KOLOM: Anti Mainstream ala Munchen

Munchen memilih untuk membangun FC Bayern Campus ketimbang membeli pemain bernilai gila-gilaan.

oleh Liputan6.com diperbarui 25 Agu 2017, 08:00 WIB
Kolom Bola Asep Ginanjar (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Anti mainstream. Di tengah transfer gila-gilaan, ketika PSG mengeluarkan 222 juta euro untuk Neymar, saat Manchester City mengucurkan uang 178,5 juta euro untuk empat pemain bertahan, Bayern Munchen justru membuat langkah aneh. Awal pekan ini, Die Roten membuka secara resmi akademi yang diberi nama FC Bayern Campus.

Dana yang dikeluarkan untuk membangun akademi baru di Ingolstaedter Strasse 272 sebenarnya tidaklah murah. Bayern menggelontorkan uang 70 juta euro untuk membangun kompleks seluas 30 hektare itu. Tidak sedikit mengingat kalau dikonversi, itu setara Rp1,1 triliun.

Itu juga lebih tinggi dari rekor pembelian Bayern di bursa transfer. Corentin Tolisso diboyong dari Olympique Lyon hanya dengan harga 41,5 juta euro. Sebelumnya, Javi Martinez pada 2012 juga hanya ditebus dengan uang 40 juta euro dari Athletic Bilbao.

Hal yang menarik, sekitar sepekan sebelumnya, Stefan Effenberg mengatakan, Bayern Munchen harus mengikuti arus utama. Mereka harus berani jorjoran jika tak ingin makin tertinggal dari klub-klub teras Eropa lainnya. Dia mengatakan, saat ini saja Bayern sudah tertinggal. Kalau tak mau mengikuti arus, ya pasti tambah tertinggal lagi.

Peresmian akademi baru itu jadi semacam penegas. Sebelumnya, Presiden Uli Hoeness sudah berkali-kali menyatakan Bayern Munchen tak mau ikut-ikutan gila. “Saya tak mau beli pemain seharga 150 atau 200 juta euro. Saya tak mau ikut kegilaan itu. Saya hanya bisa tegaskan, hal seperti itu benar-benar ditolak oleh Bayern!” tegas dia, akhir Juli lalu.

Presiden Bayern Munchen, Uli Hoeness. (AFP/Christof Stache)

Dalam pidato pembukaan FC Bayern Campus itu pun, Hoeness terang-terangan mengatakan hal itu sebagai jawaban terhadap kegilaan yang berlangsung saat ini. “Saya yakin kami dapat memberikan jawaban tepat terhadap perkembangan sepak bola internasional, terhadap kegilaan transfer dan kenaikan gaji besar-besaran. Saya bangga dan senang,” terang dia.

Toh, langkah ini tetap saja mengherankan. Di tengah kelesuan yang dialami klub-klub dengan akademi bagus, Bayern Munchen justru mengambil langkah tersebut. Tengok saja betapa makin berkurangnya produk mumpuni dari La Masia milik Barcelona. Begitu pula dengan Ajax Amsterdam dan Manchester United. Dalam beberapa tahun terakhir, tak ada pemain berkelas dunia yang lahir dari ketiga akademi tersebut.


Mimpi dan Ambisi Hoeness

Pelatih Bayern Munchen, Carlo Ancelotti melihat para pemainnya berlatih jelang bertanding melawan Arsenal pada laga International Champions Cup 2017 di Shanghai (18/7). Munchen dan Arsenal akan bertanding pada 19 Juli. (AFP Photo/Johannes Eisele)

Menilik kelesuan yang ada di Barcelona, Man. United, dan Ajax, sangat sah bila ada yang menganggap FC Bayern Campus adalah sebuah perjudian. Lagi pula, mengorbitkan pemain dari akademi ke tim utama sebuah klub besar termasuk hal yang mahasulit.

Simak saja pembelaan Josep Maria Bartomeu, Presiden Barcelona, saat menjawab kritik Xavi Hernandez. “Sangat sulit jadi pemain ketika ada Lionel Messi, Neymar, Xavi, Iniesta atau Pique di depan Anda. Xavi ada di tim utama selama 15 tahun. Dalam periode itu, 15 anak yang bermain di posisinya harus meninggalkan klub ini,” terang dia.

Bukan hanya itu. Tuntutan di klub-klub teras sekarang bertambah besar. Ini membuat mereka cenderung membeli pemain bintang yang sudah jadi ketimbang mengorbitkan pemain muda. Para bintang yang telah jadi bisa lebih diandalkan dalam mencapai target juara di banyak ajang. Soal uang yang harus dikeluarkan, itu masih bisa ditutup oleh pemasukan dari sponsor, hak siar televisi, dan lainnya.

