Liputan6.com, Jakarta - Jutaan warga Amerika Serikat tengah bersiap menghadapi fenomena alam yang langka nan menakjubkan pada 21 Agustus 2017 waktu setempat, yakni gerhana matahari total. Peristiwa alam itu akan berlangsung di seluruh daratan Negeri Paman Sam untuk pertama kali sejak sekitar 100 tahun yang lalu.
Menurut laporan media setempat, warga AS telah berencana untuk menggelar pesta (watch parties), perhelatan komunitas, dan --bahkan beberapa kelompok-- mengagendakan perjalan lintas negara bagian untuk menyaksikan gerhana matahari total.
Namun, kepopuleran fenomena alam itu merupakan hal baru bagi sejumlah besar kebudayaan manusia di Bumi. Karena, dahulu kala, eclipse yang merupakan bahasa serapan Yunani Kuno berarti 'ditinggalkan', bukanlah peristiwa populer bagi para manusia penghuni Planet Biru.
Baca Juga
Advertisement
Manusia kuno --ketika ilmu pengetahuan belum mumpuni seperti masa kini-- menganggap gerhana matahari sebagai sebuah bencana, atau setidaknya, pertanda. Kala itu, beberapa keturunan Adam dan Hawa membayangkan bahwa gerhana adalah masa ketika sang surya meninggalkan manusia untuk selama-lamanya.
Dan di setiap kebudayaan, dulu hingga kini, gerhana matahari kerap dikorelasikan dengan berbagai mitologi, legenda, mitos, atau nubuat tentang kutukan, kematian, kehancuran, hingga kiamat.
Seperti yang Liputan6.com rangkum dari Atlanta Journal-Constitution (21/8/2017), berikut 5 mitos, legenda, dan mitologi seputar gerhana matahari dari berbagai riwayat kebudayaan manusia.
1. Monster Jahat Pemakan Sang Surya
Menurut sejumlah astronom dan sejarawan, salah satunya Edwin Krupp dari Griffith Observatory Los Angeles, California, kebudayaan kuno di penjuru dunia memiliki kepercayaan bahwa gerhana matahari total adalah fenomena ketika monster mitologi melahap sang surya.
Peradaban China kuno misalnya, mempercayai bahwa gerhana matahari total terjadi ketika naga raksasa nan jahat yang bersemayam di antara bintang-bintang memakan habis sang surya, jelas Noel Wanner, direktur Ancient Observatories yang didanai NASA. Wanner melanjutkan, untuk mengusir naga jahat itu, masyarakat kuno Tiongkok akan membuat suara gaduh jelang gerhana tiba, dengan tujuan untuk mengusir sang 'naga'.
Kebudayaan lain memiliki sejumlah variasi berbeda saat mengidentifikasi 'raksasa pelahap matahari'. Kebudayaan Vietnam kuno meyakini adanya katak raksasa pelahap sang surya.
Sementara itu, menurut Krupp dan Wanner, varian monster lain meliputi ular raksasa (Kebudayaan Maya), burung besar (Hungaria), Beruang Raksasa (Siberia), dan anjing api (Korea).
Advertisement
2. Balas Dendam Dewa Rahu
Menurut mitologi Hindu, gerhana matahari total adalah ajang balas dendam Dewa Rahu kepada Bumi dan Bulan.
Plot balas dendam itu bermula ketika Bumi dan Bulan menjadi saksi 'kejahatan' Dewa Rahu yang mencuri ramuan ajaib milik Wishnu. Ramuan ajaib itu, digadang-gadang mampu mengubah Rahu menjadi Dewa sekelas Wishnu.
Para 'saksi mata' melaporkan kejadian itu kepada Wishnu. Alhasil, sebagai hukuman, Wishnu memenggal kepala Rahu. Tubuh sang Dewa mati dan membusuk sementara kepalanya tetap hidup.
Demi membalas dendam tindakan Bulan dan Bumi, Rahu memburu keduaya dan melahapnya hingga habis.
"Namun karena tak bertubuh, Bumi dan Bulan yang telah ditelan kembali keluar tak tecerna oleh Rahu. Dan kejadian itu terus berulang sejak mitologi itu muncul hingga sekarang," jelas Edwin Krupp dari Griffith Observatory Los Angeles, California.
3. Anjing Pencuri Matahari
Peradaban Viking (Nordik, Skandinavia) meyakini bahwa seekor anjing mitologi bernama 'Skoll' secara temporer mencuri sang surya kala gerhana matahari, jelas Snorri Sturluson penulis buku berjudul Tales from Norse Mythology.
"Maka, untuk mencegah hal itu terjadi para Viking dan bangsa Nordik lain berusaha menakut-nakuti Skorr dengan membuat suara gaduh nan bising.
Advertisement
4. Pertempuran Bulan dan Matahari
Banyak budaya kuno melihat gerhana matahari dan bulan merupakan perkelahian antara matahari dan bulan.
Misalnya, cerita rakyat Suku Inuit mengisahkan bahwa gerhana matahari terjadi karena amarah dewa bulan Anningan terhadap adinya dewi surya Malina, karena berjalan pergi saat keduanya berkelahi, jelas Noel Wanner, direktur Ancient Observatories yang didanai NASA.
Dan di Afrika kuno, orang-orang Batammaliba di Togo dan Benin juga percaya bahwa dua makhluk surgawi yang bertengkar merupakan penyebab gerhana. Namun, mitos tersebut menjadi pengingat bagi orang Batammaliba untuk 'mendorong matahari dan bulan untuk berhenti berkelahi', kata astronom dan budayawan Jarita Holbrook seperti dikutip National Geographic.
"Mereka (masyarakat Batammaliba) melihatnya sebagai ajang berkumpul untuk menyelesaikan permusuhan lama dan kemarahan. Dan mitos itu bertahan hingga hari ini," kata Holbrook.
5. Gerhana Matahari dan Mitos Kehamilan
Sampai hari ini, menurut Edwin Krupp dari Griffith Observatory Los Angeles, California, sebagian orang yang memiliki adat-istiadat Hispanik masih mempercayai mitos gerhana matahari yang mengancam kesehatan kehamilan seorang perempuan.
"Orang-orang masih memanggil Observatorium Griffith sebelum gerhana dan bertanya apakah ibu hamil dan bayi mereka yang belum lahir berada dalam bahaya. Sesungguhnya itu merupakan sebuah mitos yang berasal dari suku Aztec (Amerika Selatan)," ujar Krupp.
Meskipun takhyul, beberapa calon ibu beradat Hispanik hingga kini masih kerap menerima peringatan oleh anggota keluarga yang lebih sepuh dan menyebabkan kegelisahan tambahan.
Hal yang sama berlaku untuk beberapa agama dan budaya di India, di mana wanita hamil masih dilarang keluar saat gerhana.
Saksikan juga video berikut ini:
Advertisement