelompok. Aparat penegak hukum yang menangani aksi turut terlibat perkelahian dengan beberapa peserta. Demikian seperti yang dilansir New York Times.
Kelompok supremasi kulit putih mengadakan demonstrasi demi menentang keputusan kota untuk menurunkan patung Robert E. Lee di Charlottesville. Lee merupakan komandan militer Konfederasi Amerika (CSA) pada masa Perang Sipil AS (1861 - 1865).
Aksi demo yang menentang penurunan patung Robert E. Lee itu bertajuk "Unite the Right". Seperti yang dikutip dari New York Times, demonstrasi itu menarik kelompok supremasi kulit putih, Ku Klux Klan, neo-Nazi, alt-Right dan individu berhaluan politik ekstrem kanan untuk ikut bergabung.
Sementara itu, kelompok demonstran oposisi berusaha menentang aksi protes yang dilakukan oleh kubu supremasi kulit putih. Kubu oposisi menganggap bahwa aksi yang dilakukan kelompok supremasi seakan membangkitkan kembali memori Perang Sipil dan isu rasialisme.
Kubu demonstran oposisi terdiri dari komunitas Afrika-Amerika, anti-fasis, kelompok agama, dan sejumlah individu berhaluan politik liberal.
Sebagai latar belakang, Perang Sipil AS (1861 - 1865) merupakan peperangan antara AS (negara bagian di utara) dengan CSA (negara bagian selatan). Konflik bersenjata itu disebabkan oleh perbedaan pandangan pada isu perbudakan.
Pada saat itu, AS di negara bagian di utara menentang perbudakan, sementara CSA mendukung perbudakan. Selisih pandangan itu membuat negara bagian yang berada di selatan, salah satunya Virginia, membentuk negara Konfederasi.
Saksikan juga video berikut ini
Advertisement