Liputan6.com, Jakarta - Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat selama sepekan. Penguatan IHSG masih ditopang dari kenaikan saham-saham unggulan masuk indeks saham LQ45.
Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, Sabtu (19/8/2017), IHSG menguat 2,21 persen ke level 5.893,84 pada periode 11 Agustus-18 Agustus 2017. Penguatan IHSG didorong saham-saham yang masuk LQ45 menguat 2,7 persen secara mingguan. Sementara itu, saham kapitalisasi kecil dan menengah lebih stabil dengan menguat 1,4 persen. Di pasar saham, investor asing masih melakukan aksi jual mencapai US$ 2,7 juta.
Sedangkan di pasar obligasi atau surat utang, imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun turun 6,8 persen seiring spekulasi pemangkasan suku bunga. Secara mingguan, investor asing melakukan aksi jual US$ 162,5 juta di pasar surat utang.
Baca Juga
Advertisement
Adapun sentimen pengaruhi pasar keuangan antara lain dari global yaitu ketegangan antara Korea Utara dan Amerika Serikat (AS) mereda. Media Korea utara melaporkan Pimpinan Korea Utara Kim Jong Un memutuskan tak meluncurkan rudak ke Guam. Ini usai ancaman dan pernyataan yang menimbulkan ketegangan antara AS dan Korea Utara selama sepekan.
Ditambah, Presiden Korea Selatan Moon Jae-In juga memilih untuk menghindari konflik yang dapat habiskan biaya besar. Presiden AS Donald Trump juga menilai, keputusan Kim Jong Un tersebut "bijaksana". Usai keputusan Kim Jong un, kini fokus pelaku pasar beralih kepada solusi diplomatik.
Selain itu, serangan teroris di Barcelona, Spanyol yang membuat puluhan orang meninggal dan ratusan orang terluka. Kepolisian Spanyol menduga ada lima orang teroris terlibat dalam serangan tersebut.
Spanyol merupakan salah satu negara tujuan wisata terbesar di dunia usai Eropa dan AS. Pada 2016, Spanyol menerima kunjungan turis mencapai 75 juta turis asing. Adapun pariwisata menjadi kunci untuk menyediakan pekerjaan. Bursa saham Amerika Serikat (AS) pun tertekan usai kejadian tersebut.
Ketegangan politik di Amerika Serikat juga jadi perhatian pasar. Agenda kebijakan Trump pun semakin terancam usai pihaknya membubarkan dua dewan penasihat yang dikelola CEO dan mengecam anggota Kongres dari Partai Republik yang mengkritik ucapannya.
Kabar mantan Pimpinan Goldman Sachs Gary John akan mengundurkan diri sebagai ketua dewan ekonomi nasional juga menambah risiko. Cohn telah memimpin usaha rencana Trump untuk melakukan reformasi pajak. Kehadiran Cohn yang terus berlanjut di Gedung Putih pun menenangkan pasar namun gagal untuk mengakhiri kontroversi ucapan Trump.
Kemudian sentimen bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (The Fed) juga pengaruhi pasar keuangan. Dalam risalah hasil rapat the Fed menyebutkan kalau mayoritas pejabat the Fed berpegang pada inflasi yang ditargetkan dua persen untuk menaikkan suku bunga.
Namun banyak pihak melihat kalau kemungkinan inflasi akan tetap di bawah dua persen untuk waktu lama. Hal itu seperti dilihat dari risalah pertemuan the Fed pada 25-26 Juli.
The Fed akan kembali lakukan pertemuan pada 19-20 September 2017. Kemungkinan suku bunga naik menjadi berkurang harapannya. Meski inflasi rendah, tetapi ada tanda kenaikan untuk harga-harga.
Saksikan Video Menarik di Bawah Ini:
Sentimen Dalam Negeri
Dari sentimen dalam negeri menunjukkan adanya defisit perdagangan pada Juli 2017. Sebelumnya defisit perdagangan terjadi pada Desember 2015.
Selain itu, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018 disebutkan kalau target penerimaan pajak dan belanja lebih konservatif. Ini menyebabkan defisit anggaran lebih rendah sebesar Rp 325,9 triliun.
Hal mendasarinya dilihat dari asumsi makro ekonomi antara lain pertumbuhan ekonomi 5,4 persen dan inflasi 3,5 persen. Selain itu, belanja infrastruktur mencapai Rp 913,5 triliun dalam tiga tahun pada periode 2015-2017.
Lalu apa yang dicermati ke depannya?
Ada sejumlah hal yang menjadi perhatian. Salah satunya pandangan Bank Indonesia (BI) mengenai kondisi ekonomi saat ini. BI melihat sejumlah hal antara lain tingkat bunga deposito dan pinjaman sudah terpangkas masing-masing 130 basis poin dan 140 basis poin (bps) namun pertumbuhan kredit masih lemah sekitar 7,75 persen.
Kemudian volatilitas rupiah juga cenderung rendah tahun ini. Diperkirakan volatilitas mencapai 2,5 persen dari periode tahun lalu 11 persen. Selain itu, ekonomi global tidak sekuat yang diperkirakan. Bank Indonesia pun tidak terlalu khawatir dengan kenaikan suku bunga the Fed namun upaya pengurangan neraca jadi perhatian. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal II juga agak melambat terutama di manufaktur.
Meski ada potensi penurunan suku bunga seiring inflasi rendah dan pengeluaran pemerintah lebih tinggi pada kuartal II 2017, konsensus menunjukkan tingkat suku bunga Bank Indonesia tetap 4,75 persen pada pertemuan BI 22 Agustus 2017. Ashmore melihat bila ada penurunan suku bunga BI, hal itu sesuatu mengejutkan.
Lalu dengan ada potensi penurunan suku bunga, apa dampaknya ke aset investasi? Dalam dua siklus penurunan suku bunga terakhir, Ashmore melihat saham cenderung mengungguli obligasi. IHSG sudah naik 15,27 persen pada periode April 2007-April 2008 dan 12,29 persen pada periode September 2011-Februari 2012. Ini sebelumnya masih didorong kenaikan harga komdoitas, perdagangan dan jasa.
Namun demikian, pergerakan harga saham masih mengungguli aset investasi lainnya didorong properti dan otomotif. Sedangkan imbal hasil obligasi melonjak pada siklus 2007-2008 sebesar 320 basis poin, dan turun 130 basis poin pada periode 2011-2012.