Liputan6.com, Jakarta - Suasana Crisis Center Bareskrim Polri dibanjiri ratusan warga calon Jemaah umrah yang belum diberangkatkan oleh biro perjalanan First Travel.
Mayoritas mereka yang mengadu kebanyakan adalah mereka yang sudah bayar, namun belum mendapat kejelasan kapan akan diberangkatkan.
Advertisement
Sejak dibuka pada Rabu, 16 Agustus 2017, Posko Crisis Center First Travel telah menerima sebanyak enam ribu lebih aduan warga.
"Sejauh ini ada 6.198 pengadu yang datang, ini belum termasuk data masuk dari email ya yang jumlahnya pasti lebih banyak lagi," ujar Ipda Hardita Tampubolon di Bareskrim Mabes Polri, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (23/8/2017).
Pantauan Liputan6.com di lokasi, ratusan pengadu tampak terus berdatangan. Secara bergantian, pendataan terus dilakukan.
Hardita mengatakan, Posko Crisis Center tersebut dibuka setiap hari mulai pukul 08.00-16.00 WIB. Pada hari ketiga pembukaan posko pada Jumat, 18 Agustus, polisi baru mendapat 500 aduan. Pada Selasa, 22 Agustus, angkanya bertambah berkali-kali lipat menjadi 4.043 laporan.
Selain menampung laporan warga, Polisi hingga kini masih terus menyelidiki sejumlah aliran dana jemaah calon umrah yang digunakan untuk kepentingan pribadi pemilik First Travel. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebut bahwa aliran dana First Travel mencapai triliunan rupiah dan digunakan untuk kepentingan pribadi.
"Berdasarkan penelusuran sementara, cukup besar nilai yang diserap dari dana jemaah umrah. Nilainya triliunan rupiah," kata Kepala PPATK, Kiagus Badaruddin di Gedung Bank Indonesia (BI), Jakarta, Minggu, 20 Agustus 2017.
Lebih jauh Kiagus menjelaskan, dana triliunan rupiah ada yang digunakan untuk memberangkatkan jemaah umrah, untuk persiapan umrah yang akan datang, mengalir juga untuk investasi, dan ada dana yang masuk ke kantong pribadi untuk dibelanjakan rumah, kendaraan, dan lainnya.
"Ada yang untuk investasi, dan ada yang masuk ke rekening pribadi untuk kepentingan pribadi, seperti membeli rumah, kendaraan dan lainnya," terang Mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan itu.
Dari Mobil Mewah Hingga Restoran di Ingris
Hasil pelacakan PPATK menjadi bahan penyelidikan bagi kepolisian untuk mengungkap sejumlah aset pemilik First Travel Andika Surachman dan istrinya Anniesa Hasibuan yang dibeli dari uang para jemaahnya.
Sejumlah aset seperti mobil mewah, rumah, dan barang barang mewah telah disita polisi. Bahkan fakta terbaru, Andika dan Anniesa diketahui mempunyai sebuah restoran mewah di London, Inggris.
Hasi penyelidikan polisi memastikan bahwa kepemilikan restoran tersebut dibeli dari hasil uang jemaah umrah. Penelusuran Liputan6.com, restoran itu diduga terletak di Palace Theatre Shaftesbury Ave Soho, London, Inggris, bernama Nusadua. Di depan restoran itu tertulis "Nusadua, part of FT Group".
Saat dikonfirmasi terkait kepemilikan restoran tersebut, Kanit 5 Subdit 5 Jatanwil Dit Tipidum Bareskrim Polri AKBP, Rivai Arvan mengatakan kepemilikan Andika terhadap restoran dari pembelian sebagian saham.
"Dia beli restoran di Inggris, ini salah satu aset juga, dibeli 40 persen sahamnya, nilainya Rp 14 miliar," kata Kanit 5 Subdit 5 Jatanwil Dit Tipidum Bareskrim Polri AKBP, Rivai Arvan, di Bareskrim Polri, Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (23/8/2017).
Sementara, Direktur Tindak Pidana Umum Brigadir Jenderal Polisi Herry Rudolf Nahak mengatakan, pihaknya masih menelusuri aset yang ada di London, Inggris.
"Kami sedang mengecek. Pertama dari dokumen yang dimiliki terkait kepemilikan restoran di sana," beber Herry.
Polisi hingga kini masih terus menyelidiki kemungkinan adanya sejumlah aset lain milik First Travel yang belum terungkap.
Advertisement
Solusi Wapres Jusuf Kalla
Kasus penggelapan dana jemaah Umrah First Travel turut mengundang keprihatinan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Jika menilai Kasus First Travel merupakan sebuah musibah dan menjadi resiko dari iming-iming umrah murah.
"Ini kan risiko masing-masing. Karena kenapa mau percaya sama yang murah," kata JK di kantornya, Jakarta, Selasa (22/8/2017).
Dia menuturkan, karena hal tersebut, pemerintah tidak bisa mengganti kerugian dana para jemaah umrah. Dirinya menyebut itu menjadi tanggung jawab First Travel sendiri.
"Wah ya siapa yang terima duit, itu yang ganti kan. Masa Anda yang tidak terima duit mesti ganti. Siapa yang terima duit," kata JK.
Menurut dia, untuk melakukan umrah tak seketat melakukan ibadah haji. Hal ini sama dengan biro travel perjalanan umum saja.
"Umrah kan lebih bebas ya daripada haji. Karena itu, dia urus travel itu sama saja dengan ke Singapura, Amerika, dan macam-macam, seperti itu. Maka tanggung jawab tentu siapa yang menerima uang itu," kata JK.
Batasi Biaya Umrah
Sebagai solusi agar kasus serupa tak terulang, JK mengatakan harus ada batas minimum tarif atau biaya untuk melakukan umrah. Namun, langkah itu juga harus berbarengan dengan menghapus sistem atau skema ponzi dalam melakukan pembiayaan perjalanan untuk berangkat umrah.
"Tentu kemudian pemerintah atau dari Kemenag (Kementerian Agama) bisa menetapkan batas minimum berapa itu. Tapi walaupun ada batas minimum, selama dia pakai sistem ponzi ya sama juga," kata JK.
Menurut JK, sistem ponzi akan membuat kerugian terus sebuah perusahaan. Selain itu, yang dirugikan adalah orang yang mendaftar belakangan.
Skema atau sistem ponzi dalam kasus perjalanan umrah dipandang sebagai modus investasi palsu yang membayarkan keuntungan pada jemaah berdasarkan uang yang dibayarkan oleh jemaah selanjutnya, bukan berdasarkan keuntungan yang diperoleh dari individu atau organisasi yang menjalankan suatu bisnis.
Wapres menuturkan, sebenarnya aturan untuk travel yang melaksanakan umrah sudah ada. Namun, dirinya mengingatkan untuk dicek kembali semuanya.
"Sebenarnya semua ada aturannya, travel untuk umrah itu harus terdaftar. Harus dicek semuanya," pungkas JK.