Liputan6.com, Jakarta - Batu-batu besar berserakan. Pasir putih dan laut biru menambah keindahan alam Pulau Bangka. Namun, di balik keeksotisannya, Bangka menyimpan potret buram sejarah kemerdekaan Indonesia.
Setelah menyerang lapangan terbang Maguwo secara mendadak pada 19 Desember 1948, Belanda berhasil menduduki Ibu Kota Republik Indonesia kala itu, Yogyakarta. Menurut teori militer, Republik Indonesia sudah ditaklukkan Belanda dan habislah riwayat negara yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
(Ikuti "Jejak Pejuang di Kota Pembuangan" di sini).
Pucuk pimpinan Republik Indonesia pun langsung ditangkap dan diasingkan di dua tempat. Presiden Sukarno, Menlu Haji Agus Salim, dan Penasihat Presiden Sutan Sjahrir diasingkan di Berastagi, kemudian dipindahkan ke Parapat dan Bangka.
Sementara, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Ketua Badan Pekerja Mr Assaat, Sekretaris Presiden Abdul Gafar Pronggodigdo, dan Panglima AURI Suryadarma diasingkan di Bangka. Pada akhir 1949, Mendikbud Ali Sastroamidjojo dan Ketua Delegasi RI Mohamad Roem menyusul diasingkan dan digabungkan dengan para tawanan di Bangka.
Baca Juga
Advertisement
Dalam bukunya, Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI, Mohamad Roem mengungkap, para tahanan di Bangka dikurung di tempat istirahat perusahaan timah Bangka di puncak Gunung Menumbing, dekat Kota Muntok. Meskipun gedung itu besar, ruang gerak para tahanan dibatasi pagar kawat dalam ruangan sebesar 4x6 meter.
Sukarno dan Hatta diasingkan ke Bangka tidak bersamaan. Namun, selama di Bangka, mereka sering dikunjungi menteri-menteri RI yang masih berada di Pulau Jawa, menteri-menteri dari BFO, pejabat-pejabat Belanda, dan anggota Panitia Jasa-Jasa Baik.
Akhir Januari sampai 6 Juli 1949 pun Pulau Bangka menjadi pusat kesibukan diplomasi yang mempunyai sifat internasional. Bahkan, pesawat United Nations Commision for Indonesia (UNCI) terbang mondar-mandir antara Jakarta dan Pangkal Pinang.
Kala itu, Pulau Bangka sudah dikuasai Belanda dan termasuk daerah federal. Akan tetapi, menurut Roem, rakyat Bangka tampak tetap republikan.
"Itulah yang kami saksikan selama berada di Bangka. Dalam beberapa kesempatan, Bung Hatta berkeliling Pulau Bangka dan dapat dilihat semangat rakyat pro republik tidak ada bedanya dengan daerah republik," ujar Roem dalam bukunya yang dikutip Liputan6.com, Rabu (16/8/2017).
Para pemimpin Republik Indonesia yang diasingkan di Pulau Bangka ditempatkan di dua tempat. Rombongan Bung Hatta dan Mr Assaat, Suryadarma dan Mr Pringgodigdo di pesanggrahan puncak gunung Menumbing. Adapun, Bung Karno, Haji Agus Salim, Mr Ali Sastroamidjojo serta Roem di pesanggrahan Perusahaan Timah di Muntok.
"Boleh dikatakan setiap hari kami menerima tamu yang menengok dan bertanya, apakah kami memerlukan sesuatu? Jangan dihitung juga jamuan makan siang atau malam, di mana kami diundang. Kalau tidak dibatasi oleh Bung Hatta, tiap hari kami makan di rumah orang, sedangkan di pesanggarahan terus disediakan makan," ungkap Roem.
Sebelum kesibukan diplomasi dimulai dengan adanya resolusi Dewan Keamanan, Roem mengungkap, kehidupan di pengasingan seperti istirahat di tempat tenang. Terutama Bung Karno yang pandai mengatur acara yang santai. Ia mengorganisasi gerak jalan anak-anak di Bangka, mengadakan ceramah, dan lain-lain.
"Pendeknya, kami sangat berterima kasih kepada rakyat di Bangka yang menjaga kami agar tidak kekurangan sesuatu apa. Dalam pertemuan-pertemuan dengan para bapak dan ibu, serta anak-anak, Bung Karno tidak lupa kegemarannya, menyanyi. Malah tiap kali ia mandi, kami mendengar suaranya yang ia lepaskan dengan bebas. Saya pernah membaca bahwa demikian itu sehat," kenang Roem.
Salah satu nyanyian Bung Karno yang diterekam di ingatan Roem adalah sebuah lagu berjudul "One Day When We Were Young" gubahan Johann Strauss:
One day when we were young
That wonderful morning in May
You told me you loved me
When we were young one day
Sweet songs of spring were sung
And music was never so gay
You told me you loved me
When we were young one day
You told me you loved me
And held me close to your heart
We laughed then, we cried then
Then came the ti-ime to part
When songs of spring are sung
Remember that morning in May
Remember you loved me
When we were young one day.
Kemenangan dari Bangka
Pada permulaan Januari 1949, para tahanan di Bangka mendapat kunjungan Komisaris Van de Kroon Brouwer, yang berdomisili di Medan. Saat itu, ia memberitahukan sikap Belanda bahwa Republik sudah berhenti eksistensinya.
Saat yang sama, Dewan Keamanan PBB, yang sebelum hari Natal bersidang di Paris, telah mengambil resolusi berisi perintah agar pemimpin-pemimpin Republik dibebaskan dari tahanan.
Pada kesempatan pertama Panitia Jasa-Jasa Baik dari PBB berkunjung ke Menumbing, mereka melihat para tahanan masih dikurung dalam ruangan terbatas 4x6 meter. Sekembalinya dari Jakarta, mereka langsung membuat laporan pendek yang dikirimkan ke Markas Besar PBB di New York.
Dalam waktu beberapa jam, laporan itu sudah diketahui seluruh dunia. Terkejutlah dunia karena karena Belanda memberi kesan bahwa resolusi untuk membebaskan para tahanan di Bangka itu telah dilaksanakan. Dr Van Roijen yang pada waktu itu juru bicara Belanda di PBB langsung meminta maaf dan mengatakan bahwa terhadap yang bertanggung jawab akan diambil tindakan.
Dalam buku tentang Bangka ada kalimat yang berbunyi: "Dari Bangka datangnya kemenangan", sebagai salinan peribahasa Belanda: "Van Bangka begint de victorie".
"Hal itu memang ada benarnya, apabila kita melihat perjuangan secara keseluruhan. Memang pada saat Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta di Bangka itu, berlangsunglah saat di mana roda sejarah berganti, yang bawah berputar ke atas. Tapi jangan lupa bahwa saat itu Bapak Sjafrudin meneruskan perjuangan sebagai perdana menteri Pemerintah Darurat, sementara para gerilyawan tetap meneruskan perjuangannya," beber Roem.
Keamanan PBB dinilainya juga mempunyai peranan dalam berputarnya roda sejarah itu. Resolusi Dewan Keamanan 29 Januari 1949 yang disusul dengan resolusi 23 Maret 1949, dilaksanakan dengan perundingan yang dimulai 14 April dan berakhir 7 Mei 1949 dengan Statement Van Roijen-Roem, yang menjadi jembatan ikut sertanya republik dan Konperensi Meja Bundar di Den Haaq, dari 23 Agustus 1949 sampai 2 November 1949. Penyerahan dan pengakuan kedaulatan berlangsung pada 27 Desember 1949.
Karena itu, kebetulan juga dalam dua tingkat, yaitu pada 30 Juni 1949 kembalilah ke daerah Yogyakarta, dan pada 27 Desember 1949 kembalilah ke seluruh daerah Republik Indonesia (bekas Hindia Belanda). Dalam hal ini perjuangan Irian Barat merupakan bagian tersendiri.
"Meskipun merupakan sesuatu keberhasilan yang menggembirakan dalam perjuangan, waktu kami pulang pada 6 Juli ke Yogyakarta, saya tidak dapat menekan rasa haru dan sedih karena harus berpisah dari rakyat Bangka yang selama ini memelihara kami dengan sangat sempurna," ucap Roem.
Saksikan video menarik di bawah ini:
Advertisement