Liputan6.com, Jakarta Film dokumenter terbaru dari Al Gore, An Inconvenient Sequel: Truth to Power, dibuka dengan ejekan dari media untuk mantan Wakil Presiden Amerika Serikat itu. Film dokumenternya kala itu, An Inconvennient Truth, dianggap sebagai bualan yang sok mengatasnamakan ilmu pengetahuan.
Salah satu hal yang paling mendapat celaan, adalah animasi yang menunjukkan bahwa suatu saat perubahan iklim akan membuat ground zero peristiwa 9/11 akan digenangi air. Saat itu, banyak yang menertawakan klaim ini. Namun pada tahun 2012, hal ini terbukti. Lokasi tersebut dibanjiri air berarus deras karena badai yang melanda New York.
Baca Juga
Advertisement
Ya, seperti sudah bisa diduga, sekuel An Inconvennient Truth ini kembali menunjukkan ganasnya rongrongan perubahan iklim di dunia. An Inconvenient Sequel juga kembali menampilkan perubahan iklim dengan cara berkisah, semua dari perspektif Al Gore. Namun dibanding film perdananya yang rilis pada 2006 silam ini, ada banyak perubahan yang dimunculkan dalam sekuelnya. Baik dari segi sinematik maupun isi filmnya.
Di film ini Al Gore bercerita, bahwa setelah satu dekade lebih memperjuangkan isu mengenai perubahan iklim lewat An Inconvenient Truth, ia mengaku banyak mendapat hambatan. Terutama dari para pemegang kekuasaan di Amerika Serikat.
Lobi-lobi kalangan pengusaha menyetir langkah para politisi. Sementara perubahan iklim, adalah isu yang dipandang merugikan kalangan pengusaha. Tak heran bila pergerakan atas isu ini banyak jalan di tempat. Di film ini, Al Gore menunjukkannya lewat anggota Senat Amerika yang tutup kuping soal masalah iklim, hingga satelit DSCVR yang mesti digudangkan karena masalah politik.
Kadang adegan tentang para politisi ini membuat miris, tapi tak jarang juga membuat tertawa geli karena saking absurdnya. Terutama, adegan An Inconvenient Sequel yang menampilkan pria yang kini menjadi Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Dunia yang Kian Mengkhawatirkan
Di sisi lain, kondisi dunia saat ini makin memprihatinkan. Hari-hari dengan temperatur panas kini makin panjang. Badai makin dahsyat. Dan laju pencairan es di kutub makin mengkhawatirkan. Perkembangan dunia sinema membuat gambaran peristiwa ini makin nyata dalam An Inconvenient Sequel.
Dinding es yang runtuh di kutub dan dahsyatnya badai, diambil dengan teknik sinematografi yang kian canggih. Tak heran bila visualisasi adegan ini terasa mengerikan, bagai film blockbuster Hollywood.
Bahkan bila dipikirkan ulang, An Inconvenient Sequel terasa lebih menakutkan ketimbang film-film bencana seperti The Day After Tomorrow. Karena gambaran yang ditampilkan benar-benar nyata, terjadi di bumi kita, bukan hasil imajinasi belaka. Film ini dengan cukup gamblang menjelaskan mengapa perubahan iklim membuat bumi makin panas, cuaca dingin yang buruk, kekeringan, hingga kebakaran hutan.
Tak hanya gambar megah, An Inconvenient Sequel juga menampilkan beragam video dokumenter amatir. Hal ini kian mendekatkan penonton dengan peristiwa di dalam layar.
Penonton diajak melihat dari sudut pandang para penduduk Filipina yang terjebak dalam gedung, sementara gempuran badai dahsyat mulai menjebol jendela dan dinding. Juga membayangkan sepanas apa suhu yang memanggang India, sehingga mampu melelehkan aspal dan membuat sandal pejalan kaki lengket di jalan dan ditinggalkan pemakainya.
Adegan ‘horor’ yang ditampilkan dalam An Inconvenient Sequel, layak ditonton untuk menyadarkan penonton seberapa mengerikan kerusakan yang ditimbulkan manusia di atas permukaan bumi. Namun tak hanya kengerian, ada bagian dari film ini yang menunjukkan masih ada harapan bagi umat manusia, dan bagaimana kita memenangkan perjuangan soal perubahan iklim tersebut.
Advertisement
Film tentang Al Gore?
Dari segala kelebihan yang dimiliki film yang akan tayang di bioskop Tanah Air pada Jumat (25/8/2017) besok , terasa ada satu hal yang terasa cukup mengganjal. An Inconvenient Sequel terasa seperti film 2 in 1. Tak cuma bicara mengenai lingkungan, film ini juga banyak membahas tentang sosok Al Gore itu sendiri.
Di satu adegan yang cukup panjang misalnya, penonton dibawa masuk ke rumah masa kecil Al Gore. Mulai dari menyaksikan foto lama sang ayah yang juga merupakan politisi, hingga membaca surat dari putrinya yang kedua saat Al Gore hendak maju sebagai cawapres.
Pada adegan lain, digambarkan pula perjuangan sunyi Al Gore dalam Konferensi Perubahan Iklim Paris pada 2015. Dalam film ini digambarkan bahwa Al Gore punya peran yang sangat krusial dalam ketok palu konferensi ini.
Kadang sedikit tersirat nuansa narsisistik dalam narasi mengenai Al Gore. Namun setidaknya, hal ini tidak mengurangi isi dan pesan utama dalam film ini, yakni isu perubahan iklim.