Jurus Sri Mulyani Cegah RI dari Krisis Utang 

Menkeu Sri Mulyani memiliki strategi untuk menyehatkan APBN.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 21 Agu 2017, 19:15 WIB
Menkeu Sri Mulyani menjadi pembicara dalam seminar Problem Defisit Anggaran dan Strategi Optimalisasi Penerimaan Negara 2017 di Gedung DPR, Jakarta, Senin (20/2). Seminar itu diselenggarakan Poksi XI Faksi Partai Golkar DPR RI. (Liputan6.com/Johan Tallo)
Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, memasang target defisit fiskal yang lebih rendah senilai Rp 325,9 triliun atau 2,19 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018 dibanding outlook 2017. Strategi pengelolaan fiskal ini bertujuan untuk menyehatkan APBN dan menangkal Indonesia dari krisis utang
 
Pada RAPBN 2018, pemerintah menetapkan postur pendapatan negara Rp 1.878,4 triliun dan belanja negara Rp 2.204,4 triliun. Defisit anggaran 2,19 persen dari PDB atau menyempit dari outlook di tahun ini yang diperkirakan sebesar Rp 362,9 triliun atau 2,67 persen terhadap PDB. 
 
"Desain APBN ini menggambarkan keinginan kita menciptakan APBN yang sehat, tapi fungsi stabilisasi, distribusi, dan alokasi masih bisa dijalankan secara penuh," tegas Sri Mulyani di kantornya, Jakarta, Senin (21/8/2017). 
 
Oleh karena itu, kata Sri Mulyani, defisit keseimbangan primer yang ditetapkan di RAPBN 2018 sebesar Rp 78,4 triliun atau berkurang separuhnya dari outlook di 2017 yang dipatok defisit Rp 144,3 triliun. Keseimbangan primer yang defisit berarti pemerintah menarik utang untuk membayar bunga utang. 
 
"Defisit makin mengecil jumlahnya, tapi kita tidak bisa rem mendadak, makanya keseimbangan primer masih defisit dan jumlahnya turun separuh dibanding 2017. Itu karena kita hati-hati mendesain APBN, supaya Indonesia terhindar dari krisis utang seperti di banyak negara maju dan berkembang," jelasnya. 
 
Lebih jauh Sri Mulyani menerangkan, defisit sebesar Rp 325,9 triliun atau 2,19 persen dari PDB dibiayai dari utang senilai Rp 399,2 triliun, pembiayaan investasi negatif Rp 65,7 triliun, pembiayaan pinjaman minus Rp 6,7 triliun, kewajiban pinjaman negatif Rp 1,1 triliun, dan pembiayaan lainnya Rp 0,2 triliun. 
 
"Tren pembiayaan ini makin sehat dan posisi Indonesia dalam perekonomian dunia makin bisa dijaga kekuatannya," ucap Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu. 
 
Menurutnya, pemerintah terus mengelola utang secara hati-hati. Sebagai contoh, Sri Mulyani membandingkan pengelolaan utang di Indonesia dengan Malaysia dan Brasil. Pemerintah, kata dia, berupaya menjaga rasio utang terhadap PDB di level 27-29 persen. Adapun, Brasil dan Malaysia masing-masing 78 persen dan 56 persen. 
 
"Pembayaran bunga utang secara nominal kelihatannya besar, tapi kita hanya bayar bunga utang kurang dari 5 persen dari total outstanding utang kita. Sementara Malaysia 5,6 persen, dan Brasil bayar bunga utang 18 persen dari total utangnya," papar Sri Mulyani. 
 
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu, Robert Pakpahan menambahkan, pemerintah berencana menerbitkan Surat Utang Berharga (SBN) neto sebesar Rp 414,7 triliun dan pinjaman neto negatif Rp 15,5 triliun di RAPBN 2018. 
 
"Jadi, sumber pembiayaan kita dominan instrumen SBN. Porsinya 70 persen surat utang konvensional dan surat utang berbasis syariah 30 persen. Penerbitan SBN sebagian besar mata uang rupiah porsinya 75-80 persen, dan valuta asing dolar AS, Euro, dan Yen Jepang sebesar 20-25 persen. Juga penerbitan ORI, dan sukuk ritel," tukas Robert. 
 

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya