Liputan6.com, Washington, DC - Selama beberapa pekan ini di Amerika Serikat, setidaknya ada tiga fenomena yang menjadi buah bibir bagi masyarakat Negeri Paman Sam. Fenomena itu meliputi gerhana Matahari, demo berdarah di Charlottesvile, hingga isu penarikan militer AS dari Afghanistan.
Jurnalis Gedung Putih senior nan kawakan, Paul Brandus, yang mengelola akun Twitter @WestWingReport, menyoroti tiga kejadian teranyar itu dengan cara unik. Lewat akun Twitternya, Brandus alias si 'West Wing Reports', menulis:
"Deja vu. Terakhir kali gerhana Matahari terjadi (1918): 1. AS sedang berkutat dengan tensi tinggi isu rasisme dan 2. Presiden kala itu menyampaikan pidato kenegaraan yang berisi tentang rencana perang," tulis @WestWingReport.
Menurut Brandis, tiga kejadian teranyar tentang AS pada Agustus 2017 merupakan sebuah deja vu (istilah Prancis yang berarti telah terjadi atau pernah terjadi) dengan tiga peristiwa yang pernah terjadi pada 1918 di Negeri Paman Sam.
Baca Juga
Advertisement
Peristiwa pertama adalah gerhana Matahari dari pantai ke pantai di AS pada 1918, atau yang terjadi pada 99 tahun lalu. Fenomena kala itu memiliki jalur lintasan yang serupa seperti eclipse 21 Agustus 2017, yakni melintasi pantai barat AS di negara bagian Washington hingga pantai timur di negara bagian Florida.
Sementara itu, peristiwa kedua adalah tensi tinggi isu rasisme di AS pada medio 1918. Beberapa tahun sebelum dan sesudah 1918, sejumlah isu rasisme kala itu banyak mencuat, seperti pembunuhan berbasis kebencian yang dilakukan oleh Ku Klux Klan terhadap Afrika-Amerika, segregasi dan pembatasan hak sipil orang berkulit hitam, serta berbagai bentuk diskriminasi lainnya.
Sedangkan, peristiwa ketiga terkait pidato kenegaraan yang disebut oleh Brandis, merujuk pada 'the Fourteen Points' yang disampaikan oleh Presiden AS Woodrow Wilson.
The Fourteen Points merupakan empat belas poin pidato yang disampaikan oleh Presiden Wilson terkait usaha Amerika Serikat untuk mengakhiri Perang Dunia I yang kala itu tengah berlangsung. Pidato itu disampaikan oleh sang presiden pada 8 Januari 1918.
Sebuah Deja Vu?
Peristiwa kosmis kolosal itu kembali muncul di Amerika Serikat, sejak terakhir terjadi pada 1918 atau 99 tahun yang lalu.
Jutaan warga negara itu dibuat takjub oleh kehadiran gerhana Matahari pada 21 Agustus 2017. Terlebih lagi, fenomena totality (gerhana Matahari total) juga "menyisir" seluruh kawasan Negeri Paman Sam, dari kawasan pantai barat di Oregon hingga pantai timur di Carolina Selatan, nyaris serupa seperti yang terjadi pada 1918.
Akan tetapi, beberapa hari dan pekan menjelang gerhana, dua isu hangat turut melanda di AS. Dan, entah secara kebetulan, dua isu hangat itu memiliki narasi topik yang serupa dengan persoalan yang dihadapi Negeri Paman Sam kala gerhana Matahari 1918.
Persoalan pertama adalah terkait isu rasisme yang kembali mencuat pasca-demonstrasi berdarah di Charlottesville, Virginia, pada 12 Agustus 2017. Unjuk rasa yang berakhir nahas --mengakibatkan satu orang meninggal dan puluhan lainnya terluka-- itu dipicu atas perselisihan pendapat soal penurunan patung mendiang Jenderal tentara Konfederasi Amerika, Robert E Lee.
Selisih pendapat terkait penurunan patung itu mengerucut menjadi dua kubu. Kubu pertama adalah mereka yang ingin melestarikan dan membiarkan patung itu tetap berada pada tempatnya, menganggapnya sebagai benda bersejarah. Mereka diwakili oleh kelompok supremasi kulit putih, fasis - rasis, ultranasionalis, ekstremis sayap kanan, dan yang terinspirasi.
Kubu kedua adalah mereka yang ingin merobohkan pahatan figur sang jenderal Konfederasi, karena menganggapnya sebagai simbol glorifikasi perbudakan Afrika-Amerika dan rasisme pada masa Antebellum (pra-Perang Saudara) di AS. Mereka terdiri dari kelompok penggiat hak-hak sipil Afrika-Amerika, liberalis - pluralis, hingga ekstremis sayap kiri.
Demonstrasi itu kemudian memicu tensi sosial-politik tinggi di seantero AS, menyulut kembali sentimen laten soal isu rasisme dan polemik ultranasionalisme.
Sedangkan, persoalan kedua yang sedang hangat menjadi pembicaraan adalah pidato Presiden Donald Trump yang membahas intervensi AS di Afghanistan.
Sebelum pidato, sebagian pihak menebak bahwa POTUS mungkin akan mengakhiri campur tangan Negeri Paman Sam yang telah terlibat sejak 16 tahun terakhir dengan menarik militer AS di kawasan. Sebagian yang lain menduga bahwa sang presiden justru akan terus mempertahankan kehadiran militer AS sebagai bagian NATO dalam kapasitas untuk melatih, menjadi penasihat, dan membantu tentara pemerintah lokal.
Akan tetapi, pasca-menyampaikan pidato, sang presiden justru menyampaikan bahwa ia berencana untuk tidak secara tergesa-gesa menarik pasukan AS di Afghanistan. Hal itu menjadi pertanda bahwa Trump mungkin akan mempertahankan presensi militer Negeri Paman Sam di kawasan untuk beberapa waktu ke depan.
"Saya yakin bahwa penarikan tergesa-gesa akan menciptakan keleluasaan bergerak bagi para kelompok teroris, termasuk ISIS dan Al Qaeda," ujar Trump.
Saksikan juga video berikut ini