Gelandang Bayern Munchen, Pierre-Emile Hojbjerg, pindah ke Southampton pada 11 Juli 2016. (AFP/Johannes Eisele)

Bayern pun mengalami hal tersebut. Tengok saja Pierre-Emile Hoejbjerg yang sempat digadang-gadang sebagai bintang masa depan. Kariernya mentok dan harus terbuang ke Southampton. Lihat juga para pemain lain macam Gianluca Gaudino, Lucas Julian Scholl, Julian Green atau pemain muda yang dibajak dari Borussia Moenchengladbach, Sinan Kurt. Mereka ternyata tidak cukup baik untuk bersaing di tim utama.

Akan tetapi, proyek ini memang harus terwujud. Berdasarkan isi kepala Hoeness, ini sebuah keniscayaan. Inilah ambisi dan impian besar Hoeness. Sejak lama, dia menginginkan sebuah akademi berkelas setara La Masia di Barcelona. Ketika tak ada lagi pemain muda yang berhasil menembus tim utama setelah David Alaba pada 2009, dia menilai pembuatan akademi berkelas sebagai sebuah keharusan.

Bagi Hoeness, Bayern harus tetap memegang prinsip dua pilar. Pertama, pemain-pemain bintang yang dibeli dari klub lain. Kedua, pemain-pemain bintang hasil orbitan dari akademi. Pemain dari akademi ini sangat penting karena biasanya punya ikatan lebih kuat dengan fans dan menjadi semacam representasi identitas klub.

Selain itu, akademi juga sebetulnya bisa menjadi mesin uang. Seperti digariskan FIFA, klub yang melatih pemain dari umur 12 hingga 21 tahun akan mendapatkan bagian uang kompensasi bila terjadi transfer. Terbaru, Santos yang mendapat durian runtuh karena transfer Neymar dengan harga selangit.


Perluas Dominasi Lokal

Para pemain Bayern Munchen merayakan gol Corentin Tolisso saat melawan Laverkusen pada laga Bundesliga di Allianz Arena, Munich, (18/8/2017). Bayern menang 3-1. (Andreas Gebert/dpa via AP)

Dari sudut pandang lain, pembangunan FC Bayern Campus bisa dianggap sebagai upaya Die Roten makin menancapkan hegemoninya. Ibaratnya, Bayern harus jadi matahari sejati di persepakbolaan Jerman. Selama ini, di level senior, mereka memang meraja. Namun, soal mengorbitkan pemain dari akademi, Bayern jauh tertinggal.

Dalam hal yang satu ini, Bayern kalah dari VfB Stuttgart dan SC Freiburg. Di timnas Jerman saat ini, pemain-pemain hasil didikan akademi Stuttgart terbilang mendominasi. Sebut saja Mario Gomez, Sami Khedira, Joshua Kimmich, Antonio Ruediger, Timo Werner, Serge Gnabry, dan Sebastian Rudy. Sementara itu, jebolan akademi Bayern tinggal Thomas Mueller dan Mats Hummels.

Artinya, pembangunan FC Bayern Campus tak ubahnya upaya menggeser kiblat dari Stuttgart ke Muenchen. Dengan misi ideal mengorbitkan satu pemain setiap musim, tentu mereka ingin membuat semua anak-anak bermimpi belajar sepak bola di sana. Tak terkecuali bagi mereka yang berada di luar Bavaria.

Jika hal itu terwujud, klub-klub lain akan benar-benar inferior. Bukan hanya dalam bersaing merebut trofi, dalam hal menjaring talenta pun mereka kian terdesak. Bayern dengan fasilitas baru yang lebih lengkap dan berkualitas akan jadi prioritas bagi para talenta berbakat. Apalagi, pada umur tertentu, pemain muda sudah bisa diasramakan.

Pemain Bayern Munchen, Niklas Suele (kanan) menyundul bola saat mencetak gol ke gawang Laverkusen pada laga Bundesliga di Allianz Arena, Munich, (18/8/2017). Bayern menang 3-1. (AFP/Guenter Schiffmann)

Terlepas dari hal itu, Bayern Campus juga bisa jadi bukan hanya jadi talent pool bagi sang pemilik. Ini bisa jadi penyedia pemain bagi klub-klub lain juga. Bagiamanapun, pada akhirnya, kebijakan pelatih Bayern adalah kunci dari ambisi Hoeness. Tanpa pelatih seperti Louis van Gaal yang akomodatif terhadap pemain muda, Die Roten tak bisa berharap banyak.

Bahkan, andai pelatih yang datang seperti Juergen Klinsmann yang dengan mudahnya melepas Hummels ke Borussia Dortmund, boleh jadi justru klub-klub lain yang diuntungkan oleh proyek ambisius ini. Mereka tentu berdoa ada Hummels-Hummels lain. Jikapun nantinya dibeli kembali oleh Bayern, mereka tetap bisa tersenyum karena mendapat uang yang tak sedikit.

Siapakah yang nantinya akan meraup untung dari langkah anti-mainstream Bayern ini? Ah, kita tunggu saja. Satu hal yang pasti, Hoeness saat ini sudah cukup puas karena tahap awal ambisi dan impiannya telah terlaksana.


*Penulis adalah jurnalis, pengamat sepak bola dan komentator. Tanggapi kolom ini @seppginz.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya