Liputan6.com, Jayapura - Serda Angga, prajurit TNI dari Satgas Yonif Raider 700/WYC Makassar, Sulawesi Selatan, berjalan tertatih. Ia menyusuri hutan-hutan Papua, yang terdapat di pedalaman, tepatnya di Kabupaten Pegunungan Bintang.
Baca Juga
Advertisement
Perjalanan Serda Angga bersama 20 prajurit lainnya harus dilakukan 12 hari berjalan kaki, menyusuri gunung yang terjal, sungai yang airnya deras hingga lebatnya hutan Papua.
Perjalanan itu bukan untuk berwisata. Namun, mengecek keberadaan patok perbatasan yang terletak di perbatasan Indonesia dan Papua Nugini yang terletak di Papua bagian utara atau tepatnya di Kabupaten Pegunungan Bintang.
Kerja keras prajurit Satgas 700/WYC tak sia-sia. Sejak patok perbatasan di dua negara itu dibangun pada 1986, ada enam buah patok perbatasan yang selama 30 tahun tak pernah terpantau tim patroli.
Dari enam patok yang tak pernah ditemukan, akhirnya prajurit TNI dari Satgas Yonif Raider 700/WYC itu menemukan lima patok, yakni di mm 5.0 dan 5.1 di Pos Tatakra daerah Kabupaten Keerom dan patok 6.3, 7.1 dan 7.2 di Kabupaten Pegunungan Bintang.
"Ini sebuah kebanggaan dan prestasi tersendiri bagi kami," kata Pasi Intel Satgas Yonif Raider 700/WYC, Kapten Inf Iwan Sunarya, Selasa, 15 Agustus 2017.
Saksikan video menarik di bawah ini:
Ekstremnya Hutan Papua
Tak ada kata lelah yang dihadapi prajurit TNI yang bertugas di pedalaman Papua. Hutan Papua menjadi tantangan tersendiri bagi setiap prajurit, termasuk bagi prajurit Satgas 700/WYC yang selalu mengedepankan keikhlasan dan hati yang tulus, di manapun ditempatkan dalam bertugas.
Apalagi, Panglima Kodam XIV/Hasanuddin, Mayjen TNI Agus Surya Bhakti selalu memberikan motivasi kepada prajuritnya untuk selalu menjadi prajurit yang berani atau balla a tao baraniya dalam bahasa Suku Bugis yang berarti rumahnya orang-orang pemberani.
Pesan Panglima Hasanuddin yang selalu terpatri di hati prajurit adalah di manapun ditempatkan, harus menjadi prajurit yang pemberani dan dekat dengan masyarakat di perbatasan.
"Kami pun akhirnya cepat beradaptasi dengan masyarakat di perbatasan. Bahkan, kami saling membantu dalam segala kesulitan dan kebaikan," kata Iwan dan prajurit lainnya yang selalu mengingat pesan atasannya.
Bertugas di pedalaman Papua, hanya ada satu transportasi. Jika tak menggunakan pesawat terbang, transportasi lain yang digunakan adalah helikopter dan alternatif terakhir yang dilakukan adalah berjalan kaki.
"Akses jalan di sana (pedalaman) belum ada. Dari satu pos pengamanan ke pos lainnya, kadang ditempuh dengan jalan kaki atau menggunakan helikopter," Iwan menjelaskan.
Tak jarang, prajurit TNI di tengah hutan Papua harus bertahan dengan perut kosong. Kasus ini bisa terjadi, jika persediaan bahan makanan yang dibawa sudah menipis.
"Kadang, kami mengurangi jatah makan kami masing-masing, agar kami bisa bertahan hingga kembali ke pos jaga," ujarnya.
Advertisement
Malaria yang Menakutkan
Prajurit TNI yang bertugas di Papua tak hanya berhadapan dengan kesulitan geografis dan alam Papua, tapi juga harus berhadapan dengan nyamuk malaria atau dalam bahasa Latin anopheles.
Data dari Rumah Sakit TNI AD Marthen Indey Jayapura menyebutkan, jumlah prajurit TNI yang terserang malaria sepanjang 2016, berjumlah 1.079 pasien. Sementara pada Januari-Juni 2017 mencapai 672 pasien yang dirawat
Kepala Rumah Sakit TNI AD Marthen Indey, Kolonel CKM dr Wahyu Triyanto menuturkan sebagian prajurit yang terkena malaria adalah prajurit dari luar Papua, karena prajurit tersebut tak memiliki kekebalan malaria.
"Rata-rata prajurit terserang malaria faliciparum. Malaria ini termasuk malaria berbahaya, karena bisa menyerang otak dan menyebabkan kematian," ujarnya, Selasa 15 Agustus 2017.
Hingga kurun waktu 2016-Juni 2017, prajurit TNI yang meninggal dunia akibat malaria berjumlah dua orang.
Daerah Endemis
Dari catatan Rumah Sakit Marthen Indey, rata-rata prajurit dari luar Papua terkena malaria pada minggu ke-3 setelah berada di Papua. Kadang, tim medis kewalahan, karena pasien yang datang hampir seperti wabah.
"Daerah tertinggi endemis malaria terdapat di Jayapura, Keerom, Fakfak dan Bintuni," ucapnya.
Pasi Intel Satgas Yonif Raider 700/WYC, Kapten Inf Iwan Sunarya mengaku selama 10 bulan bertugas di Papua, ada 40 orang dari 450 prajuritnya terserang malaria. Dari jumlah tersebut, 20 orang prajurit harus dirujuk ke rumah sakit setempat.
Padahal, upaya pencegahan malaria kepada prajurit Satgas 700/WYC terus dilakukan, misalnya secara rutin melakukan olahraga, patroli bahkan berkebun, sehingga darah prajurit selalu panas dan malaria sulit berkembang dalam di tubuh prajurit.
Namun, karena kondisi tubuh prajurit tidak stabil, maka ada saja prajurit yang kena malaria.
"Serda Angga salah satunya, pulang dari cek patok 7.2 di Pegunungan Bintang, Angga terserang malaria dan harus dirujuk ke rumah sakit Marthen Indey," Iwan menutup perbincangan dengan Liputan6.com.
Advertisement