Kemenkeu Godok Formula Pajak Bisnis Online, Ini Kata Pengamat

Pemerintah tengah formulasikan skema pungutan pajak khusus bagi transaksi perdagangan online.

oleh Agustina Melani diperbarui 24 Agu 2017, 15:10 WIB
Ilustrasi E-commerce (Liputan6.com/Sangaji)

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat menilai memang perlu ada kebijakan pajak untuk mendorong keadilan bagi transaksi perdagangan lewat online atau disebut e-commerce dan konvensional. Ini menanggapi langkah pemerintah yang tengah formulasikan skema pungutan pajak khusus bagi transaksi perdagangan online.

Pengamat perpajakan Yustinus Prastowo menuturkan, saat ini Indonesia sedang mencapai titik untuk menciptakan keadilan bagi sektor e-commerce dan konvensional. Meski demikian, Prastowo menilai perlu tahapan-tahapan yang jelas agar menciptakan keadilan dan kebijakan  yang efektif menarik pajak. Oleh karena itu, penerapannya juga perlu dibedakan kebijakan dan administrasi perpajakan.

"Prinsipnya memang dikenai pajak. Dalam hal ini pajak pertambahan nilai (PPN) atas penjualan barang, dan pajak penghasilan (PPh) kalau ada income dan subyeknya tercover Undang-Undang Indonesia," ujar Yustinus lewat pesan singkat yang diterima Liputan6.com, Kamis (24/8/2017).

Yustinus mencontohkan salah satu cara efektif untuk menerapkan pajak seperti di Uni Eropa. Penerapan pajak untuk pemain asing.

"Menerapkan origin principle untuk PPN, dipungut di negara yang menjual, lalu sharing dengan negara tujuan. Di sini menunjukkan memajaki e-commerce harus bekerjasama. Regionalisme jadi penting," kata dia.

Selain itu, Yustinus mengingatkan kebijakan pajak juga harus tepat agar investasi tidak keluar dari Indonesia. Apalagi bisnis digital economy termasuk padat modal. Selain itu, juga ada masih merintis bisnis. Menurut Yustinus, hal tersebut juga membutuhkan insentif agar perkembangan ekonomi digital di Indonesia dapat tumbuh dan bisa bersaing dengan negara lain. Namun, hal penting pelaku usahanya dapat terdaftar.

"Yang penting dorong semua teregister. Paling aman seharusnya PPN," kata dia.

Yustinus menuturkan, penerapan kebijakan tersebut pun perlu koordinasi dan sinergi kementerian mulai dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Keuangan.

"Ada paradoks "coopetition", tetap berkompetisi agar tidak ketinggalan tapi harus bekerja sama agar mendapat hasil optimal. Salah bikin kebijakan karena ciri e-commerce dan digital ekonomy ini padat modal dan mobile, maka berpotensi flight. Jika terlalu agresif terutama untuk start up bisa mendistorsi. Sebaiknya strateginya with holding dengan tarif rendah supaya kompetitif dengan negara lain," jelas dia.

Praktisi Ivan Hudayana menilai, biaya operasional sektor e-commerce termasuk besar terutama di sumber daya manusia (SDM), pemasaran dan logistik. Diperkirakan, biaya logistik lebih dari 15 persen dari total biaya penjualan. Sedangkan belanja modalnya kecil. Oleh karena itu, menurut Ivan, pemerintah perlu mengembangkan dulu sektor e-commerce agar tumbuh besar. Menurut Ivan, sebagian besar pelaku usaha e-commerce juga sudah membayar PPh 21.

"Akan tetapi kenapa pajak yang dikenakan? Belajar dari negara lain, di incubate dan ditumbuhkan dulu oleh pemerintah baru kontribusi balik," kata dia.

Sementara itu, CEO Blibli Kusumo Martanto menuturkan, pihaknya sebagai pebisnis tentu membayar pajak suatu kewajiban. Adapun pemerintah tengah mengkaji formulasi skema pungutan pajak bagi e-commerce, menurut Kusumo tidak menjadi keberatan lantaran pihaknya sejak awal selalu bayarkan pajak.

"Namun jika memang akan ada penetapan pajak lain, kami tentu akan mencari infonya lebih lanjut. Blibli.com telah memenuhi ketentuan membayar pajak (PPN) untuk seluruh penjualan yang terjadi Blibli.com. Harga barang yang kami jual sudah termasuk PPN. Jadi kami membayarkan pajak sesuai dengan itu. Kemudian mengenai pembayaran PPh untuk badan usaha juga sudah kami lakukan sejak awal berdirinya Blibli.com," tegas Kusumo lewat keterangan tertulis yang dterima Liputan6.com.

 

Saksikan Video Menarik di Bawah Ini:

 


Sri Mulyani Bakal Pungut Pajak Transaksi Bisnis Online

Sebelumnya Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati tengah memformulasikan skema pungutan pajak khusus bagi transaksi perdagangan online atau yang dikenal dengan e-commerce. Upaya tersebut dilakukan karena pertumbuhan sektor e-commerce sangat pesat.

"Tim Kementerian Keuangan, baik Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai sedang melakukan formulasi (pungutan pajak) untuk e-commerce," kata Sri Mulyani di kantornya, Jakarta, Senin (21/8/2017).

Pemerintah melalui Kemenkeu mampu mendeteksi transaksi perdagangan online karena memiliki pembukuan secara otomatis sehingga lebih mudah dan taat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Namun tantangan terberatnya adalah memajaki transaksi dari bisnis online asing, bahkan perlu untuk dibahas antar para Menkeu negara-negara anggota G20. Salah satunya menyangkut pembagian penerimaan dari bisnis berbasis digital tersebut.

"Untuk beberapa Hub di luar Indonesia perlu didiskusikan di dalam G20 oleh para Menkeu bahwa pemajakan bisnis basis digital bukan persoalan mendeteksinya, tapi pembagian penerimaan yang dinamis," tutur dia.

"Di negara besar seperti Indonesia, bisa muncul seperti Australia, penjualnya di Provinsi A, dan pembelinya di Provinsi B, pajaknya harus ada di mana karena ini beda dengan punya toko di daerah tertentu, maka ada pajaknya," tambah Sri Mulyani.

Dalam kesempatan yang sama, Staf Ahli Menkeu Bidang Kepatuhan Pajak, Suryo Utomo mengungkapkan, pemerintah akan diskusi dengan para pelaku usaha bisnis online, terutama e-commerce di dalam negeri. "Pergeseran pola transaksi dari konvensional ke e-commerce menjadi konsen di Kemenkeu," ujar Suryo.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya