Liputan6.com, Manila - Presiden Filipina Rodrigo Duterte berpose 'salam tinju' khasnya bersama Ketua Intelijen Asing Australia (ASIS) Nick Warner di Istana Malacanang, Manila. Foto kontroversial bernada agresif itu tersebar di beberapa media pada 23 Agustus 2017.
Keduanya berpose untuk sesi foto setelah mengadakan pertemuan kenegaraan di Malacanang. Beberapa pihak menyebut tatap-muka dan diskusi keduanya bersifat 'mengkhawatirkan' terutama terkait keterlibatan intelijen Australia di Filipina. Demikian seperti yang dilansir dari Sydney Morning Herald, Kamis (24/8/2017).
Advertisement
Menurut Malacanang, pertemuan itu merupakan sebuah undangan jamuan resmi kenegaraan yang diinisiasi oleh Filipina kepada ASIS. Keduanya membicarakan 'sejumlah isu keamanan regional dan deklarasi dukungan mutual', jelas keterangan dari istana.
Beberapa media Negeri Kanguru menyebut bahwa pertemuan itu turut mungkin membahas sejumlah isu hangat, seperti terorisme di Filipina Selatan, potensi Asia Tenggara menjadi sarang terorisme baru pasca-jatuhnya ISIS di Irak dan Suriah, serta kejahatan narkotika.
Dari sudut pandang Australia, adalah hal yang biasa bagi individu sekaliber Nick Warner mengadakan pertemuan tatap-muka tertutup dengan pemimpin suatu negara.
Akan tetapi, foto kontroversial Duterte - Warner yang rilis di sejumlah laman publik, mungkin akan membuat sejumlah pejabat tinggi ASIS mengerutkan alis. Karena biasanya, sosok sang ketua intelijen asing beserta aktivitasnya dalam kancah politik kerap kali misterius.
Canberra tidak memberikan komentar detail mengenai pertemuan tersebut. Akan tetapi, beberapa figur dan tokoh penting Australia mengkritik pose yang dilakukan Duterte - Warner.
"Sebuah pose berfoto yang tidak pantas yang dilakukan oleh kepala intelijen kami," kata Anggota Parlemen Australia dari Labor Party, Anthony Byrne, seperti dikutip dari The Guardian, Kamis (24/8/2017)
"Muak melihat kepala intelijen Australia melakukan salam tinju dengan seseorang yang kebijakannya telah memberangus ribuan nyawa," tutur Elaine Pearson, direktur Human Rights Watch Australia.
Presiden Duterte telah banyak dikritik oleh komunitas internasional, termasuk PBB. Sejumlah pihak menyebut, kebijakan 'War on Drugs' sang presiden telah melanggar hak asasi manusia dan seakan berubah menjadi sebuah aksi pembunuhan ekstra-yudisial yang dilazimkan oleh pemerintah.
Tekad Duterte Memberangus Kejahatan Narkotika
Meski dikecam dunia, Presiden Filipina Rodrigo Duterte berjanji melanjutkan perjuangannya dalam perang melawan narkoba dan militan di negara yang dipimpinnya.
Hal tersebut disampaikan dalam State of the Nation Address kedua dengan tema "kehidupan yang nyaman untuk semua". Menurut kantor komunikasi kepresidenan, ada tiga hal yang menjadi prioritas pemerintahannya, yakni kesejahteraan universal, hukum dan ketertiban, serta kedamaian.
"Di luar sana adalah hutan rimba, ada monster dan burung bangkai yang menggerogoti orang tak berdaya, polos, dan tak menaruh curiga. Saya tidak akan membiarkan kehancuran kaum muda, disintegrasi keluarga, dan kemunduran masyarakat yang disebabkan oleh penjahat yang keserakahannya tidak terpuaskan karena tidak memiliki tujuan moral," ujar Duterte pada 24 Juli 2017 waktu setempat.
"Kamu menyakiti anak-anak yang mana masa depan negara ini ada di tangan mereka dan saya akan membawa Anda ke gerbang neraka," tegas Duterte.
Dikutip dari CNN, Selasa 25 Juli lalu, dalam masa kampanye, Duterte berjanji untuk menghentikan perdagangan narkoba di Filipina. Menurut Dangerous Drugs Board, terdapat 1,8 juta pengguna narkoba di negara tersebut.
Namun kritikus berpendapat bahwa dalam upayanya, Rodrigo Duterte membenarkan adanya pembunuhan di luar hukum terhadap terduga pengguna dan pengedar narkoba.
"Tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan, perang melawan obat-obatan terlarang akan terus berlanjut, karena itu adalah akar penyebab banyak kejahatan dan begitu banyak penderitaan," kata Duterte.
"Pertarungan tak akan berhenti, meski ada tekanan internasional dan lokal, pertarungan tak akan berhenti sampai mereka yang berurusan dengannya mengerti bahwa mereka harus berhenti, bahwa mereka harus berhenti karena pilihannya adalah penjara atau neraka," imbuh dia.
Pihak berwenang Filipina menuduh media internasional membesar-besarkan masalah tersebut. Duterte mengatakan kepada dunia internasional bahwa masalahnya adalah masalah nasional, dan sebagai Presiden ia berwenang untuk menangani krisis narkoba.
"Bagi para kritikus yang melawan perang (narkoba); usaha Anda akan lebih baik dihabiskan jika Anda menggunakan pengaruh, wewenang moral, dan penguasaan organisasi Anda untuk mendidik orang-orang tentang kejahatan obat-obatan terlarang daripada mengutuk pihak berwenang secara tidak adil, menyalahkan mereka untuk setiap pembunuhan di negeri ini," ujar Duterte.
Advertisement