Liputan6.com, Manado - Perawakannya kecil, kurang begitu meyakinkan sebagai seorang bekas tentara rakyat. Tapi jika menyentil soal perang kemerdekaan, Robby H. Lapian begitu berapi-api. Di usianya yang memasuki 90 tahun, Opa Robby, sapaan akrabnya, bahkan masih bisa mengikuti upacara bendera.
"Tadi pagi saya diberi bintang kehormatan ini, saat upacara bendera," ujar Robby, saat ditemui di Markas Daerah (Mada) Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Provinsi Sulut, Senin siang, 14 Agustus 2017.
Penghargaan itu diberikan atas pengabdiannya pada bangsa dan negara, sekaligus 50 tahun dia bergabung bersama LVRI. "Senang sekali saya mendapat bintang kehormatan ini," kata Robby yang lahir di Kawangkoan, 14 September 1927.
Opa Robby merupakan pejuang yang ikut berperang di dua era, yakni saat merebut kekuasaan pemerintahan Belanda di Manado pada 14 Februari 1946 yang kemudian dikenal dengan peristiwa Merah Putih.
"Waktu itu Indonesia sudah merdeka, tapi Belanda belum mau angkat kaki dari Manado. Kita bujuk beberapa tentara KNIL yang orang Indonesia, untuk bergabung menyerbu markas Belanda di Teling Manado," tutur Robby.
Baca Juga
Advertisement
Para pemuda tergabung dalam pasukan KNIL Kompeni VII bersama laskar rakyat dari barisan pejuang merebut kekuasaan pemerintahan di Manado, Tomohon, dan Minahasa. Sekitar 600 orang pasukan dan pejabat Belanda berhasil ditahan.
Pada 16 Februari 1946, mereka mengeluarkan selebaran yang menyatakan bahwa kekuasaan di seluruh Manado telah berada di tangan Republik Indonesia.
"Memang tidak lama pertempuran waktu itu, tapi kita harus tetap waspada. Karena kalau tidak, kita bisa tertembak," ujar laki-laki yang dikaruniai tiga orang anak itu.
Ikut bertempur sejak usia 20-an, yang ada di benak seorang Robby muda adalah mengangkat senjata, menjaga diri, atau tewas tertembak.
"Tidak ada di pikiran sebagai pemuda untuk melihat gadis-gadis atau pacaran. Tidak waktu untuk pikirkan cinta," ujar Robby.
Selepas perang kemerdekaan melawan Belanda, ia melanjutkan perjuangan dengan bergabung dalam kelompok Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) yang bergelora di wilayah Sulawesi, termasuk Manado dan sekitarnya.
"Permesta ini bukan pemberontakan, tapi perjuangan menuntut keadilan antara pemerintah pusat, dan daerah. Kami berada di barisan pasukan Permesta," ujar Robby.
Permesta adalah sebuah gerakan militer di Indonesia. Gerakan itu dideklarasikan oleh pemimpin sipil dan militer Indonesia bagian timur pada 2 Maret 1957 bernama Letkol Ventje Sumual.
Jika perang sebelumnya melawan penjajahan Belanda, kali ini Robby dan kawan-kawan menghadapi tentara dari pusat. "Saya ditugaskan sebagai pasukan khusus inetelejen. Yang bertugas mengawasi wilayah Manado, Minahasa," kata dia.
Selama peristiwa Permesta, Robby keluar masuk hutan. "Waktu itu memang masih bujang, sehingga bisa bebas bergerak. Belum ada pikiran kawin," ucapnya.
Pada awal 1960-an, saat situasi negara kembali kondusif, Robby meletakkan senjata. Dia melanjutkan kuliah di Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLP). Setelah tamat, dia mulai bekerja sebagai guru dari kampung ke kampung di Minahasa.
"Dari Kawangkoan, Sonder, Remboken, hingga Tondano," ujar Robby.
Perang sudah usai, Robby tidak lagi memikirkan angkat senjata. Ia mulai mencari pendamping hidupnya. "Nah saat menjadi guru ini, saya mulai pacaran. Hampir di setiap kampung yang saya singgahi," ujar Robby malu-malu.
Akhirnya di Tondano, Robby meminang gadis pujaannya. "Saya bertugas paling lama di Tondano, di situ saya akhirnya menikah," ujar dia.
Di usianya yang kian senja, Robby mengisi waktu bersama para veteran lainnya di Mada LVRI. Ia juga mendapat tunjangan dari pemerintah sebesar Rp 3 juta, dan uang kehormatan sebesar Rp 750 ribu per bulan.
"Kalau tunjangan itu tidak tetap diberikan, kan bukan gaji yang rutin," ujar Robby.
Sore itu, Robby meninggalkan Mada LVRI Sulut untuk kembali ke rumahnya. Jalannya masih tegap, lengkap dengan sepatu lars dan baju celana berwarna hijau. "Saya biasa pulang balik rumah naik angkot sendiri," ujar dia.
Saksikan video menarik di bawah ini: