Dr Johannes, Ahli Radiologi Pertama yang Hampir Dibajak Belanda

Prof Dr WZ Johannes, ahli radiologi pertama di Indonesia yang hampir dibajak Belanda.

oleh Bella Jufita Putri diperbarui 16 Agu 2017, 07:00 WIB
Dr Johannes, Ahli Radiologi Pertama yang Hampir Dibajak Belanda

Liputan6.com, Jakarta Setelah dokter spesialis bedah, Soeharso, dalam edisi Dokter Pejuang Kemerdekaan kali ini Rabu (16/8/2017) Health-Liputan6.com akan mengingatkan kembali tentang salah satu tokoh penting di masa penjajahan Belanda, yaitu Prof Dr Wilhelmus Zakarias Johannes.

Tak ada yang menyangka seorang pria yang lahir dari keluarga biasa ini akan dikenal dan tercatat dalam sejarah Indonesia. Pria sederhana ini namanya dikenang sebagai dokter ahli radiologi pertama di Indonesia, Wilhelmus Zakarias Johannes.

Pria yang lahir di kepulauan Rote, Nusa Tenggara Timur, pada 1895 merupakan putra dari seorang guru bantu di sekolah dasar di Rote yang juga merangkap sebagai pengurus gereja. Johannes, begitu ia dipanggil, mendapat kesempatan untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi, berkat bantuan kepala sekolah di mana ayahnya bekerja.

Bersama adik ipar Dr Johannes, kepala sekolah SD di desanya itu mengirim sebuah surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan memohon agar Johannes diizinkan mengemban pendidikan di Europese Lagere School (ELS) di Kupang. Tak sia-sia, permohonan itu menjadi gerbang pertama Yohannes sebelum menerima gelar doktor radiologi.

Masa pendidikannya di ELS terbilang singkat dan ia langsung diterbangkan ke Jakarta untuk menempuh pendidikan selanjutnya di STOVIA. Masa pendidikan yang seharusnya ditempuh selama sembilan tahun, dapat diselesaikannya dalam waktu delapan tahun saja. Pada 1920, tepat pada usia ke-25 Johannes sudah berhasil menggondol gelar dokter.

Seusai dari STOVIA, Dr Johannes diangkat sebagai dokter di rumah sakit Bengkulu, sampai 1930 ia berkeliling mengabdi di berbagai rumah sakit di Bengkulu, Kayuagung, Sumatera Selatan, dan Palembang. Sayang, saat bertugas di Palembang, ia mengalami musibah. Yohannes diserang penyakit lumpuh dan ia segera dikembalikan ke Jakarta untuk mendapat perawatan khusus di CBZ (sekarang Rumah Sakit Umum Pusat dr Cipto Mangunkusumo).

Selama satu tahun lamanya ia dirawat, Yohannes tidak terpuruk begitu saja. Ia terus optimis untuk sembuh dan mengisi waktu dengan membaca beragam buku dan mendalami ilmu tentang rontgen. Sebab, kala itu pengobatan rontgen belum secanggih seperti sekarang ini. Dengan keyakinan yang besar, Johannes percaya bahwa semua penyakit kelumpuhan seperti yang melanda dirinya dapat disembuhkan dengan cara rontgen.

Meski ia harus sembuh dengan kondisi kaki kanan yang tetap pincang, namun Johannes mampu beraktivitas normal kembali dan berhasil mengembangkan keilmuannya terhadap rontgen. Ia pun akhirnya diangkat sebagai Asisten Ahli dalam bidang rontgen dan radiologi di CBZ Jakarta.

Pada Juni 1935, ia dipindahkan ke Rumah Sakit Umum Pusat di Semarang (sekarang Rumah Sakit Dr. Karyadi) dan ia mengembangkan kembali ilmu rontgen. Setahun kemudian ia dipindahkan kembali ke Jakarta dan diangkat sebagai Kepala Bagian Rontgen CBZ.


Hampir dibajak Belanda

Dr Johannes tak saja meninggalkan kebaikan dalam ilmu kedokteran saja, seperti lulusan STOVIA lainnya, ia juga terjun ke dalam kegiatan pergerakan nasional. Sebagai seorang penganut agama Kristen Protestan, Dr Johannes bergabung bersama organisasi keagamaan. Pada 1929, golongan Kristen Protestan mendirikan organisasi yang disebut Perserikatan Kaum Kristen (PKK), walaupun organisasi ini mengutamakan dasar kekristenan, tetapi ia juga bekerjasama dengan organisasi-organisasi lain.

Keanggotaan Dr Johannes dalam PKK membuat kegiatannya bertambah. Dari situ juga namanya semakin dikenal oleh masyarakat. Cacat tubuh tidak menjadi halangan baginya untuk mengabdi kepada kepentingan masyarakat dan kemanusiaan. Pada 1939 masyarakat Karesidenan Timor (Timor, Flores, Sumba dan Sumbawa) mencalonkan Dr Johannes sebagai wakil mereka dalam Volksraad (Dewan Rakyat), namun pencalonannya itu ditolak oleh pemerintah. 

Namun, tiga tahun kemudian ia terpilih menjadi anggota Badan Pengurus Organisasi Penolong Ambon-Timur bersama dr. Kayadu dan Mr. Latuharhary. Di tahun yang sama, bersama dr. Sitanala, Dr. Sam Ratulangi, Mr. Amir Syarifuddin, Mr. Rufinus Tobing, Ds. B. Probowinoto, Asa, dan lain-lain ia turut mendirikan Badan Persiapan Persatuan Kristen (BPPK). Badan inilah yang kelak menjelma menjadi Partai Kristen Indonesia (Parkindo).

Parkindo lahir pada tanggal 6 November 1945 setelah diadakan rapat umat Kristen di Balai Pertemuan /Kristen di Jakarta. Rapat itu membicarakan kemungkinan didirikannya sebuah partai, dan 12 hari kemudian berdirilah Partai Kristen Nasional (PKN). Disana Dr Johannes diangkat sebagai ketua. Namun, tak lama setelah kongres pertama di Surabaya, nama partai itu diubah menjadi Partai Kristen Indonesia, yang diketuai oleh Ds. B. Probowinoto, sedangkan Dr Johannes menduduki jabatan wakil ketua.

Dr Johannes menjadi orang yang cukup berpengaruh di partai tersebut. Selain Parkindo, dibentuk juga organisasi perjuangan, yakni Gerakan Rakyat Indonesia Sunda Kecil (GRISK), yang berujuan untuk menggalang persatuan penduduk Sunda Kecil dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Rumah Dr Johannes yang bertempat di Jalan Kramat Raya 51 Jakarta, menjadi kantor pusat GRISK dan sekaligus menjadi markas persembunyian para pemuda pejuang daerah Kramat Pulo. Karena itu rumah Dr Johannes tidak luput dari incaran musuh. Beberapa kali ia terpaksa berhadapan dengan serdadu Belanda dan Gurkha.

Bahkan pada Hari Natal 1945, sepasukan serdadu Gurkha datang ke rumahnya dalam keadaan siap tempur. Mereka mencari pemuda-pemuda yang sering mengganggu patroli Gurkha. Kala itu Dr Johannes diperintah keluar dari rumah, tetapi ia mengabaikan dan komandan pasukan Gurkha mengambil tindakan kekerasan.

Dr Johannes digiring ke pos Gurkha. Selama empat jam ia dihukum dan jongkok. Hukuman itu cukup berat bagi seorang yang kakinya pincang. Tetapi Dr Johannes tidak mengeluh dan setelah hukuman itu berakhir, ia langsung berangkat ke rumah sakit melaksanakan tugasnya.

Sementara, Belanda juga cukup mengenali kemampuan Dr Johannes sebagai dokter yang memiliki pengaruh amat besar terhadap karyawan-karyawan di CBZ. Tak jarang Belanda berusaha menarik Dr Johannes berpihak kepada mereka. Bahkan, Belanda sengaja mendatangkan Prof. Van der Plaats, bekas guru besar Dr Johannes, dan menawarkan pangkat yang lebih tinggi dan gaji yang besar jika Dr Johannes bersedia bekerjasama dengan Belanda.

Dr Johannes menolak, malahan secara terang-terangan ia mengajak rekan-rekannya agar berjuang untuk kepentingan RI.


Meninggal di Belanda

Sebelum tutup hayat, Pada April 1952, Dr Johannes berangkat ke Belanda untuk mempelajari perkembangan rontgen dan organisasi Rumah Sakit di Negeri Belanda, Swiss, Perancis, Jerman Barat, Inggris dan negara-negara Skandinavia serta Timur Tengah dan Asia Tenggara selama lima bulan.

Namun, ia berangkat dalam kondisi kurang sehat. Selain pincang, Dr Johannes juga menderita penyakit jantung. Di tengah menjalankan tugas di Rumah Sakit Bronovo, Den Haag, Belanda, ia terkena serangan jantung dan ia meninggal dalam perjalanan dari rumah menuju ke Rumah Sakit pada 4 September 1952.

Jenazahnya diistirahatkan selama satu bulan di Den Haag dan kemudian diangkut dengan kapal Mojokerto dari Rotterdam ke Jakarta.

Jenazahnya lalu dikebumikan di makam Jati Petamburan, Jakarta. Hingga wafatnya Prof. Dr. W.Z. Johannes tidak pernah menikah. Meski ia pernah menjalin cinta dengan Roos van Tjaarden, seorang wanita Belanda, sayangnya sang ibu dokter Johannes, tidak menyetujui perkawinannya dengan wanita asing dikutip dari Pahlawan Center, Rabu (16/8/2017).

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya