Liputan6.com, Malang Sepekan sudah Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK di Kota Malang, Jawa Timur, bekerja secara maraton. Mulai dari menggeledah kantor wali kota maupun memeriksa sejumlah pejabat pemkot dan anggota DPRD Kota Malang.
Rombongan penyidik KPK di Kota Malang tiba sejak 9 Agustus dan langsung menggeledah ruang kerja Wali Kota Malang, M Anton dan pejabat lainnya. Gedung DPRD Kota Malang pun tak luput jadi obyek penggeledahan. Ketua DPRD Kota Malang, M Arief Wicaksono ditetapkan sebagai tersangka.
Politisi PDI Perjuangan itu dugaan menerima hadiah terkait penganggaran kembali proyek Jembatan Kedungkandang. Kasus ini juga menyeret nama bekas Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan Pengawasan Bangunan (DPUPPB), Djarot Edy Sulistyono serta Komisaris PT ENK Hendarwan Maruszama sebagai tersangka.
Baca Juga
Advertisement
Anton juga dipanggil ke Jakarta untuk dimintai keterangan sebagai saksi oleh KPK pada Senin 14 Agustus. Sampai dengan Rabu 16 Agustus, sebanyak 23 anggota dewan, sejumlah pejabat pemkot dan swasta diperiksa sebagai saksi oleh KPK di aula Mapolres Malang Kota.
Kasus ini mencuat tepat dua bulan usai Kota Malang menerima opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait Laporan Keuangan Daerah tahun 2016. Itu adalah predikat WTP enam tahun berturut-turut yang diterima kota ini.
"Administrasi (laporan keuangan) kami baik, tak ada masalah. Kasus gratifikasi itu ulah oknum, saya tidak ikut – ikut,” kata Anton usai Sidang Paripurna di DPRD Kota Malang, Rabu (16/8/2017).
Politisi PKB ini mengaku mendapat sejumlah pertanyaan saat diperiksa sebagai saksi oleh KPK. Mulai tentang APBD 2015 dan 2016 Kota Malang sampai proyek pembangunan Jembatan Kedungkandang. Anggaran proyek jembatan itu yang membuat pimpinan dewan dan pejabat pemkot sebagai tersangka.
Catatan Liputan6.com, proyek pembangunan Jembatan Kedungkandang pertama kali muncul pada tahun 2012 era Wali Kota Malang, Peni Suparto. Proyek di bawah DPUPPB dianggarkan sebesar Rp 40 miliar dan dikerjakan PT Nugraha Adi Taruna (NAT) dengan pembayaran awal sebesar Rp 7 miliar.
Di tahun 2013 kembali dianggarkan sebesar Rp 48 miliar. Di tahun itu pula, pengerjaannya hanya sampai pemasangan rangka bangunan tiang pancang jembatan. Diduga ada kerugian uang negara sebesar Rp 9,7 miliar dan kemudian diselidiki oleh Polres Malang Kota. Tim audit independen didatangkan dari Universitas Airlangga sampai Institut Teknologi Bandung.
Tapi di APBD Kota Malang 2014, proyek dianggarkan lagi sebesar Rp 50 miliar tapi urung dikerjakan. Anggaran sekali lagi dimasukkan ke APBD 2015 dengan alokasi sebesar Rp 30 miliar. Lagi-lagi proyek gagal terealisasi. Penyebabnya, selama itu proses penyelidikan kepolisian maupun audit independen dua perguruan tinggi tak jelas hasilnya.
"Saat itu saya sampaikan, hati – hati perkara pembangunan Jembatan Kedungkandang karena masih proses hukum,” ucap Anton.
Ia menyebut anggaran tiap tahun diusulkan DPUPPB selain berdasarkan pandangan fraksi di dewan, didesak masyarakat. Wali Kota Malang periode 2013 – 2018 ini mengakui di tahun 2015 juga menerima surat permintaan percepatan pembangunan Jembatan Kedungkandang yang ditandatangani oleh Ketua DPRD Kota Malang, Arief Wicaksono.
“Tapi permintaan itu tidak saya disposisi. Pertimbangannya, karena ini belum selesai proses hukumnya di kepolisian,” tutur Anton.
Ia mengaku menandatangani APBD tiap tahunnya dalam sidang paripurna, tapi tidak tahu secara detil ada anggaran untuk pembangunan jembatan. Anton membantah ada suap selama pembahasan APBD Kota Malang ke anggota dewan untuk memuluskan anggaran.
“Tidak ada suap. Kebijakan saya uangnya jangan sampai keluar. Saya malah menyelamatkan anggaran itu,” papar Anton.
