HEADLINE: Teror Charlottesville dan Neo-Nazi di Belakang Trump

Bentrokan berdarah antara kelompok supremasi kulit putih dan penentangnya pecah di AS. Presiden Trump mengecam setengah hati. Kenapa?

oleh Khairisa Ferida diperbarui 15 Agu 2017, 00:00 WIB
Aksi menentang kelompok neo-Nazi yang digelar di Harrisonburg, Virginia, AS (Stephen Swofford/Daily News-Record via AP)

Liputan6.com, Washington, DC - Saat Barack Obama terpilih jadi Presiden Amerika Serikat, orang mengira isu rasisme di Negeri Paman Sam adalah cerita masa lalu. Namun, ini yang terlihat di Charlottesville, Virginia, Amerika Serikat, Sabtu kemarin, 12 Agustus 2017: bendera Konfederasi dikibarkan, salut ala Nazi dipertontonkan, simbol Ku Klux Klan dan kelompok ekstrem kanan berseliweran di sana sini.

Di hari itu, segerombolan orang berkumpul di Emancipation Park untuk menggelar aksi "Unite the Right". Mereka memprotes keputusan pemerintah kota menurunkan patung Robert E Lee di Charlottesville. Lee merupakan komandan tentara Konfederasi Amerika pada masa Perang Sipil AS (1861-1865).

Al Jazeera menyebut "Unite the Right" ini sebagai aksi supremasi kulit putih terbesar sepanjang sejarah AS. Penggerak aksi ini adalah Jason Kessler, mantan jurnalis dan anggota kelompok ultranasionalis Proud Boys.

Aksi kelompok rasis itu mengundang demonstrasi tandingan. Di seberang barikade besi, berkerumun kelompok anti-fasis yang menentang mereka.

"Kalian akan dilempar ke api neraka!" teriak salah satu pendukung supremasi kulit putih, seperti diberitakan BBC, Senin (14/8/2017).

Makian itu disemburkan pada seorang gadis kulit putih yang tengah bergandengan tangan dengan temannya, seorang keturunan Afrika.

Tak lama kemudian, adu mulut pecah jadi bentrokan. Pada pukul 11.28 waktu setempat, status darurat diumumkan. Sekitar sejam kemudian, korban jiwa jatuh.

Bentrokan antar demonstran di Charlottesville, Virginia, Amerika Serikat (AP)

Saat jarum jam menunjuk pukul 12.42, sebuah mobil yang melaju kencang ditabrakkan ke arah demonstran penentang kelompok supremasi kulit putih. Satu orang tewas dan 15 lainnya terluka.

Pelakunya sempat kabur sebelum dibekuk aparat. James Alex Fields, Jr (20), sang pelaku, adalah seorang pendukung kelompok neo-Nazi.

Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang sedang liburan di klub golfnya di New Jersey segera merespons insiden itu. "Kami mengutuk sangat keras aksi yang menghasut kebencian, kefanatikan, dan kekerasan, dalam berbagai sisi..."

Namun--sebagaimana kemudian dikritik banyak kalangan--Trump sama sekali tidak mengecam soal rasisme, paham supremasi kulit putih, atau Ku Klux Klan yang kental menyelimuti aksi itu. 

Miliarder itu bahkan mengesankan apa yang terjadi di Charlottesville adalah hal yang lumrah. "Ini sudah lama terjadi di negara kita. Bukan era Donald Trump, bukan pula era Barack Obama. Ini sudah berlangsung sejak lama sekali."

Sikap yang jauh lebih "berani" justru ditunjukkan oleh putri kesayangannya, Ivanka. Perempuan yang menjabat sebagai penasihat senior Presiden Trump itu berkicau di Twitter, "Tidak ada tempat bagi rasisme, supremasi kulit putih, dan neo-Nazi di tengah masyarakat kita."

Mayoritas publik Amerika tidak puas atas reaksi sang presiden, termasuk para kolega Trump di Partai Republik.