Aroma Korupsi Mega Proyek di Kota Malang
LSM Antikorupsi Malang Corruption Watch (MCW) menyebut Wali Kota Malang jadi penanggungjawab utama di balik sengkarut APBD Kota Malang. Sebab, kepala daerah menentukan lolos dan tidaknya anggaran di setiap dinas di tahap Kebijakan Umum APBD – Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA - PPAS) sebelum dilempar ke legislatif.
“Kepala daerah itu kuasa pengguna anggaran. Dalam kasus ini menunjukkan ada miss control oleh wali kota,” kata Koordinator Badan Pekerja MCW, Fachrudin.
MCW menyebut ada aroma korupsi di sejumlah mega proyek di Kota Malang. Selain proyek Jembatan Kedungkandang, juga ada dugaan mark up pengadaan lahan pembangunan RSUD Kota Malang di tahun 2010 – 2013 dengan potensi kerugian negara sebesar Rp 4,3 miliar.
Kasus berikutnya, dugaan suap 1% APBD 2015 Kota Malang dengan potensi kerugian sebesar Rp 8 miliar. Modusnya, penyuapan oleh Pemkot Malang ke DPRD Kota Malang agar menyetujui APBD itu berupa fee 1% dari total anggaran di setiap dinas.
“Kami sudah laporkan kasus proyek jembatan, mark up lahan RSUD dan suap APBD itu ke KPK,” ucap Fachrudin.
Satu kasus lagi berupa dugaan korupsi proyek drainase system jacking di Jalan Bondowoso tahun anggaran 2013 sebesar Rp 40 miliar. Proyek di bawah DPUPPB itu diduga anggaran siluman, lantaran tak pernah dibahas di KUA-PPAS tapi tiba-tiba muncul di APBD. Proyek yang dikerjakan oleh PT Citra Gading Asritama (CGA) ini kemudian bermasalah.
“Proyek itu sudah lama kami laporkan ke kejaksaan, tapi tak ada respon. KPK juga harus menelusuri rencana proyek tahun jamak pembangunan Islamic Center dengan anggaran Rp 450 miliar,” papar Fachrudin.
Berbagai dugaan kasus korupsi itu menjadi indikasi pengelolaan keuangan di internal Pemkot Malang amburadul. Opini WTP hasil audit BPK terhadap laporan keuangan Pemkot Malang selama enam tahun beruntun pun tak menjamin administrasi keuangan pemkot berjalan benar di lapangan.
"Status WTP itu kan ada indikasi status yang bisa diperjualbelikan. Fakta sebenarnya, pengelolaan keuangan pemkot tidak beres,” tegas Fachrudin.
Ketua Program Studi Pasca Sarjana Akuntasi Universitas Negeri Malang, Puji Handayani mengatakan, standar operasional prosedur (SOP) penyusunan dan pelaporan anggaran pemerintahan daerah secara administrasi umumnya cukup baik.
"Secara fisik dokumen bagus secara akuntansi, tapi yang banyak terjadi itu tak menggambarkan substansinya. Praktik mark up anggaran masih banyak terjadi," ujar Puji.
Ketua Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Komisariat Daerah Malang Raya ini menambahkan, Pemkot Malang sebenarnya sudah menerapkan accrual basis dalam sistem penyusunan dan pelaporan keuangannya. Sebuah sistem penerapan standar akuntansi pemerintahan daerah yang disyaratkan Menteri Dalam Negeri.
"Kalau sudah accrual seharusnya masuk sistem komputer, bahwa alokasi anggaran di rencana anggaran belanja yang sudah tercatat di tahun sebelumnya. Harusnya sistem berjalan baik dan transparan," ujar Puji.
Ia pun mempertanyakan fungsi pengawasan Inspektorat Kota Malang terhadap berbagai proyek maupun penyusunan dan laporan keuangan Pemkot Malang. Jika pengawasan itu maksimal, seharusnya potensi korupsi itu bisa dicegah sedini mungkin.
"Harusnya Inspektorat itu bekerja mengawasi dengan maksimal terhadap kerja dinas," kata Puji.
Ia mendesak pemerintah daerah membuat sistem penyusunan dan pelaporan anggaran secara transparan. Sistem elektronik budgeting (e-budgeting) misalnya, akan memudahkan pengawasan dan kontrol penggunaan anggaran oleh publik. Apalagi Pemkot Malang masih harus membahas KUA-PPAS RAPBD 2017 dan KUA-PPAS RAPBD 2018.
Advertisement