"Presiden, kita harus menyebut aksi kejahatan itu secara terang benderang. Mereka adalah kaum supremasi kulit putih dan aksi itu adalah terorisme domestik," kata Senator Partai Republik, Cory Gardner, dengan nada keras. 

Senator lain, Marco Rubio, "menampar" Trump dengan kicauannya, "Sangat penting bagi bangsa ini untuk mendengar @Potus (Presiden AS) mendeskripsikan peristiwa di #Charlottesville secara apa adanya, yakni aksi teror oleh kelompok #supremasikulitputih."

Barack Obama, presiden pendahulu Trump, bereaksi dengan mengutip pernyataan Nelson Mandela, "Tidak seorang pun dilahirkan untuk membenci orang lain karena warna kulit, latar belakang atau agamanya. Orang harus belajar untuk membenci, dan dengan itu mereka bisa belajar untuk mencintai. Karena cinta datang lebih alami ke hati manusia dibanding sebaliknya."

Kecaman setengah hati Presiden Trump ini dinilai banyak analis terkait dengan kenyataan bahwa kaum pembela supremasi kulit putih memang merupakan salah satu basis elektoral penting Trump pada pemilu lalu. 

Simak saja bagaimana The Daily Stormer, sebuah surat kabar pendukung supremasi kulit putih malah memuji-muji sang presiden. "Komentar Trump bagus. Dia tidak menyerang kita. Dia hanya mengatakan bahwa negara harus bersatu. Tidak ada yang secara spesifik menyerang kita."

Mantan pemimpin Ku Klux Klan David Duke menolak pernyataan Trump dan meminta Presiden AS itu mengingat jasa warga kulit putih yang memenangkannya (Shaban Athuman/Richmond Times-Dispatch via AP)

Mantan pemimpin Klu Klux Klan, David Duke, bahkan mengingatkan Trump, "Ambillah cermin dan ingat, warga kulit putih Amerika-lah yang menempatkan kau di kursi presiden, bukan kaum kiri radikal."

Di Twitter, Duke mencuit, "Jadi, setelah beberapa dekade orang kulit putih AS menjadi sasaran kebencian dan diskriminasi, sekarang saat kami berkumpul sebagai rakyat, kalian lalu menyerang kami?"

Insiden berdarah dan kaitan yang makin terang-terangan antara Trump dengan kaum rasis itu membuat tekanan publik kian memuncak. Akhirnya, para pembantu Trump pun merilis pernyataan keras.

Penasihat Keamanan Nasional Kepresidenan Amerika Serikat, HR McMaster, menyatakan insiden di Charlottesville itu sebagai aksi terorisme. "Serangan yang tujuannya untuk membuat takut orang itu adalah tindakan terorisme. Aksi penabrakan itu masuk kategori terorisme domestik," kata McMaster, seperti dikutip Sky News.

Seorang juru bicara Gedung Putih yang tidak disebutkan namanya merilis pernyataan bahwa Presiden "mengecam segala bentuk kekerasan, fanatisme dan kebencian, dan tentu saja termasuk kelompok supremasi kulit putih, KKK, neo-Nazi dan semua kelompok ekstremis."


Kala Neo-Nazi Merayakan Terpilihnya Trump

"Hail Trump, hail our people, hail victory!"

Begitulah seruan Richard B Spencer menyambut kemenangan Donald Trump dalam pemilu presiden Amerika Serikat 2016 lalu. Saat itu, ia bicara di hadapan 200 orang yang berkumpul di konferensi tahunan National Policy Institute di Ronald Reagan Building, Washington, pada November 2016.

Spencer adalah Presiden National Policy Institute, sebuah think thank pendukung paham supremasi kulit putih yang berbasis di Alexandria, Virginia. Pria berusia 39 tahun itu mempopulerkan istilah "alt-right" untuk menggambarkan gerakan yang dipimpinnya.

Mimpi Spencer adalah "sebuah masyarakat baru, sebuah negara yang akan menjadi titik temu bagi seluruh orang Eropa. Ia juga menyerukan aksi "pembersihan etnis secara damai".

Dalam kesempatan yang sama, Spencer menyebut media arus-utama sebagai "Lügenpresse". Istilah itu ia pinjam dari bahasa Jerman yang jika diterjemahkan berarti "pers tukang bohong".

Sebagai catatan, Nazi menggunakan kata "Lügenpresse" untuk menyerang semua kritik media terhadap mereka.

"Amerika sampai generasi terakhir adalah negeri kulit putih yang dirancang untuk kita dan keturunan kita. Ini karya kita, ini warisan kita, dan ini milik kita," ujar Spencer seperti dikutip The Atlantic.

Pidato itu disambut hadirin dengan gemuruh sorak-sorai, tepuk tangan, dan hormat ala Nazi.

Terpilihnya Trump sebagai presiden AS juga disambut girang gerakan neo-Nazi yang paling menonjol di Yunani. Mereka mengatakan, naiknya Trump ke pucuk Negara Adikuasa mendatangkan gelora baru. Kebijakan Trump yang melarang warga dari sejumlah negara muslim masuk AS, dianggap sebagai validasi atas pandangan mereka. Ribuan orang yang merupakan pendukung Partai Golden Dawn turun ke jalan, mendesak pemerintah Yunani menerapkan aturan serupa.

"Kebijakan Trump memberi kami angin segar. Itu mengesahkan dan memperkuat kebijakan nasionalis dan patriotis kami--kebijakan yang telah kami usung selama bertahun-tahun," ungkap Elias Panagiotaros, pemimpin partai sayap kanan kepada The Independent.

"Kita harus mengikuti langkah Trump. Kita tidak seharusnya menjadikan Yunani lapangan terbuka bagi imigran untuk datang dan pergi semau mereka. Kita harus merebut kembali negara kita dan kepentingan kita serta menempatkannya sebagai prioritas utama-- seperti yang dilakukan Trump."

Neo-Nazi di Amerika

Di Negeri Paman Sam terdapat sejumlah kelompok neo-Nazi. Seperti dilansir Wikipedia, National Socialist Movement (NSM) dengan sekitar 400 anggota di 32 negara bagian, saat ini tercatat merupakan organisasi neo-Nazi terbesar dan paling aktif di AS.

NSM dibentuk pada 1974 oleh Robert Brannen dan Cliff Herrington. Keduanya adalah mantan anggota American Nazi Party (ANP) sebelum organisasi ini dibubarkan pada 1983.

Selain NSM, ada pula National States' Rights Party yang didirikan oleh Edward Reed Fields and JB Stoner pada 1958. Sejumlah organisasi lain yang juga dilaporkan menjalankan aktivitas neo-Nazi di antaranya adalah Anti-Defamation League dan the Southern Poverty Law Center.

Donald Trump mengucapkan sumpah saat dilantik menjadi Presiden AS di Capitol Hill, Washington DC, AS, Jumat (20/1). Donald Trump kini resmi menjadi Presiden AS ke-45 (AP Photo)

Di hari pelantikannya pada 20 Januari 2017, Trump menggaungkan sikap nasionalisnya dengan lantang, "Sejak hari ini, sebuah visi baru akan mengatur tanah kita. Mulai hari ini, Amerika akan menjadi yang pertama (America First)."

Ia menambahkan, "Setiap keputusan mengenai perdagangan, pajak, imigrasi, urusan luar negeri akan dibuat untuk menguntungkan pekerja dan keluarga Amerika. Kita harus melindungi perbatasan kita dari pengaruh negatif negara lain terhadap produk kita, perusahaan-perusahaan kita, dan lapangan pekerjaan kita..."

Entah kebetulan entah tidak, "America First" yang berulang-ulang disebutnya adalah nama organisasi anti-semitisme yang pada 1940-an mendesak pemerintah AS untuk merundingkan kesepakatan damai dengan Adolf Hitler. (kd)

Saksikan video menarik berikut:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya